/1/
BAYANGANKU di cermin selalu sama. Sebuah potret yang tak pernah berubah meski tahun-tahun berlalu. Kemeja putih ini, dasi hitam ini, sepatu kulit yang memantulkan sedikit cahaya. Segalanya tampak sempurna di permukaan, seperti boneka porselen yang tersenyum lebar namun rapuh. Kesempurnaan itu terasa salah. Ada yang lebih dari sekadar rapi.
Di luar jendela, angin berhembus pelan, menggesek daun-daun pohon yang tak pernah rapi, tak pernah simetris. Mereka bergerak bebas, liar, menari dalam ritme alam yang tak tertebak. Aku memandang mereka sebentar, sedikit iri. Bagaimana mungkin sesuatu yang tampak kacau justru lebih harmonis dari diriku yang berbungkus rapi dalam pakaian ini?
Ah, tapi hari ini bukan tentang kebebasan. Ada rapat besar, penting, di gedung pemerintahan. Setiap detik berharga. Aku harus hadir sebagai sosok yang tak bercela, yang sempurna di mata para kolega dan pemimpin yang mengagungkan formalitas lebih dari substansi. Dengan langkah terukur, aku keluar dari kamar, menginjak trotoar yang panas di bawah terik matahari. Orang-orang di sekitarku berpenampilan kasual, mungkin terlalu santai, dengan celana pendek dan sandal jepit. Mereka tampak begitu nyaman, namun dalam hati kecilku, ada yang berbisik: Apakah itu layak disebut sopan?
Langkah kakiku semakin berat saat mendekati gedung itu. Sepatu hitam mengkilapku memantulkan sinar matahari, hampir-hampir menciptakan ilusi bahwa aku melangkah di atas kaca yang tipis. Setiap pantulan adalah pengingat bahwa aku terkurung dalam seragam kehidupan yang tak bisa kutanggalkan. Aku masuk ke dalam lobi megah, suara sepatu bertemu dengan lantai marmer, memantulkan suara langkah yang seolah-olah milikku, namun tak terasa benar-benar milikku. Ada sesuatu yang terhilang di sana, seolah setiap langkahku adalah bagian dari skenario yang sudah ditulis untukku.
Rapat dimulai, dan ruangan penuh dengan wajah-wajah yang sama—dasi-dasi sempurna, kemeja-kemeja rapi, semua tampak seperti tiruan dari satu model. Apakah ini wujud dari kemanusiaan? Atau kita semua telah menjadi patung lilin yang tak mampu lagi bergerak bebas?
Aku duduk di kursiku, mencoba mendengar pembicaraan tentang proyek-proyek besar yang katanya akan mengubah dunia menjadi lebih baik—entah dari apa atau untuk siapa, tapi yang kulihat nyatanya justru dunia yang makin kacau. Telingaku hanya menangkap suara hampa, dengungan tak bermakna yang bercampur dengan detak jantungku yang semakin cepat. Di tengah kebisingan itu, aku melihat pria tua di pojok ruangan. Pria itu tampak lelah, mungkin kerah kemejanya terlalu sempit, dasinya menggantung seperti tali yang perlahan menjerat lehernya.
Mata kami bertemu, dan aku merasakan hal yang sama—kerah ini, dasi ini, semua pakaian formal ini seolah menjadi alat penyiksaan yang tak kasat mata. Aku meraba leherku, mencoba menahan rasa sesak yang tiba-tiba muncul. Apakah ini arti dari sopan santun? Apakah kesempurnaan ini hanyalah topeng untuk menutupi ketidakberdayaan kita, menutupi kebrutalan kita, atau mungkin keserakahan kita, agar tampak terhormat?
Mataku beralih ke jendela ruangan, memandang keluar. Alam di luar sana—pohon-pohon yang tumbuh sembarangan, angin yang berhembus tanpa pola, burung-burung yang terbang tanpa peduli arah. Mereka tak pernah rapi, namun mereka indah. Mereka tak pernah teratur, namun justru itulah harmoni sejati. Sementara aku, duduk di sini, terbungkus dalam pakaian yang katanya sopan, merasa seperti tenggelam dalam lautan keseragaman yang menghancurkan jiwa.
/2/
Setiap napasku semakin berat. Setiap detik terasa seperti waktu yang tak lagi berpihak padaku. Aku duduk di sini, di pojok ruangan, terjepit di antara meja-meja yang penuh dengan kertas-kertas penting dan orang-orang yang sibuk berbicara tentang masa depan yang jauh dari jangkauan kami. Aku sudah lama di sini, seperti ini, mungkin terlalu lama.
Dulu, aku adalah mereka—muda, penuh ambisi, berpikir bahwa dunia bisa diubah hanya dengan serangkaian rapat dan keputusan. Tetapi sekarang, aku tahu lebih baik. Hidup tak pernah sesederhana itu. Kerah kemejaku terlalu ketat. Sudah bertahun-tahun aku mengenakannya, dan semakin lama, semakin menyesakkan. Aku ingin melepasnya, tetapi tak bisa. Tangan ini tak lagi kuat untuk merobek tali yang menjerat leherku.
Aku menatap mereka, para pejabat yang lebih muda, berbicara dengan penuh semangat tentang proyek-proyek yang, bagiku, hanyalah omong kosong belaka. Bukankah kita semua tahu, di balik semua ini, bahwa kita hanyalah boneka dalam permainan yang lebih besar? Namun mereka tetap berbicara, tetap berusaha tampil sempurna dengan kemeja-kemeja mereka yang rapi dan dasi-dasi yang terikat sempurna.
Di luar jendela, angin bertiup kencang, membuat ranting-ranting pohon menari liar. Aku menatap keluar dengan iri. Alam tampak bebas berekspresi, berperan sesuai jati diri masing-masing dan membentuk keseimbangan. Pohon-pohon tumbuh sesuka hati, rumput liar merambat tanpa rencana, bunga-bunga bermekaran di tempat-tempat yang tak terduga. Dan mereka lebih indah daripada apa pun yang kami ciptakan di sini, di ruangan ini, yang penuh dengan aturan tak tertulis tentang bagaimana cara duduk, cara berpakaian, bahkan cara berbicara.
Aku merasakan simpul dasiku semakin ketat. Napasku semakin sesak, tetapi tak ada yang melihat. Mereka semua sibuk dengan diri mereka sendiri, sibuk menjaga kesopanan mereka, sibuk memastikan bahwa mereka tetap terlihat layak di mata satu sama lain. Namun, apa artinya semua ini jika kita tak lagi bisa bernapas?
Aku ingin berteriak, ingin membebaskan diri, tetapi suaraku tak pernah keluar. Aku hanya bisa duduk di sini, menunggu saat di mana tubuh ini menyerah pada tekanan yang kian menumpuk. Dan ketika saat itu tiba, mungkin tak ada yang akan menyadari bahwa aku telah pergi. Karena bagi mereka, yang penting hanyalah penampilan. Dan penampilanku, meski sudah hampir mati, tetap rapi, tetap sopan.
/3/
Ah, angin sore ini begitu segar, berhembus pelan menyentuh wajahku. Di sini, di bawah pohon rindang taman kota, aku duduk dengan santai. Tidak ada aturan yang mengekangku di sini. Kaos oblong yang kupakai sudah sedikit pudar, sandal jepitku sudah mulai aus, tetapi aku merasa lebih bebas dari siapa pun yang berjalan di sekitar gedung pemerintahan di seberang jalan itu.
Aku melihat mereka keluar dari gedung tinggi itu—pria-pria dengan pakaian rapi, kemeja putih, dasi hitam, sepatu kulit mengilap. Wajah mereka tegang, penuh beban, meski langkah kaki mereka tenang. Aku sering bertanya-tanya: Apakah mereka bahagia? Apakah kesopanan ini, pakaian formal ini, benar-benar membawa kebahagiaan, atau hanya sekadar kewajiban yang dipaksakan?
Anak-anak berlarian di sekitarku, tertawa tanpa beban, bebas seperti angin yang berembus melalui ranting-ranting pohon. Tidak ada yang sopan tentang alam. Alam tak pernah rapi, tak pernah teratur, tapi di situlah letak keindahannya. Pohon tumbuh liar, bunga mekar tanpa peduli tempat, burung-burung berkicau tanpa aturan. Dan lihatlah mereka yang keluar dari gedung itu, begitu terikat oleh aturan yang mereka ciptakan sendiri, seolah hidup ini adalah sekumpulan peraturan yang harus ditaati.
Pria itu—yang paling kusorot—berdiri sendirian di depan taman. Kemeja putihnya terlihat basah oleh keringat, dasinya menggantung longgar, seakan ia ingin melepaskannya tapi tak berani. Dia tampak seperti manusia yang tersesat di dalam dirinya sendiri. Aku mengenal tatapan itu—tatapan yang dulu kulihat pada diriku sendiri, sebelum aku memutuskan untuk keluar dari roda birokrasi dan hidup dengan caraku sendiri.
“Mau es krim, Mas?” tanyaku dengan senyum kecil.
Ia menatapku dengan pandangan kosong, seolah pertanyaan sederhana itu adalah misteri yang tak bisa ia pecahkan. Aku bisa melihat beban di bahunya, beban yang tak terlihat namun begitu nyata. Ia terikat oleh pakaian yang ia kenakan, oleh aturan yang ia patuhi, oleh dunia yang tak memberi ruang untuk napas.
Aku hanya tersenyum lagi, kembali melayani anak-anak yang menunggu dengan sabar di sampingku. Dan saat aku berbalik, aku melihat pria itu membuka kancing kerahnya, membiarkan angin menyapu lehernya yang basah oleh keringat.