Menanti Cahaya
Di ujung jalan kau berpesan
Sebelum petang kan bergegas pulang
Tutup bejana dan seluruh pintu rumahmu
Berlindung dari segala kemelut bujuk rayu
Berapa lama mimpimu digadai?
Orang tua kini berselimut karut
Menanti sang bujang pulang
Tidak dengan sebongkah berlian
Anak kecil berbondong-bondong
lari dari kesusahan
Di ujung jalan kau tak kunjung datang
Hanya ada pesanmu yang mulai usang
Apakah anak Adam sedang tersesat?
Keringat mengucur di pelipis ibu Hawa
Ketakutan menodong serupa ancaman
Sebagian jalan memang sedikit bercabang dan
penuh persimpangan
Tapi tak sulit bagimu mengingat arah pulang
Selarik lagi, puisi ini kan berakhir
Namun, batang hidungmu belum juga kembali
Jadi, kau tersesat di antara lampu kota atau
tenggelam dalam jurang isi kepala?
Hujan di Kota
Hujan kembali menyapa kota ini
Rintiknya menari riang di jalanan
Menggiring orang-orang berhamburan ke tepian
Hujan kembali membasahi kota ini
Sembari menggelar rindu di pelataran
Memaksa kita hanyut dalam setiap tetesan
Hujan kembali bermukim di kota ini
Menyisakan genangan-genangan
Yang akan menguap bersama kesepian
Syair Petandang Miskin
Kota ini tak pernah mati
Hujan badai atau terik
sang mentari tak begitu berarti
Aku menumpang hidup kepada semut rang-rang
Singgah dalam kamar kecil yang lembab
Kurasa malam ini aku kan menemukan teman baru,
bantal guling kumal warisan penghuni sebelumnya
Sedikit mengeluh akan memperpanjang
umurku di kota ini
Tak masalah sedikit apatis,
tapi bau kamar ini sungguh narsis
Mirip asap rokok yang dihisap oleh seorang pecundang
Jika saja kamar ini lebih lega satu meter lagi
Mungkin aku tak akan tega membuang
seluruh mimpi yang ku bawa ke kota ini
Apa kabar mereka di dalam tong sampah yang menjijikan
Ku harap tikus setempat mau menjadi kawan dekat
Atau barangkali diadopsi oleh tuan yang baru
Dengan belaian sehangat Ibu
Kelambu Hati
Malam ini aku adalah kelambu lusuh
Sedang kau ranjang yang bercumbu dengan spreimu
Dan jatuh cinta kini mirip seperti maling,
Yang mengendap-endap di ruang tamu
Di balik kelambu kelam
Aku memasang mata memburu senyum indahmu
Lalu kau menjelma segerombolan rayap
Menggerogoti buas seluruh relung hatiku
Nganjuk, 2024
Berkemas
Setelah ini tidak akan ada lagi sekumpulan puisi
Yang berlumut di dinding-dinding kamar itu
Semuanya sudah ku kemas rapi
Dalam setumpuk kardus yang akan ku bawa pergi
Bungurasih, 2024
Pendar Lampu Kota
Di dalam sekotak ruang
Tempatku bersarang dari lampu kota
Kurebahkan semua lelah
Mengerubungi seberkas cahaya
Mirip seekor laron yang selalu haus akan terang
Tapi kerap berputus pada pengharapan
Sebab digantungkan pada sekumpulannya
Yang juga takut akan gelap
Meski di kota yang gemerlap
Ketintang Baru, Surabaya