Status

“APA, Bu? Aku tidak salah dengar, kan?” Junaedi bertanya dengan lantang di depan perempuan separoh baya yang tengah duduk di depannya dengan sangat anggun, ibunya.

Perempuan paroh baya di depannya itu tersenyum menggeleng. Raut mukanya bahkan tak memperlihatkan ekspresi sedikitpun. Tegas dan kaku.

“Bicarakanlah baik-baik dengan Surti. Demi kebaikan kalian berdua.”

“Kebaikan macam apa yang akan didapat dari ide gila ini, Bu?” Junaedi masih bersuara keras. Ia sungguh tidak setuju dengan saran ibunya.

“Camkan baik-baik, Junaedi. Kamu itu pemimpin. Kamu adalah kepala desa. Kamu adalah pusat perhatian di desa ini. Jadi jangan menganggap remeh status kamu. Ingat, status yang kamu sandang akan sangat menentukan jalan hidupmu ke depan,” suara tegas ibunya kembali membungkamnya.

Pandangannya kini ia alihkan keluar rumah. Sinar matahari yang panas menyengat membentuk cahaya kuning yang tajam menyerupai kilatan pedang yang siap menebas apa saja yang teronggok di depannya. Persis seperti itulah keadaan hatinya saat ini, dadanya dipenuhi amarah yang meletup-letup namun sekuatnya ia harus menahan diri untuk tidak bersuara lebih keras lagi demi menjaga sikap santunnya. Bagaimana pun, ia sedang berhadapan dengan ibunya.

“Sebagai anak laki-laki satu-satunya, kamu seharusnya mengerti keinginan ibu untuk memberi kami cucu. Lalu sebagai seorang kepala desa, seharusnya juga anak menyempurnakan kekharismatikanmu. Tapi sampai sekarang, itu belum kamu penuhi. Apa kamu tidak risih sedikit pun?” ibunya makin gencar menekannya.

 “Harus berapa kali sih, Bu, kukatakan kalau itu diluar kuasa kami? Kami sudah cukup berusaha selama ini, tapi kami memang belum diberi kepercayaan. Kami harus bagaimana lagi, Bu?” Junaedi tak mau kalah kini. Suaranya ikut-ikutan meninggi. Ia lupa dengan tekadnya tadi untuk meredam emosinya sebisa mungkin.

Tapi ibunya hanya acuh saja mendengarnya. Bahkan ia melanjutkan komentar pedasnya kepada Junaedi. “Jawaban klise tapi tak apa, semuanya masih bisa diperbaiki. Asalkan kamu mau mengikuti saran ibu, semuanya pasti akan baik-baik saja.”

“Maksud, ibu?”

“Ibu sudah tak bisa bersabar lebih lama lagi menunggu usaha kalian yang tak kunjung ada hasilnya. Dan ingat juga, wargamu sekarang bukan lagi warga yang polos. Mulut mereka tidak lagi bisa disumpal tentang keadaanmu ini, malah sangat empuk dijadikan bahan gunjingan. Kepala desa yang loyolah, kepala desa yang mandullah atau bahkan kepala desa yang impoten. Kamu harus buktikan kepada mereka sekarang bahwa gunjingan-gunjingan tersebut salah sama sekali.”

Junaedi menegang. Kata-kata ibunya barusan sudah cukup baginya sebagai godam yang memukul hebat perasaannya. Sangat sakit tapi tak bisa lagi ia biarkan seperti itu terus menerus. Ia sudah tak tahan menjadi bulan-bulanan. Dalam hati ia mengakui apa yang baru saja dikatakan ibunya ada benarnya. Hanya saja bukan pula berarti bahwa ia dan Surti secara total berada di pihak yang salah. Bukankah memang di luar kuasanya untuk mewujudkan hal itu? Mempunyai anak adalah mimpi siapa saja yang telah menjalani kehidupan perkawinan. Akan tetapi kalau sampai di usia perkawinannya yang sudah hampir menginjak usia sepuluh tahun, yang ditunggu-tunggu belum juga hadir, siapakah yang harus disalahkan. Dirinyakah atau Surti isterinya?

Lalu tentang gunjingan-gunjingan negatif warga mengenai dirinya, ditambah dengan tuntutan ibunya yang sudah sangat bertubi-tubi kepadanya untuk segera memberinya cucu, apalagi menjelang pemilihan kepala desa yang semakin dekat seperti sekarang ini, sudah cukupkah alasan baginya untuk menyetujui saran ibunya, menikah lagi?

“Kamu harus putuskan sekarang, Junaedi. Atau kamu akan kembali menjadi orang  biasa lagi tanpa fasilitas apa pun, kembali menjadi nol,” ancam ibunya.

  Banyak kandidat yang berstatus lebih baik dibanding dirinya yang hanya seorang petani biasa dan yang di usianya yang ke 45 belum juga dikarunia keturunan namun dengan kekharismatikannya mampu merebut simpati warga desa sehingga ia terpilih menjadi orang nomor satu di desanya. Tapi itu dulu. Sekarang ini, kondisinya mungkin akan berbeda. Dan untuk itu, dirinya dituntut untuk cepat-cepat membenahi semuanya termasuk kehidupan rumah tangganya yang kini menjadi sorotan. Dadanya rasanya mau meledak saja.

***

Junaedi memandangi Surti dengan perasaan yang bercampur aduk. Sementara perempuan itu merunduk di sisi tempat tidur. Suasana kamar yang temaram semakin membuat suasana hatinya semakin tercabik-cabik oleh perasaan perih, kecewa juga marah namun tak tahu harus ke mana ia mengadu kini. Bahkan suaminya yang dulu dengan setia menjadi pembelanya disaat orang mencibir kepadanya sebagai perempuan yang tidak sempurna, kini seperti memojokkannya untuk satu keinginan yang sejak dulu mereka tunggu-tunggu dalam perkawinan mereka, anak.

“Aku pasrah, Mas. Aku memang belum sempurna menjadi isterimu jika itu karena aku belum bisa memberimu anak, tapi jika kamu tanyakan keikhlasanku berbagi dengan perempuan lain, itu sangat berat,” terbata-bata Surti mengungkapkan perasaannya.

Sesak perasaan Junaedi menyaksikan Surti bersimbah air mata seperti itu. Jika mau jujur, alangkah inginnya ia tak mempedulikan saja kata-kata ibunya tentang status dan gunjingan warga yang mulai merebak. Tetapi dunia ini terlalu lapang untuk mereka berdua saja. Terlalu banyak mata, mulut dan hati yang ikut menjadi saksi akan kehidupannya dan Surti. Dan itu tak bisa begitu saja ia abaikan.

“Waktu tak lagi bersahabat, Sur. Begitu juga keadaan. Semuanya mendesak kita untuk berubah. Jangan bilang kalau aku sangat senang dengan semua ini, tapi sepertinya aku tak punya pilihan lain. Demi kita juga, kan?”

“Mengapa sekarang kamu begitu memperjuangkan status ini, Mas? Bukankah dulu, kita baik-baik saja tanpa harus meributkan statusmu? Tak cukupkah kamu berperan sebagai suamiku saja? Tinggalkan saja statusmu yang lain itu!” Surti makin terisak.

Junaedi pun makin trenyuh melihatnya, namun sekali lagi ia tak punya pilihan lain. Rasanya seperti diteror terus menerus oleh keadaan yang semakin memojokkannya. Dan ia hanya mampu mengikuti arus yang terjadi oleh pihak-pihak luar namun sangat kuat berefek pada keeksistensiannya.

“Maafkan mas-mu ini, Surti,” katanya tertunduk.

Ia sadar, dirinya makin tak memiliki wibawa lagi di depan isterinya. Tiba-tiba ia merasa menjadi laki-laki yang sangat jahat kepada perempuan yang telah lama mendampinginya selama 15 tahun terakhir ini.

Lama ditunggunya respon dari isterinya meski pun sedikit, tapi rupanya kesedihan terlanjur mengungkung perasaannya dengan sungguh hebat. Akhirnya ia pun berdiri beranjak meninggalkannya. Masih sempat ditolehnya isterinya, kalau-kalau bibirnya tiba-tiba saja bersuara tapi sia-sia saja. Bibir itu terkatup rapat. Bisu.

***

“Tenang saja. Semua usaha telah kamu lakukan. Sekarang tinggal tunggu hasilnya,”  bisik ibunya tersenyum. Junaedi mengangguk sembari memaksakan diri untuk tersenyum. Ia tahu ibunya sedang  memberinya kekuatan, sementara ia sendiri sebenarnya tengah berusaha meredam sesuatu yang sangat mengelisahkan dalam hatinya saat itu.

Suasana pemilihan kepala desa kali ini lebih ramai, ditandai dengan adanya 4 kandidat yang ikut mencalonkan diri. Dibandingkan  dengan pemilihan kades yang dulu, rivalnya hanya 1 kandidat saja. Kelihatannya pilkades kali ini cukup menegangkan buat semua kandidat, termasuk dirinya yang kembali mencalonkan diri untuk kedua kalinya.

Berada di tengah-tengah kandidat lain yang rata-rata yang berada jauh di atasnya membuat nyali Junaedi tak urung menciut. Dibandingkan dirinya yang hanya bermodalkan status sebagai mantan kepala desa yang berlatar belakang petani biasa, ia tak ada apa-apanya dibanding 3 kandidat lainnya.

Marwan, pengusaha bengkel yang sukses di desanya yang beristerikan seorang guru dengan 3 anaknya yang sudah duduk di perguruan tinggi. Burhan, juragan cengkeh yang tak kalah pamornya di tengah-tengah warga karena sifat kedermawanannya kepada warga yang sering datang kepadanya untuk meminta belas kasihannya. Dan pak Ridwan, pensiunan pegawai kecamatan yang sudah lama akrab dengan warga karena bidang kerjanya yang selalu berhadapan langsung dengan mereka. Lha, dirinya?

Perasaannya mendadak menjadi gamang. Rasa rendah diri menyergapnya sedemikian rupa dan membuatnya seperti menatap langit yang sangat tinggi tak berbatas. Lalu ia mendapati dirinya tak ubahnya sebutir debu yang tak terlihat sama sekali. Keringatnya mulai membanjiri seluruh tubuhnya tanpa kecuali. Basah semuanya.

“Surti, tolong Mas ya! Ambilkan handuk. Tubuh Mas berkeringat.”

“Mengapa aku, Mas? Bukankah sudah ada Rohana? Sekarang kan dia yang primadonanya?” suara Surti meninggi. Junaedi dibuatnya sangat kaget.

“Surti, Ada apa dengan kamu? Kok sampai uring-uringan begitu?” didekatinya perempuan itu meski ia sendiri tengah berusaha melegakan perasaannya sendiri dari rasa gerah yang menyiksanya.

“Mas, kamu ini masih mimpi atau gimana sih? Kamu sekarang bukan lagi Junaedi yang dulu. Sekarang ini kamu sudah memiliki dua orang isteri. Ingat itu, Mas!” kata-kata Surti dalam isaknya membuatnya terperangah.

Seperti mendengar guntur di siang terik yang menyengat saat Surti mengucapkaan itu barusan. Benarkah itu suara isterinya yang ia kenal lembut selama ini?

“Surti, ada apa dengan kamu?”

“Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Aku perempuan normal. Keadaan yang kamu buat bersama keluargamu membuatku tak betah lagi. Mungkin sebaiknya aku pergi saja dari sini,” isak Surti semakin menjadi.

“Tidak, Surti, kamu jangan pergi! Surti, Surti, Surti!!!!” teriaknya terengah-engah.

“Junaedi, kamu sudah sadar?”

Suara khas, dingin dan kaku. Rasanya ia ingin segera meloncat saja dari tempat tidurnya.

“Kamu membuat ibu sangat malu. Kenapa kamu pingsan? Kamu takut dengan hasil pilkades itu?” tanya ibunya lagi tajam.

Junaedi menundukkan mukanya. Rasa galau, kesal dan malu bercampur aduk dalam benaknya. Seharusnya ia tegar seperti ibunya, bukan menjadi cengeng seperti sekarang ini.

“Keluarlah. Warga menunggumu di balai desa. Mereka mempercayaimu kembali untuk memimpin mereka,” lanjut ibunya.

Seketika menguap semua perasaan melankolisnya. Tak ada yang seindah hari ini rasanya.

Tiba-tiba Somad, pegawainya datang tergopoh-gopoh mendekatinya.

“Pak Kades, maaf, Pak. Ibu di puskesmas sekarang. Tadi, Ibu ingin ke balai desa menyusul pak kades tapi tiba-tiba sebuah mobil menyambarnya dengan keras. Ibu meninggal.”

Selanjutnya sedikit pun kata-kata Somad tak dapat lagi ia dengarkan. Pandangannya menggelap lagi. Dilihatnya Surti mengulurkan tangannya dan berusaha menuntunnya menuju sebuah titik yang tampak bersinar sangat teraang. Surti tersenyum manis. Senyum termanis yang pernah ia lihat di wajah isterinya.

“Mari, Mas. Aku sudah lama menunggumu.”

***

Bagikan:

Penulis →

Titi Haryati Abbas

Penulis adalah seorang guru di SMAN 2 Sinjai – Sulawesi Selatan, yang senang menulis. Beberapa antologi telah ditulisnya, diantaranya; Antologi Fabel Binatang Unik Dalam Al-Qur’an (LovRinz Publishing, 2021) dan “78 Legenda Ternama Indonesia” (Elex Media Komputindo, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *