Papan Nisan  

SEKITAR satu setengah mil dari kota, berderet bangunan dengan struktur serupa yang dikelilingi oleh kebun dan taman bunga. Gedung-gedung itu berderet memanjang hingga jarak yang jauh. Di dalam gedung itu terdapat kantor-kantor berukuran besar dan kecil dengan total pegawai sebanyak 4.000 orang. Sepanjang hari segala kesibukan terjadi di dalam ruangan berdinding empat itu. Walaupun begitu, keriuhan itu hanya terjadi di antara jam setengah sebelas pagi hingga jam setengah lima sore. Jalanan beraspal putih yang panjang membentang dari kota hingga area gedung ini akan berubah seperti sungai manusia yang arusnya mengalir dari pegunungan dan menghanyutkan setiap duri dan kayu yang dilaluinya.  

Pada suatu sore di musim panas. Saat itu bayangan pohon meninggi, tetapi permukaan tanah tetaplah panas yang menyebabkan sol dalam sepatu seakan-akan terbakar.  Mobil penyiram jalanan baru saja lewat. Banyak air tersebar di mana-mana. Namun, dengan cepat genangan air itu menguap. 

Sherif Hussein, klerek kelas dua, meninggalkan kantornya sedikit lebih awal daripada biasanya. Dia keluar melalui gerbang utama dimana tonga (delman) mengambil penumpang dan membawa mereka kembali ke kota. Sungguh menyenangkan saat menghabiskan setengah perjalanan pulang dengan delman dimana dia hanya dapat menikmatinya pada lima hari pertama setiap bulannya. Dan hari ini adalah salah satu dari hari-hari terbaik itu. Hari ini, tidak seperti biasanya, setelah mendapatkan delapan hari gaji, dia masih memiliki uang lima rupees dan beberapa ana paisa. Alasannya, karena istri dan anak-anak pergi mengunjungi rumah ibu di awal bulan. Sedangkan dia sendirian di rumah. Untuk makan siang dia cukup makan dua puree di kantin kantor dan minum banyak air hingga kenyang. Dia memutuskan untuk pergi ke restoran murah di kota untuk makan malam. Jadi, dia santai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di rumah. Kapan pun dia bebas pulang. Jika mau, dia juga dapat jalan-jalan keliling kota sepanjang malam. 

Sementara itu, para pegawai mulai meninggalkan kantor masing-masing. Di antara mereka ada juru ketik, pencatat, operator, akuntan, kepala pegawai, pengawas, dengan kata lain semua jenis peringkat pegawai dari yang kecil hingga yang tinggi. Berdasarkan status dan posisi, penampilan mereka juga berbeda-beda satu sama lainnya. Beberapa orang dari mereka terlihat mencolok. Ada seseorang mengendarai sepeda mengenakan baju berlengan pendek, celana pendek berwarna khaki, memakai jam tangan, dan memakai topi sola di atas kepalanya. Dan ada bapak-bapak juru tulis berperut buncit dengan payung besar dan sebatang rokok di bibir sambil membawa tumpukkan dokumen di bawah lengan mereka. Mereka membawa pulang dokumen ini hampir setiap hari dengan harapan semua masalah yang tidak dapat diselesaikan di tengah kebisingan kantor akan dapat diselesaikan di bawah nuansa kedamaian rumah. Tetapi, begitu mereka tiba di rumah, perhatian mereka segera tersita oleh ragam kesibukan rumah tangga yang bahkan membuat mereka tidak bisa lagi melihat dokumen-dokumen itu. Keesokan harinya mereka masih harus kembali  membawa dokumen-dokumen itu ke kantor.

Beberapa laki-laki periang–yang tidak mempermasalahkan naik delman, sepeda ataupun membawa payung–membawa topi di tangan dan menyelempangkan jaket di bahu. Bagian depan baju mereka terbuka karena kancingnya rusak. Mereka mencoba menutupinya dengan peniti. Bulu dada lebat mereka basah oleh keringat. Orang-orang yang baru direkrut itu memakai baju jadi yang murah dan longgar.

Di musim panas ini, mereka memakai rompi, memasang dasi di leher dan melengkapi saku depan mereka dengan tiga, empat pena fountain dan pensil. Walaupun sebagian besar bahasa ibu para klerek ini sama tetapi mereka mencoba berbahasa Inggris dengan logat yang aneh. Alasannya adalah ketidakpuasan bahwa seseorang harus menguasai bahasa asing hanya karena di kantor mereka harus bercakap dalam bahasa asing dengan atasan mereka. Saat ini mereka berlatih bahasa asing satu sama lain.

Usia para klerek ini beragam. Ada yang masih sangat muda, naif dan tidak berpengalaman yang bahkan belum mencukur wajahnya untuk pertama kali, atau mereka yang baru saja lulus tiga bulan lalu. Ada juga yang klerek yang sudah senior dan berpengalaman, yang meninggalkan bekas goresan di hidung karena lamanya mengenakan kaca mata. Mereka yang telah menghabiskan masa kerja lebih dari 30 tahun, yang menyaksikan naik turunnya kehidupan di jalan ini. Hampir sebagian besar para pekerja ini berpunggung bungkuk dengan punuk di bawah leher. Setelah sekian lama mencukur dengan pisau cukur kusam, akar rambut di pipi dan dagu mereka telah menjadi jerawat kecil. Para pejalan kaki ini sangat hafal berapa ribu langkah jarak dari rumah ke kantor mereka. Masing-masing mereka tampak tidak puas dengan bos mereka yang pemarah ataupun dengan bawahan yang pemalas. 

Melihat satu bangku penumpang kosong, Sherif Hussein menaiki delman. Delman mulai bergerak melaju dan berhenti di pintu masuk kota. Sherif Hussein merogoh satu ana dan membayarnya ke pengemudi delman. Daripada pulang ke rumah, dia pergi menuju Masjid Jami di kota dimana tiap sore ada beberapa penjaja di tangga masjid yang menjual barang-barang murah seperti festival malam. Di sana orang dapat mencari barang dan tipe orang apa pun di dunia. Bahkan jika seseorang tidak berniat belanja, tetap menyenangkan mata melihat orang lain melakukan tawar-menawar dan berbelanja. 

Sharif Hussein berhenti dan melihat sisi jalan. Ada tabib, dukun penjual jimat, dan juru foto keliling. Kemudian dia berjalan menuju penjual barang loak. Di sini dia dapat melihat aneka barang. Beberapa barang ini ketika dulu masih dalam kondisi asli pastilah merupakan barang-barang kerajinan unggul. Akan tetapi, berada di toko loak ini, penampilan mereka telah sangat berubah sehingga tidak dapat dikenali lagi bagian-bagian yang dulunya rusak dan tidak berguna lagi. Ada banyak keramik, perkakas, vas, meja, lampu, jam, baterai. Emas, bingkai, serpihan gramophone, instrumen operasi, sitar, boneka rusa, perunggu, flamingo, dan patung budha. 

Pada salah satu toko dia melihat plakat marmer yang terlihat seperti pecahan monumen peninggalan Dinasti Kerajaan Mughal ataupun serpihan baradari (gazebo). Panjangnya sekitar seperempat kaki dan lebarnya satu kaki. Sherif Hussein mengambil dan memeriksa plakat ini. Sekadar memenuhi rasa ingin tahu, dia lalu menanyakan harganya.

“Tiga rupees.” 

Penjaja toko sebenarnya tidak memberi harga tinggi tetapi karena dia sebenarnya memang tidak butuh, dia menaruh kembali plakat itu dan beranjak pergi. 

“Mengapa Tuan budiman pergi? Setidaknya Tuan dapat mengatakan apa yang ada dalam pikiran Tuan?” 

Dia berhenti, dia merasa malu untuk mengakui bahwa dia sebenarnya tidak butuh barang ini dan dia sekedar menanyakan harga hanya karena penasaran. 

Dia pikir, harusnya aku menawar harga yang sangat rendah sehingga penjual ini pasti menolaknya. Setidaknya dia tidak akan berpikir kalau aku hanyalah seorang berdompet kosong yang hanya membuang waktu para pedagang.

“Aku akan membayar satu rupee.” Setelah mengatakan ini Sharif Hussein bersiap pergi dan lenyap dari pandangan si pedagang toko, tetapi ternyata dia tidak memberikannya kesempatan itu.

“Oh, Tuan terhormat, tolong dengarkan. Sudikah kiranya Tuan menambahkan sedikit saja … paling tidak seperempat rupee … Ok, baiklah, ambilah ini!”

Sharif Hussein menyesali diri mengapa tidak menawar dua belas anas. Sekarang, dia tidak punya pilihan selain menyetujuinya. Sebelum membayarnya, dia meneliti plakat itu dan berharap dapat menemukan sedikit saja cacat di permukaannya. Akan tetapi, hampir tidak ditemukan kecacatan pada barang itu.  Dia heran kenapa pedagang ini menjualnya dengan harga murah. 

Pada malam harinya dia tertidur di atas atap rumah di bawah langit terbuka. Ketika mengubah posisi tidur, tiba-tiba ide tentang bagaimana memanfaatkan plakat marmer itu datang menghentak pikirannya. Cara kerja Tuhan memang ajaib. Dia adalah Sang Maha Pengampun dan Penyayang yang Mengetahui bahwa mungkin suatu hari nanti nasibnya akan berubah: dia akan mendapat promosi dari klerek kelas dua menjadi pengawas dan mendapat kenaikan gaji dari empat puluh rupees menjadi seratus rupees. Atau setidaknya dia akan menjadi kepala klerek sehingga dia tidak perlu lagi tinggal dalam rumah kontrakan tetapi tinggal dalam rumah kecil yang dibelinya sendiri. Lalu dia akan mengukir namanya dengan plakat marmer ini dan memasangnya di depan pintu. 

Khayalan akan masa depan telah mempengaruhi pikirannya yang sebelumnya dia menganggap bahwa plakat ini adalah barang yang tidak berguna, sekarang dia mulai merasa seakan telah sekian lama dia mencari plakat ini. Seandainya dia tidak membeli plakat ini, maka itu akan menjadi kesalahan besar. 

Pada awal dia mendapatkan pekerjaan, etos kerja dan antusiasme mendapatkan promosi berada pada titik puncak. Namun, setelah dua tahun kerja tidak membuahkan hasil, semangat kerjanya pun mengendur. Namun, plakat marmer ini telah memperbaharui kembali tenaganya dan perlahan mengguncang pikirannya. Sensasi manis akan masa depan cemerlang bersama isterinya mulai memenuhi hari-harinya. Saat tidur atau berdiri, saat tidur atau terbangun, saat pergi atau pulang dari kantor, dia melihat papan nama seseorang terpampang di luar rumah. Akhir bulan pun tiba, dia mendapatkan gaji. Hal pertama yang dia lakukan adalah membawa plakat ini ke seorang pengrajin ternama di kota. Pengrajin itu mengukir namanya dengan sangat mahir dan membuat ukiran kecil di sudutnya. Melihat namanya terukir dalam plakat marmer itu dia merasa gembira luar biasa. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya dia melihat namanya begitu mencolok. 


Setelah dia meninggalkan toko pengrajin batu itu, di pasar berulang kali dia mencoba membuka kertas koran pembungkus plakat. Tetapi setiap kali datang rasa takut yang tidak jelas menahan tangannya. Mungkin dia khawatir jika orang yang lalu-lalang melihat dan membaca pikiran yang telah menguasainya selama beberapa hari itu. 


Ketika dia menapakkan kaki di tangga pertama rumah, dia melepas kertas pembungkus dan menatap tulisan indah dalam plakat. Dia menaiki anak tangga secara perlahan. Dia berhenti di depan pintunya di lantai atas, mengeluarkan kunci dari sakunya, dan mulai membuka pintu. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, dia baru menyadari tidak ada tempat untuk memasang papan nama di depan pintu masuk rumahnya. Bahkan jika ada tempat pun, plakat itu sepertinya kurang layak dipasang di sana. Untuk itu diperlukan rumah yang besar. Rumah yang seharusnya memiliki ruang besar dengan pintu masuk rumah yang juga besar di mana setiap orang yang lewat akan dapat melihatnya. 

Setelah membuka kunci, dia memasuki rumah dan berpikir di mana dia akan menaruh plakat ini untuk sementara waktu. Bagian rumah yang ditempati memiliki dua kamar kecil, satu kamar mandi dan satu dapur. Ada lemari di satu kamar, tetapi lemari itu tidak berpintu. Akhirnya dia menaruh plakat di lemari tak berpintu itu. 

Setiap petang setelah pulang kerja, hal pertama yang dia lakukan adalah menengok plakatnya. Impian itu membawanya ke taman yang hijau dan dia merasa semua kepenatan bekerja di kantor mengendur. Setiap kali beberapa rekan kerja meminta petunjuknya, matanya berbinar bangga. Setiap kali dia mendengar promosi para koleganya, ambisinya semakin terpacu. Setiap perlakuan baik dari atasannya membuat dirinya melambung tinggi beberapa hari. 

Selama isteri dan anaknya belum pulang dia akan tetap mengkhayal. Tidak pula menjumpai teman-teman ataupun menikmati warnanya kehidupan.  Pada malam hari dia biasa makan malam lebih awal di restoran, lalu pulang ke rumah. Sebelum tidur, dia terbiasa memiliki pikiran aneh selama berjam-jam. Tetapi, begitu keluarganya pulang, dia tidak memiliki waktu luang dan kedamaian dalam rumah. Ketika dia mulai disibukkan oleh urusan rumah tangga, semua mimpi indah pun terbang jauh. 

Plakat itu diletakkan di rak selama satu tahun. Selama itu, dia berusaha bekerja sangat keras. Dia mencoba melakukan cara terbaik untuk menyenangkan atasannya. Akan tetapi, tetap tidak ada perubahan. 

Sekarang, anak lelakinya berusia empat tahun dan dia dapat meraih rak itu. Sharif Hussein khawatir jika anaknya akan menjatuhkan plakat itu, jadi dia memindahkannya dari sana dan menaruhnya di dalam koper di bawah tumpukkan baju. 

Selama musim dingin, papan nama itu tetap berada dalam koper. Ketika tiba musim panas, sang isteri ingin menaruh satu baju dalam koper, karena itu dia memindahkan barang-barang ekstra dari sana. Di antara barang-barang ekstra, dia juga mengeluarkan plakat itu. Dia menaruh plakat itu dalam peti kayu di mana terdapat barang seperti bingkai rusak, sikat rambut tanpa bulu, tempat sabun tak terpakai, mainan rusak dan barang-barang lain di sana. 

Sharif Hussein tidak memikirkan lagi masa depannya. Melihat perjalanan pekerjaan selama di kantor, promosi hanya terjadi karena suatu keajaiban. Tidak ada gunanya melakukan kerja teramat keras dan menyulitkan hidupnya. Setiap dua tahun, dia akan memperoleh tambahan kenaikan gaji sebesar tiga rupees. Dengan penghasilan ini, dia lebih mudah mengatur biaya pendidikan anak-anaknya. Jadi, dia tidak merasakan masa sulit. 

Setelah mengalami masa keputusasaan, berlalu juga masa kerja dua belas tahun. Dan semua ambisi memperoleh promosi telah padam. Kenangan tentang plakat itu telah pergi dari pikirannya. Saat ini, melihat kejujuran dan keefisienannya bekerja, atasannya secara temporer mempromosikannya sebagai klerek kelas satu selama tiga bulan, menggantikan klerek lain yang sedang cuti.  

Hari ketika dia disposisi, hatinya melambung bahagia. Dia bahkan tidak sabar menunggu delman, tetapi lebih memilih jalan kaki pulang ke rumah dengan kecepatan tinggi untuk segera mengabarkan berita gembira ini kepada isterinya. Dia pikir, delman tidak akan membawanya pulang secepat itu.  

Bulan berikutnya dia membeli meja tulis murah dan kursi putar dari rumah lelang. Meja ini membuatnya teringat kembali dengan plakatnya. Dengan itu, semua impian yang sudah mati  kembali tumbuh mekar. Dia menemukan plakat dari kotak kayu tua, lalu mencucinya dengan sabun dan  menaruhnya di atas meja, bersandar di dinding. 

Masa ini masa yang terlalu berat untuknya karena dia harus melakukan kerja ganda dari pegawai yang cuti untuk menunjukkan efisiensi dia dalam bekerja kepada atasannya. Untuk menyenangkan bawahannya, dia juga membantu mengerjakan tugas mereka. Dia terbenam dalam tumpukan dokumen hingga tengah malam di rumah. Tetapi, dia tetap senang. Walaupun begitu, hatinya tetap galau jika mengingat kemungkinan kembalinya pegawai yang cuti itu.  Terkadang, dia berharap pegawai itu akan memperpanjang masa cutinya atau dia jatuh sakit sehingga tidak dapat kembali lagi bekerja.

Kenyataannya, setelah tiga bulan pegawai itu tidak memperpanjang masa cuti dan tidak jatuh sakit. Dengan demikian, Sharif Hussein harus kembali ke pekerjaan lamanya. Hari-hari berikutnya menjadi hari keputusasaan dan kesedihan. Dia tidak dapat lagi mencurahkan hati sepenuhnya pada pekerjaannya. Setelah mengalami masa-masa indah, sekarang dia merasa kondisinya lebih buruk dari sebelumnya. Dia merasa ketidakberesan dengan perilakunya dan kemalasan dalam tindakannya. Dia benar-benar merasa putus asa. Dia tidak lagi tersenyum dan bercakap-cakap dengan orang lain. Namun, kondisi ini hanya berlangsung beberapa hari. Makian sang atasan membuatnya kembali bekerja seperti sediakala. 

Sekarang anak laki-laki tertuanya sudah duduk di kelas enam, dan anak laki-laki bungsunya sudah duduk di kelas empat SD. Anak yang di tengah, perempuan, biasa belajar al-quran dari ibunya, juga belajar menjahit dan keterampilan rumah tangga lainnya di rumah. Ada kekhawatiran jika plakat itu terjatuh dari meja sang ayah. Karena itu, anak laki-lakinya menaruhnya kembali ke atas rak.  

Tahun demi tahun berganti. Dalam jangka waktu itu plakat telah sering berpindah-pindah tempat. Kadang di atas meja, kadang di atas rak, kadang di dalam koper, kadang di bawah tempat tidur, kadang di dalam karung, kadang di dalam peti kayu berisi barang-barang rusak. Pernah seseorang menaruhnya di perkakas yang biasa digunakan sehari-hari. Ketika Sharif Hussein menemukannya, warnanya telah menguning karena efek asap. Dia memungutnya, mencucinya, mengelapnya hingga kering, dan menaruhnya lagi di atas rak. Tetapi, setelah beberapa hari, kembali plakat itu hilang. Di tempat itu, dipajang vas bunga besar berisi bunga kertas, hadiah teman anak laki-laki sulung Sharif Hussein. Di atas rak warna plakat marmer itu menjadi kusam. Namun warna-warni bunga kertas telah mempercantik rak itu. Kamar kecil itu pun jadi tampak lebih hidup. 

Sekarang sudah dua puluh tahun Sharif Hussein bekerja. Lebih dari setengah rambut di kepalanya beruban. Badannya mulai membungkuk. Walaupun begitu, ide menjadi kaya dan hidup bebas tetap sesekali datang ke pikirannya. Meskipun begitu, menjalani pekerjaan ini tidaklah sekuat seperti masa muda, masa ketika dia biasa berkhayal hingga berjam-jam. Sedikit helaan memupus semua impian. Dia khawatir akan pernikahan anak perempuannya, pendidikan anak-anak lelakinya, peningkatan biaya studi mereka, dan mencari pekerjaan bagi mereka. Hal-hal itu yang menjadi kekhawatirannya sehingga dia tidak sempat lagi memikirkan hal lainnya, bahkan untuk sesaat. 

Di usianya yang ke-55 tahun dia pensiun dari perusahaan. Anak sulungnya bekerja di gudang perusahaan kereta api. Anak lelaki yang lebih muda bekerja sebagai juru ketik di sebuah perusahaan. Anak bungsunya masih duduk di sekolah menengah atas. Uang pensiun dan gaji anak laki-lakinya digabung menjadi dua ratus rupees per bulan. Pendapatan sebesar ini cukup untuk hidup layak. Lebih jauh lagi, dia terpikir untuk memulai bisnis kecil, tetapi dia takut akan jatuh rugi. 

Karena kehati-hatiannya dalam mengatur pengeluaran keuangan dan keterampilan isterinya dalam mengelola urusan rumah tangga, dia mampu menikahkan anak laki-laki dan perempuannya dengan perayaan yang memadai. Setelah melepaskan tanggung jawab ini, dia berpikir untuk menunaikan haji, tetapi dia masih belum mampu. Karena itu selama beberapa waktu atau beberapa hari dia mulai menghabiskan waktunya di masjid. Akan tetapi, dia mulai menderita berbagai penyakit karena usia yang menua. Maka sebagian besar waktunya sekarang dihabiskan di atas tempat tidur. 

Sudah bertahan-tahun lamanya dia pensiun. Pada suatu malam di musim dingin, dia bangun dari tempat tidur untuk suatu keperluan. Dia keluar dari selimutnya yang hangat, angin malam yang dingin menusuk dadanya seperti anak panah. Dia terserang pneumonia. Anak lelakinya berusaha sebaik mungkin menyembuhkannya. Isteri dan menantu perempuan menjaga dan melayaninya di samping tempat tidur siang dan malam. Akan tetapi, dia tidak kunjung membaik. Setelah empat hari terbaring di atas tempat tidur, dia meninggal dunia. 

Suatu hari setelah kematiannya, anak sulungnya membersihkan rumah. Dia menemukan plakat tua dalam karung. Sang anak sangat mencintai ayahnya. Melihat nama ayahnya terukir dalam plakat itu, air matanya jatuh. Dia terpesona melihat tulisan dan ukiran hiasan bunga di papan itu. Tiba-tiba matanya berbinar karena satu gagasan. 

Keesokan harinya dia membawa plakat marmer itu ke seorang pengrajin. Dia meminta beberapa modifikasi pada tulisan di plakat dan pada sore harinya dia menancapkannya di atas kuburan sang ayah, sebagai epitaf. 

—– tamat—-



Keterangan:

Ana paisa = satuan di bawah mata uang rupees. Hingga tahun 1960, 1 Rupee = 16 ana, 1 ana = 4 paisa.

Sitar: instrument music petik/gawai tradisional Pakistan.

Bagikan:

Penulis →

Ghulam Abbas Penerjemah: Milana

Ghulam Abbas lahir pada tahun 1090 di Amritsar (British India-sekarang bagian Punjab India). Dia tumbuh dan mendapat pendidikan dalam lingkungan sastra budaya Lahore. Menulis sudah bagian dari darahnya. Kehidupan sastranya dimulai sejak tahun 1925.

Pada kurun 1925-1928 dia menerjemahkan beragam cerita pendek berbahasa asing. Dari tahun 1928-1937 dia diberi kepercayaan menjadi editor majalah anak ‘Phool’ yang berarti bunga dan majalah wanita ‘Tahzeeb-e-Niswaan” (Budaya Perempuan). Pada perang dunia (PD) II, dia menjadi bagian dari Air India Radio. Dia juga menjadi editor majalahnya. Dia menulis beberapa cerpen yang hebat dalam masa itu. Ketika terjadi partisi (pemisahan) India, dia pindah ke wilayah Pakistan dan kembali bekerja di radio. Selama bekerja di sana, dia menaruh perhatian pada cerita pendek. Dia menulis beberapa cerpen yang bagus dan mendapat tempat terhormat di kalangan penulis sastra Urdu.

Sebagai penulis cerpen, Ghulam Abbas memiliki gaya yang unik dan menduduki peringkat atas di kalangan sastrawan Urdu. Walaupun tidak banyak karya yang dihasilkan, tetapi apapun yang dia tulis menjadi sangat luar biasa. Dalam kisah-kisah yang dituliskannya, kita mendapat gambaran esensi sebuah kebenaran dan kenyataan hidup. Karakter-karakter dalam ceritanya adalah rakyat jelata pada umumnya, yang hidup dalam keseharian dan masyarakat di sana. “Anandi” dan “Overcoat” adalah karya masterpiece-nya yang membuatnya mulai dikenal luas.

Pada tahun 1967, dia dianugerahi penghargaan Sitara-e-Imtiaz (Bintang Unggul), salah satu penghargaan bergengsi yang diberikan pemerintah Pakistan untuk anak bangsa yang berjasa pada ragam bidang, salah satunya sastra dan budaya. Ghulam Abas meninggal pada tahun 1982 di Karachi.

Milana, seorang ibu rumah tangga, homeschooler, alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI dan Universitas Beihang– tinggal di Lahore. Dia suka menulis, melukis dan bertualang. Cerpen-cerpennya dimuat di Koran Tempo, Magrib.id, dan media-media lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *