Kucing di Tal al-Hawa


TUHAN mencintai kucing. Sembilan nyawa yang aku miliki itu benar. Malam itu aku selamat dari gempuran roket yang datang bersama pesawat-pesawat siluman F-35 yang dikemudikan para Zroa HaAvir VeHahalal[1]. Mereka menggelontorkan rudal-rudalnya di sekitar distrik Tal al-Hawa hingga menghancurkan gedung-gedung di sana. Ratusan orang menjadi korban karena serang itu. Namun para Zroa HaAvir VeHahalal seakan membalut hati mereka dengan batu: tidak peduli. Mereka percaya di bawah gedung-gedung itu bersembunyi para pejuang lokal Gaza.

Sudah lima tahun distrik Tal al-Hawa diawasi oleh para Tsahal[2] di pusat komando Angkatan Darat Israel. Mereka beberapa kali—dengan satelit luar angkasa—melihat aktivitas pejuang lokal Gaza di sana. Beberapa kali Iron Dome negara zionis itu juga menghalau roket yang dikirimkan oleh pejuang Gaza. Hari itu akhirnya pasukan Zroa HaAvir VeHahalal melakukan serangan balik. Distrik Tal al-Hawa pun menjelma neraka dengan bunga-bunga api yang bermekaran di mana-mana. Gedung-gedung rubuh layaknya pohon yang dibabat dengan brutal. Suara sirine ambulan melengking seperti tangisan yang tidak putus.

Waktu roket itu dijatuhkan, aku sedang mencari makan di tong sampah yang tak jauh dari rumah sakit al-Quds. Tubuh mungilku terpelanting sekitar sepuluh meter. Lebih parah, aku terperangkap reruntuhan gedung bertinggi tujuh lantai tersebut. Beruntungnya, aku tidak menjadi gepeng dengan jeroan yang tercecer seperti para manusia yang terkena bom tersebut.

“Tuhan menyelamatkanku,” gumamku ketika tahu bahwa nyawa masih kumiliki dengan utuh. “Aku harus pergi.”

Aku berjalan tertatih-tatih dengan kaki pincang melewati reruntuhan. Beberapa kali aku melintasi seorang wanita yang menangis kesakitan karena tertindih beton, atau pria yang kepalanya pecah karena cor beton menghajar kepalanya. Aku terus berjalan dengan kaki kiri yang terasa sakit. Dan ketika sampai di luar gedung, aku melihat banyak manusia yang berkerumun dan menangis. Mereka tampak meratapi tubuh-tubuh saudara mereka yang telah hancur separuh dengan usus terburai.

Aku segera meninggalkan tempat itu dan mencari persembunyian. Ketika berjalan terhuyung-huyung, aku menemukan tiga ekor kucing yang mati terkena bom. Tubuh mereka sudah tak berbentuk. Akan tetapi bila mengendus aroma darah dan sisa jeroan, mereka mati tanpa merasakan kesakitan.

***

Kakiku terasa sangat tidak nyaman. Untuk bangkit aku tak mampu. Sepanjang hari aku hanya mendekam di gorong-gorong kering yang berada tiga ratus meter dari rumah sakit al-Quds. Aku takut bila keluar dengan kaki terluka malah akan mengundang anjing-anjing untuk mengejarku. Aku tidak mau menjadi korban keganasan para anjing kelaparan di sekitar distrik Tal al-Hawa. Karena—aku tahu betul—anjing-anjing di sekitar sini adalah hewan-hewan lapar yang disuntik rabies oleh para Tsahal untuk menyebarkan penyakit.

Dalam kelembaban gorong-gorong, aku tetap saja ada pada situasi yang serba penuh wasangka. Menjelang siang, aku beberapa kali mendengar anjing-anjing liar yang berebut makanan. Anjing-anjing itu pasti hewan-hewan yang telah disuntik penyakit rabies oleh para Tsahal.

“Mungkin mereka sedang memakan sisa bangkai kucing kemarin,” batinku merintih. “Semoga aku tidak menjadi mangsa mereka berikutnya.”

Aku terus mendekam dalam gorong-gorong yang berbau pesing. Aku tak berusaha mengeluarkan suara apapun. Aku bahkan tidak berani untuk bernapas terlalu cepat. Para anjing memiliki indra penciuman yang lebih tajam dari kucing. Aku takut dari udara yang aku hembuskan dapat membuatku diketahui.

Sepanjang hari itu, suara gaduh anjing-anjing terus terdengar. Sampai kemudian terdengar ledakang yang diikuti dengan seekor anjing yang berlari membawa potongan tangan manusia.

“Apakah kota kembali dijatuhi bom?” Gumamku.

***

Memasuki hari kedua, kakiku sudah jauh lebih baik daripada sehari sebelumnya. Aku sudah dapat berdiri dan berjalan—walaupun dengan langkap sempoyongan. Insting juga mengatakan bahwa tempat persembunyianku sudah tak aman lagi. Aku lebih baik pergi dari sini daripada mendapati masalah lain yang tak terbayangkan berikutnya. Setelah cukup kesulitan menaiki gorong-gorong, aku melihat usus manusia yang dikerumuni lalat. Ada juga sebiji bola mata dan sepotong jari yang masih tampak utuh. Bau busuk menguara di tempat itu.

“Anjing-anjing itu memakan manusia,” gumamku. “Hewan-hewan yang menjijikan!”

Selain sisa-sisa usus yang berceceran tadi, anjing-anjing itu juga menyisakan sebutir kepala seorang bocah. Cuma aku tak tahu jenis kelamin dari bocah kecil yang dimangsa oleh anjing-anjing itu. Hidungnya sudah rusak karena gigitan. Begitu halnya dengan kedua matanya yang sudah tidak di tempat. Aku pun dengan gesit meninggalkan tempat itu. Aku takut bertemu anjing lainnya. Akan tetapi ketika berjalan di antara semak, aku melihat lima orang dengan seragam yang mirip Tsahal sedang menggotong beberapa onggok mayat.

“Letakan di situ mayat-mayat ini,” kata salah seorang dengan kumis lebat. “Usahakan di tempat terbuka agar anjing-anjing itu melihatnya.”

“Apakah ususnya juga kita kelurkan, komandan?” Tanya seorang yang mungkin anak buahnya.

“Goblok!” tegas pria berkumis lebat itu. “Bila perlu kau cacah sampai para anjing itu mudah memakannya. Kita hanya perlu jantung, ginjal, dan paru-parunya untuk dijual.”

Aku melihat ngeri dan ngilu ketika tubuh-tubuh itu dirajam menjadi bagian-bagian kecil. Aku pernah melihat beberapa kali kejadian seperti ini. Anjing-anjing liar itu memang sengaja diberi makan tubuh manusia setelah diambil organ dalamnya. Hal itu dilakukan entah dengan alasan apa.

Tidak kuasa menahan perih dari kakiku yang belum sehat betul, aku memilih berjalan ke arah gedung yang dua hari lalu diserang roket oleh Tsahal. Di sana orang-orang masih berkumpul untuk mengevakuasi mayat-mayat yang terjebak reruntuhan gedung. Selain itu juga—tidak jauh dari rumah sakit Al-Quds—ada sebuah gedung baru yang terkena serangan roket.

“Ledakan kedua kemarin pasti menghancurkan tempat ini!” Pikirku sembari menjilati buluku. “Kota ini benar-benar hancur!”

Kaki kecilku segera meninggalkan rumah sakit al-Quds. Aku bersembunyi pada bekas sekolah Al-Abay yang pernah dicuragi sebagai markas Hamas dan diledakan tiga tahun lalu. Dan aku tahu karena waktu itu melihat langsung pesawat-pesawat Israel datang meluncurkan roket-roket yang mematikan ke atas gedung. Ledakan besar dan ratusan anak-anak menjadi korban karena serangan itu. Aku bahkan masih bisa mendengar tangisan mereka di sini.

Aku meringkuk di dalam gedung seraya mendengarkan tangisan anak-anak di antara sela batu dan kawat besi yang tersisa. Aku merasa sedih dan tidak tega mendengarkan tangisan gaib para arwah yang hanya kuping kucingku yang bisa mendengarnya. Tapi aku tidak punya pilihan. Tempat ini adalah satu-satunya gedung yang tak bakal dijatuhi bom lagi oleh para Zroa HaAvir VeHahalal. Jadi hari itu aku bisa tertidur sejenak. Sampai kamudian aku terbangun mendengar berondong tembakan dan jeritan wanita.

Semula, aku mengira teriakan itu adalah milik jiwa-jiwa yang telah mati dan terjebak di dalam gedung ini. Namun dugaanku salah. Teriakan itu adalah teriakan nyata dari seorang manusia. Aku segera bersembunyi menyadari semua itu. Hingga tembakan terakhir tidak terdengar lagi.

“Apakah kita berdosa?” ucap seorang pemuda.

“Apa yang membuatmu berpikir kita berdosa?” balas kawannya.

“Karena kita membunuh para wanita dan anak-anak itu,” sahut pemuda bertubuh kurus.

“Bila kita tidak membunuh mereka,” balas kawannya. “Kelak kaum Yahudilah yang akan mereka bunuh.”

Aku baru tahu ternyata di dalam gedung tua ini terdapat para pengungsi wanita dan anak-anak. Mungkin mereka memilih mengungsi di tempat ini karena merasa gedung tua bekas serangan Israel ini tidak akan dijatuhi bom. Aku pun pelan-pelan menyelinap di antara reruntuhan. Di sana aku melihat darah dan tubuh wanita serta anak-anak yang telah mati ditembaki.

“Aku harus pergi!” Gumamku.

Aku melompat. Gerakanku segera mereka ketahui. Mereka dengan cepat menembakku dengan brutal. Untungnya tidak ada satu pun peluru yang mengenaiku. 

***

Keluar dari bekas sekolah itu, aku berjalan sekitar tiga ratus meter ke utara. Hanya perjalanan itu segera aku hentikan karena sebuah pertempuran antara pasukan Tzahal dan Hamas terjadi. Baku tembak sengit berjalan cukup lama. Sampai sebuah roket diluncurkan oleh seorang pasukan lokal Gaza. Pertempuran pun selesai.

Aku tidak langsung keluar setelah pertempuran itu. Aku tetap bersembunyi hampir selama empat puluh lima menit. Dan ketika aku keluar, sudah ada rombongan anjing liar yang merayah seonggok mayat pasukan Tzahal yang menjadi korban. Mayat manusia itu terpecah belah menjadi beberapa bagian karena anjing-anjing yang kelaparan tersebut.

Setelah hampir selama empat puluh lima menit anjing itu saling berebut daging manusia, mereka pergi meninggalkan tempat itu. Aku pelan-pelan mendekat. Di sana aku mencium aroma bangkai dan darah.

“Mayat orang Yahudi,” gumamku.

Aku mengendus-endus salah satu organ yang tersisa di sana. Aku melihat mirip sekali dengan bentuk jantung burung. Aku segera menjilatnya. Ternyata organ tersebut rasanya sama seperti jantung burung yang pernah kumakan. (*) 


[1] Zroa HaAvir VeHahalal sebutanAngkatan udara Israel;

[2] Tsahal sebutan Angkatan Darat Israel.

Bagikan:

Penulis →

Risda Nur Widia

Mahasiswa program doktor PBSI UNY. Buku cerpen tunggal terbarunya Berburu Buaya di Hindia Timur (2020) dan Membunuh Harimau Jawa (2023). Cerpennya tersiar di berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *