APA yang akan terjadi bila di kelas semua siswa adalah para lelaki dan kelas itu terbentuk dari kumpulan anak puber yang berusia remaja sekolah menengah pertama (SMP). Kelas itu pasti sangat berantakan. Begitulah kelasku, kelas F di salah satu SMP negeri di kotaku. Walaupun masih SMP namun sekolahku adalah pendidikan kejuruan. Ada dua jurusan di sini yaitu jurusan tataboga yang terdiri dari kelas A, B, C, D dan E, sedangkan jurusanku bangunan berada di kelas F. Pembagian kelas ini demikian dari kelas satu hingga kelas tiga. Biasanya kelas bangunan selalu berisi remaja-remaja pria sedang kelas tataboga diisi oleh cewek-cewek cantik di kota ini. Kalaupun di kelas tataboga ada siswa lelaki, mereka kadang diolok-olok oleh kelas kami dengan panggilan bencong. Bila jam sekolah telah masuk semua kelas terdengar hening. Hanya suara para guru yang sedang mengajar. Namun tidak bagi kelasku. Suara para siswa terdengar menggelegar seperti suara teriakan para preman di terminal dan pasar-pasar. Bila para guru telah masuk dan mengajar maka anak-anak akan diam sejenak sedang suara guru itulah yang berteriak-teriak memarahi dan mengomeli kenakalan kami. Iya, itu kalau gurunya seorang bapak. Bila gurunya seorang ibu sudah dipastikan ia akan keluar dari kelas kami sambil menangis karena merasa terhina dan tidak dihormati. Sudah begitu banyak guru wanita yang datang dan pergi tanpa pamit dan berlinang airmata di kelasku. Hanya satu guru wanita yang bertahan. Kami memanggilnya ibu Maria. Dia seorang guru untuk jurusan kami. Ia biasanya mengajari kami pelajaran teknik menggambar.
Entah kenapa ia betah di kelasku. Mungkin ia satu-satunya guru menggambar di sekolah ini sehingga keberadaannya sangat diharapkan. Namun aku merasa tidak seperti itu. Ibu Maria berbeda dengan ibu-ibu guru lainnya. Sebagai seorang guru menggambar ia selalu disiplin dan tepat memperhatikan segala detail kami. Ia cerewet dan suaranya lebih kencang dibanding suara suara kami semua. Dari cara dia membentuk rambutnya yang keriting hingga sebahu, merawat tubuhnya yang kurus langsing hingga setelan yang ia kenakan dari ujung kaki hingga rambut selalu seimbang dengan pekerjaannya sebagai guru gambar kami. Ia mirip sebuah lukisan, baik bentuk fisiknya hingga tutur katanya. Aku merasa anak-anak menyukai jurusan bangunan karena ada mata pelajaran gambar ini.sering terlihat bila ibu Maria sudah mulai mengajar semuanya akan duduk tenang di depan buku dan peralatan gambar mereka dan menikmati pelajaran itu seperti mereka sedang menikmati makanan lezat di restauran mahal.
Ada satu hal yang aku tidak suka dari ibu maria. Ia selalu memaksaku untuk menulis dan menggambar dengan tangan kanan. Sedang sejak lahir aku sudah terbiasa menggunakan tangan kiri. Guru-guru yang lain tidak mempersoalkan ini. Namun ibu Maria sangat memperhatikan kekidalanku. Ia selalu menegurku dan mengajari aku menggunakan tangan kanan. Bila mata pelajarannya tiba, aku sangat merasa kaku dengan hal ini. Aku selalu mencuri-curi pandang saat ia menatapku. Bila tatapannya lengah aku akan cepat-cepat menggambar dengan tangan kiri namun bila matanya menyorotiku, aku akan dengan sengaja memegang pensil atau pena dengan tangan kanan.
Begitulah kelas F. Kelas yang halamannya saja takut dilewati oleh siswi-siswi cantik. Kami yang puber selalu melampiaskan segala yang menggemuruh dalam diri kami, membuat para siswa apalagi siswi menandai kelakuan buruk kami.
*
Aku sebenarnya bukanlah anak yang tergolong nakal. Aku seorang pendiam di tengah teman-temanku yang sangat ribut. Sebenarnya bukan hanya aku saja yang tenang tetapi ada lima teman lainnya juga. Biasanya kelima temanku yang pendiam itu memiliki teman-teman siswi di jurusan tataboga sehingga bila jam istirahat datang kadang mereka saling berkunjung. Yang lebih parahnya bila para siswi itu berkunjung ke kelas kami untuk menemui teman mereka, suasana akan berubah seperti para tikus yang masuk ke dalam sangkar kucing. Mereka tidak akan lolos dari rayuan-rayuan maut yang membabi buta sehingga mereka segera berlari keluar menyelamatkan diri. Kelas F benar-benar menakutkan di mata para siswi. Siswi yang datang ke kelas ini dan menetap lama seperti barang antik dan mahal yang susah dicari. Jangan tanya lagi, para pelajar di sini semuanya jomblo. Mungkin kelima temanku yang pendiam itu yang memiliki teman perempuan di sekolah ini. Aku merasa kenakalan kelas F yang kesohor sudah terlanjur berjalan dan tercipta. Mungkin kalau ada saja siswi-siswi yang mau masuk dan memilih jurusan bangunan mungkin kenakalan itu sedikit terbendung. Seperti kehadiran ibu Maria yang diperlakukan baik oleh teman-teman. Mungkin anak-anak F mereka memiliki cara sendiri untuk mengekspresikan perasaan.
Aku sendiri tidak memiliki seorang teman perempuan pun di sini. Walau ada beberapa siswi yang seperti selalu tersenyum dan menegurku saat kami berpapasan.a Aku mengenali mereka karena kebiasaan itu dan mereka juga selalu bertanya tentangku lewat teman-teman lainnya. Anak-anak itu sering menyampaikan titipan salam dari cewek kelas sebelah padaku. Mendengar itu aku hanya merasa geli. Kadang saat istirahat sekolah aku sengaja keluar kelas dan mengintip-ngintip siswi yang mereka maksud. Perempuan-perempuan itu cantik dan manis dan itu membuat bibirku tersenyum-senyum sendiri saat pergi dan pulang sekolah. jangankan di sekolah, di sekitar lingkungan tinggalku saja ada beberapa cewek yang menitipkan salam padaku lewat teman-temanku. Dua diantaranya sering berkunjung ke kamarku dan memintaku menulis puisi. Keduanya kakak beradik. Yang satu bernama Rose sedang adiknya bernama Yanti. Bila menjelang sore keduanya sering berkunjung ke rumah dan memintaku membuat puisi untuk mereka. Katanya mereka ada tugas sekolah. Yang aku heran adalah hampir setiap hari mereka datang dan aku tidak yakin mereka memiliki tugas puisi tiap hari. Walaupun merasa ada yang aneh, aku selalu melayani permintaan mereka bergantian. Bila aku telah selesai menulis puisi untuk Rose, maka Rose akan pergi dan diganti oleh adiknya. Begitulah terus menerus. Keduanya bersekolah di tempat lain dan beberapa hari yang lalu mereka datang memintaku untuk menulis puisi yang terakhir untuk mereka. Kata mereka, ayahnya yang bekerja sebagai PNS di kantor statistik akan dipindahkan ke Rote dan kami akan berpisah. Ayahnya memboyong mereka semua untuk pindah ke sana.
Pada pertemuan terakhir kami kemarin aku melihat Yanti meneteskan airmata dan menangis. Jujur saja di antara keduanya aku menyukai Yanti yang memiliki wajah yang sangat manis. Akupun ikut sedih waktu itu. Saat mereka telah pergi barulah aku meluangkan puisi yang berisi perasaanku di dinding-dinding kamar. Ahh, andaikan mereka masih ada di sini aku pasti sudah berikan puisi itu untuk mereka. Tetapi kini semuanya telah hilang. kebiasaan mereka mengunjungiku melahirkan ketertarikan dan kehilangan yang besar. Siapa lagi yang akan datang mengunjungiku dan menyuruhku untuk membuat puisi. Siapa lagi yang akan mengajakku berbicara tentang puisi dan kesukaanku. Hanya mereka berdua. Yang lain begitu egois, tenggelam dalam kenakalan remaja dan bayang-bayang perasaan yang tumbuh kuat dan membekas atau hilang.
**
Suatu siang di jam istirahat sekolah, untuk pertama kalinya namaku dipanggil lewat alat pengeras suara di kantor sekolah. Teman-tamanku yang nakal yang selama ini melihat ketenanganku, mengerumuniku seperti penasaran dengan apa yang barusan mereka dengar.
“Bro, kamu dapat surat dari Rote. Wow, keren!” kata salah seorang teman seperti menggangguku. Aku segera pergi ke kantor dan mengambil sebuah surat yang terbungkus amplop.tertulis di situ nama Yanti yang beralamat di sebuah sekolah menengah pertama di Rote. Aku segera memasukkan surat itu ke dalam saku celana untuk menghindari gangguan teman-teman. Setelah pulang sekolah aku membacanya dengan hening di kamar sembari membayangkan kedatangan Yanti di kamarku. Perasaanku berbunga-bunga dan jantungku berdentam kencang.
Dari Yanti di Rote,
Untukmu yang jauh di Alor.
Lewat surat ini aku ingin mengabarkan isi hatiku padamu. Bahwa aku telah sampai di Rote dalam keadaan baik-baik saja walaupun perasaanku terluka dan tinggal di situ. Aku menulis surat ini tanpa pengetahuan siapa-siapa. Tidak juga Rose. Aku merasa harus tetap berhubungan dengan perasaanku yang tinggal agar luka ini bisa terobati.
Segera setelah kau baca surat ini, balaslah ke alamat sekolahku yang tertera di halaman amplop agar hatiku terhibur dan tenang, agar aku yakin bahwa kita tidak benar-benar berpisah.
Salam rindu dari Rote.
__________
Setelah membaca surat dari Yanti aku langsung saja mencari kertas dan menulis surat balasan untuknya.
Yanti yang jauh,
Aku sudah membaca suratmu yang penuh rindu itu. Kamu telah memaksa hatiku juga untuk berkata jujur bahwa saat terakhir kali kalian pergi aku merasa kehilangan. Aku kehilangan dengan segala basa basimu yang selalu datang dan menyuruhku membuat puisi. Aku merasa basa-basi itu telah menyihirku ke dalam perasaan yang serius untuk mencintaimu seperti seorang lelaki jatuh cinta pada seorang perempuan. Aku merasa perasaan itu kini dan kedatangan suratmu seperti kau menyodorkan tanganmu untuk aku raih agar kita tetap bersama.
Yanti, aku harap kita akan terus berkirim surat agar perasaan kehilangan ini kembali bertemu.
Salam.
__________
Selesai menulis surat itu aku lalu membungkusnya dalam sebuah amplop dan berencana akan mengirimnya saat jam istirahat sekolah. Kebetulan kantor pos berada tidak jauh dari sekolah. Dengan bermaterai 6000 surat itu mengudara membawa perasaanku yang terus menunggu.
Dua Minggu setelah kiriman itu, seperti surat pertama namaku kembali dipanggil lewat alat pengeras suara di kantor sekolah. Teman-temanku yang nakal serentak melirikku.
“Waw, betapa serunya memiliki sahabat pena, ” kata salah seorang teman. Aku pergi ke kantor dan mengambil surat itu dan menyembunyikan surat itu di saku celanaku. Beberapa guru terlihat melirikku dengan wajah penuh tanda tanya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Di rumah, di dalam kamar, aku membuka amplop berwarna pink dan bermotif bunga-bunga itu dan membaca isi hati Yanti yang ada di dalam kertas itu. Ada sebuah foto di dalamnya. Sebuah wajah dengan senyuman yang manis. Aku menempel foto dan surat-surat Yanti di sebuah papan khusus di dinding kamar. Setiap malam aku menatap surat dan foto itu. Entah mengapa jari jemariku selalu tergerak untuk menulis surat untuknya. Aku langsung saja menulis dan menumpuknya dalam sebuah album. Aku berencana akan mengirimnya secara beraturan saat ia membalas surat yang aku kirim.
Surat-surat kami terus mengudara. Dengan materai 6000, seekor merpati terbang membawa suratku dan suratnya dari Alor ke Rote pulang pergi setiap dua Minggu.
Karena namaku yang selalu mengudara lewat alat pengeras suara di kantor sekolah, pada suatu hari dari sekian belas surat yang telah sampai dan telah kubalas setelah namaku di panggil, aku melihat semua teman-temanku yang nakal berkerumun di kantor sekolah dan mengambil surat itu dan membawanya padaku. Aku merasa terganggu dengan tingkah laku mereka itu. Aku merasa surat-surat ini adalah sesuatu yang sangat rahasia antara aku dan yanti. Namun tingkah laku teman-teman seperti mempermainkan perasaanku.
“Ayolah teman, ajari kami menulis surat dan memiliki sahabat pena,” kata salah seorang teman yang terkenal sangat nakal.
“Kalau kau mau menulis surat, kamu harus pastikan kamu memiliki teman spesial dari jauh. Di seberang pulau,” temanku yang lainnya menjawab.
“Ada tidak teman spesialmu?” tanya yang lainnya. Wajah temanku yang sangat nakal itu tertunduk dan menarik napas panjang.
“Setidaknya, untuk mendapatkan teman spesial kalian harus menjadi siswa yang baik,” jawab suara lain diantara kami yang berkerumun. Ternyata itu suara pak guru.k Kami semua bubar dan kembali ke tempat duduk kami masing-masing. Kali ini pak Budiono akan mengajari kami pelajaran Bahasa Indonesia dan ia menginginkan semua siswa memiliki sahabat pena untuk saling berkirim surat. Semua teman-teman terdiam dan kusyuk mendengarkan pelajaran. Seperti ada yang seru dalam pelajaran surat menyurat kali ini. Terlihat semua orang serius menghayal dan merancang surat yang indah untuk sahabat pena yang masih dalam hayalan.
Aku masih menyembunyikan surat Yanti di saku celanaku. Entah apa yang merasuki kami. Kelas F benar-benar berubah. Berawal dari namaku yang selalu mengudara lewat alat pengeras suara di kantor. Kini bukan saja namaku yang selalu dipanggil. Setiap anak F memiliki sahabat pena di seberang pulau. Entah bagaimana cara mereka mendapatkan teman. Dunia kini bukan hanya ada dalam teluk Alor yang sempit ini. Seperti pikiran mereka, dunia kini terasa besar, luas dan berwarna-warni.
***
Yantiku yang baik
Terima kasih sudah menjadi sahabat penaku. Aku mendengar sebuah hadis dari nabi Muhammad yang mengatakan bahwa seorang sahabat akan berperilaku dan mirip seperti sahabatnya. Terasa bahwa cinta yang berdebar ini telah mengikat kita dengan surat-surat yang terus terhubung. Dan surat-surat itu telah menghubungkan semua yang terputus diantara manusia. Kini,sahabat-sahabatku yang nakal telah berubah menjadi penulis surat yang ulung. Setiap hari dan waktu mereka mondar-mandir kantor pos untuk mengirim perasaan mereka kepada sahabatnya di luar pulau. Sepertimu, sahabatku. Semua berawal dari suratmu yang telah merubah suasana remaja yang nakal ini menjadi lebih tenang dan romantis.
Terimakasih, Yanti. Terimakasih telah datang mengunjungiku dan berceritera tentang puisi. Terimakasih telah mengulurkan tangan untuk menghibur diriku yang sendiri. Aku akan selalu merindukan surat balasanmu yang jauh.
Alor 12 Desember 2000
—————–