Pembual

LELAKI itu pernah mengaku ingin membunuh Ani, pacarnya yang mengkhianatinya beberapa tahun lalu. Meski terdengar heroik dan nyaris terpercaya, orang-orang tetap tahu di suatu tempat masih hidup perempuan bernama Ani yang menikahi anak koruptor kelas kakap, yang kini mempunyai seorang bayi perempuan setelah dua atau tiga tahun mereka putus.

Dalam beberapa tahun setelah itu, aku masih sangat yakin Ani masih hidup tentram dan banyak uang dan baru akan mati jika dihampiri sebab-sebab lain, seperti keracunan makanan, jatuh dari atas gedung, dilindas bus atau truk, ditembak pembenci koruptor, dan lain sebagainya. Lelaki itu, mantan pacar Ani itu, tidak akan masuk daftar terbawah terkait sebab-sebab kematian si wanita.

Sebenarnya aku malas bercerita soal ini. Lelaki itu sudah lama menjadi sahabatku; setidaknya itu yang orang-orang lihat, meski kami tidak terlalu sering bersama dan tidak terlalu akrab sebagaimana antara diriku dan beberapa teman kami yang sama-sama punya cerita pahit.

Melihat kenyataan itu, rasanya aku ingin memukul kepala si lelaki tadi berkali-kali sampai tengkoraknya terbelah, dan dengan begitu aku bisa mengubah pola berpikirnya yang payah.

Aku tahu dia tidak pernah serius memperbaiki nasib. Suatu kali dia bersumpah menghabisi seseorang yang membuatnya terlihat konyol di depan wanita (sebelum Ani), tetapi kenyataannya tidak terjadi itu, meski sudah jelas pelakunya siapa dan telah jelas pula motifnya demi membuatnya terlihat pengecut. Di mata kami, memang ia pengecut.

Hanya saja, di luar lingkaran kami, dari beberapa kabar yang dapat kupercaya, dia selalu bersumpah telah dan akan berbuat berbagai macam hal buruk pada tiap orang yang mengganggunya. Dalam cerita-ceritanya, dia berperan sebagai orang yang memulai kekacauan bagi hidup orang lain. Dia tidak menunggu si A membuat masalah padanya, sehingga suatu kali dia buat hidup si A berantakan. Dia hanya perlu datang dan mengobrak-abrik rumah si A, menikamnya berkali-kali sampai tak berdaya. Atau, dia tak perlu membiarkan si B beraksi dengan membuatnya gagal memiliki perempuan yang diincarnya, dengan mencegat si B di sebuah gang dan menghajarnya sebelum melucuti baju dari tubuh si B hingga harga diri musuh tersebut terkoyak sebelum harga dirinya sendiri berceceran di pinggir jalan.

Mendengar ini, teman-temanku berkata di belakangnya, “Biarkan saja.”

Buatku ini sudah keterlaluan. Kisah-kisahnya cuma omong kosong. Pengakuan dari mulutnya tidak lebih dari sebongkah tinja yang sepatutnya dibuang ke lubang toilet. Aku ingin memberinya pelajaran. Hanya saja, aku belum menemukan cara. Suatu hari aku yakin cara itu akan datang. Jadi aku hanya menunggu.

Dalam masa ini, cerita-cerita bual lelaki itu terus bertambah dan ada juga sebagian yang berkembang ke tahap yang sangat tak masuk akal. Misalnya saja ada tambahan di cerita soal lelaki itu yang telah melecehkan adik perempuan seorang ketua geng motor yang jadi musuh bebuyutan kami sejak lama. Cerita itu berkembang menjadi begini: ketua geng itu marah dan mendatangi markas kami bersama para anak buah, tetapi kebetulan kami sedang tidak ada di situ, kecuali lelaki ‘teman’ kami itu seorang diri. Dengan tangan kosong, dia mengaku menumbangkan lebih dari sebelas anggota geng sampai babak belur; dua di antaranya sampai trauma parah karena tidak lagi mampu meniduri wanita setelah dihajar di bagian tertentu sehingga saraf khusus di sana tidak lagi berfungsi.

Aku sudah sangat muak, tetapi membiarkan saja karena nyatanya bualan itu sukses membuatnya disegani beberapa tukang parkir, tukang becak, dan penjaga toko di pasar yang jadi wilayah kekuasaan kami sejak dulu. Aku memutuskan menunda untuk sementara, karena teman-teman bilang, “Ada saatnya seseorang berhak mendapat apa yang harusnya didapat. ‘Teman’ kita yang satu itu membangun harga dirinya sendiri, meski dengan bualan.”

Bagi kami, dia tidak lebih dari kulit kacang yang bisa kami buang sewaktu-waktu. Hanya karena jasa saudaranya pada salah satu teman terpenting di kelompok kami, dia bisa bertahan bersama kami. Dia tidak pernah benar-benar kami kenal awalnya. Dia datang begitu saja setelah kakaknya mati di sebuah malam yang kelam. Mati begitu saja saat tidur setelah merancap, hingga orang hanya akan mengenang kakaknya sebagai perjaka tua kesepian yang mati dengan majalah dewasa dalam pelukan.

Kebanyakan para tetangganya bersaksi, “Dulu dia tidak begitu, Mas. Tapi, setelah abangnya mati, tahu-tahu berubah.”

Sebagian besar mereka bilang lelaki itu dulunya sangat cair dan tidak sekaku saat ini.

Orang-orang seperti kami, yang mengenalnya setelah kakaknya mati, tidak melihat perbedaan apa pun tentang kehidupannya di masa lalu dengan apa yang ada di masa sekarang. Kami juga pastinya tidak merasa heran dan tidak perlu bertanya-tanya, karena toh ada dia ataupun tidak, bagi kami sama saja. Jika kami ibarat pasukan, dia tidak ubahnya kutu kecil di kepala plontos kami, yang eksistensinya tidak memengaruhi jalan perang. Kami tetap maju dengan atau tanpa dirinya. Kami masih hidup dengan cara dan gaya yang sama meski ada sepuluh sosok salinannya dalam kelompok kami.

Ada ataupun tidak, bagi kami lelaki itu tidak penting. Lagi pula, dia bisa mencari uang sendiri. Kadang dia ikut membeli minum untuk pesta di markas. Kadang-kadang kami bayari dia makan. Di lingkaran kami, keberadaannya hanya wujud terima kasih salah satu dari kami yang pernah dibantu kakaknya di masa lalu. Itulah kenapa teman-teman tidak ambil pusing meski akhirnya kebiasaan membualnya meningkat ke tahap yang sangat akut.

Ketika lelaki itu sadar bualannya telah sampai ke telinga kami, dia terlihat semakin kaku dan aku bisa membayangkan sebongkah batu diberi nyawa atau yang lebih buruk: kondom bekas yang diberi nyawa, daging, tulang-belulang, dan kentut. Tak ada otak di sana. Barangkali tertinggal bersama koleksi majalah dewasa milik sang kakak yang belakangan dibakar ibu mereka yang frustrasi lantaran melahirkan orang-orang gagal.

Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama. Suatu kali seorang perempuan datang ke markas dan mencari lelaki itu. Perempuan itu bernama Ani. Dia tidak cocok untuk sekadar ada di tempat kami. Dia sama sekali datang bagai patung hiasan salah kirim ke tempat jin buang anak. Dia datang dengan bola mata, bibir, lekuk tubuh, dan pinggul yang sama sekali bukan diciptakan untuk singgah ke tempat busuk kami. Tetapi, dia ada di situ dan berdiri menunggu lelaki itu keluar dari rutinitas merancap di toilet kami di belakang sana. Seseorang harus meneriakinya empat kali sampai dia keluar ke ruang tamu dengan tergopoh-gopoh tanpa sempat membersihkan tangannya yang masih kotor.

Siang itu benar-benar anomali. Beberapa teman terlihat biasa ketika melihat tubuh Ani yang menggiurkan pergi bersama lelaki yang paling tak kami pedulikan itu entah ke mana. Entah di mata yang lain terbentuk ingatan apa begitu melihat wajahku detik itu. Barangkali mereka tahu aku cemburu. Barangkali mereka tidak tahu aku cemburu. Barangkali tiap orang tak menganggapku memikirkan apa-apa. Barangkali saja mereka tak ingat bahwa di tempat itu, pada siang yang terik itu, ketika Ani akhirnya digandeng dengan mesra di pagar depan oleh salah satu dari kami yang dianggap paling tidak eksis, ada juga diriku yang diam-diam memikirkan rencana untuk diri sendiri.

Sejak itu lelaki itu jarang terlihat bersama kami; Ani memberikan waktunya untuk si lelaki tukang bual yang tidak pernah benar-benar berdiri bersama kami sebagai lelaki-lelaki sejati yang berani melawan apa saja. Ani memberi lelaki itu terlalu banyak waktu, sehingga terkadang kami mengira lelaki itu sudah menyingkirkan dirinya dari hadapan kami. Namun, ia datang suatu sore dengan bola mata bagai membara. Ia membawa sebuah vas bunga yang dibanting begitu saja di halaman depan markas sehingga membuat kami terkejut dan sempat mengira barangkali di masa depan, orang baru yang benar-benar berani seperti kami akan ada sepenuhnya untuk kelompok ini. Kali itulah dia mengungkapkan niatnya dalam menghabisi Ani. Aku tak tahu secara detail ucapannya, karena waktu itu aku baru bangun tidur, sehingga ketika melangkah keluar dan menemui teman-teman di meja teras bersama lelaki itu, yang sempat kutangkap hanya kalimat ini:

“Biar cowok itu jantungan dapat bingkisan kepala Ani! Biar mampus!”

Sekali lagi, meski ucapan itu heroik dan nyaris dapat dipercaya keterwujudannya, orang-orang tahu, di suatu tempat, masih hidup perempuan bernama Ani yang menikahi anak koruptor dan kini punya bayi setelah dua atau tiga tahun perselingkuhan si wanita terbongkar.

Dalam beberapa tahun setelah itu, aku masih yakin Ani masih hidup tentram dan banyak uang. Pada detik itu, semua akan berbeda. Orang-orang tetap bekerja seperti biasa, tetapi kami tak lagi semuda dulu. Mungkin kami akan memiliki pekerjaan tetap dan berkeluarga atau bisa jadi mati dengan cara-cara menggiriskan. Tak ada yang tahu pasti bagaimana kami berakhir kelak. Dan, tidak ada pula yang tahu bagaimana pembual itu berakhir. [ ]

Gempol, 2018-2024

Bagikan:

Penulis →

Ken Hanggara

Lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya yang terbit: Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Dosa di Hutan Terlarang (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *