Panggilan tak Terjawab

MALAM itu ceramah Miq Tuan Haji dipenuhi dengan ancaman kematian, doa-doa, dan betapa tak berdayanya semua umat manusia di atas bumi ini. Sebagian jema’ah dalam surau hampir meneteskan air mata. Beberapa menolak mendengarkan karena tahu betapa banyak sudah dosa-dosa terkumpul di balik sarung mereka—serta tentu saja dosa-dosa lain yang masih akan dikumpulkan. Sebagian lagi memilih untuk mendengarkan sambil berbaring. Gelapnya malam dan hawa dingin musim kemarau lekas membawa kantuk mengerubungi mata mereka yang seharian lelah memilah antara benih padi dan teki. Sedangkan Pak Harun yang telah meneteskan air mata penuh kesakitan dan sejak tadi menyandarkan kepala pada tembok surau yang di banjiri cahaya kuning lampu tempel itu, tak dapat mendengar ucapan Miq Tuan Haji. Hanya dering. Dering yang terus merongrong seluruh indera pendengarannya. Pak Basri yang duduk tak jauh darinya merasa iba. Mungkin ceramah ini mengingatkannya akan mendiang istrinya, pikirnya. Di tengah ceramah yang dipenuhi ancaman kematian dan ketakberdayaan itu, Pak Basri menemukan alasan untuk bersyukur: Ia, Sunar, dan keempat anak mereka masih diberikan kesehatan.

Udara semakin dingin, malam tanpa lampu elektrik yang menyala di rumah-rumah warga. Bulan bersinar kuning megah di atas desa. Cahayanya yang agung tak terkalahkan oleh api lampu minyak yang tak lelah bergoyang-goyang dan memenuhi lubang hidung para petani dengan hitam karbon. Berjalan di pematang yang lembab, Pak Harun menuju rumahnya sambil terus menutup kedua telinga dengan tangan yang gemetar. Ia tak ingin pulang, rumahnya yang sunyi dan dibanjiri cahaya putih dingin dari menara telekomunikasi itu terasa begitu menakutkan baginya. Setiapkali menyendiri di dalam rumah, dering dalam kepalanya akan semakin menjadi-jadi. Setibanya di depan pagar kayu rumahnya, ia menemukan menara itu kokoh berdiri dengan lampu-lampunya yang menyala putih.

“Baik-baik saja, Pak?” tanya Pak Basri yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya. Beberapa bulan ini, Pak Harun memang berbeda. Beberapa petani dan tetangganya mengamati perubahan yang begitu asing pada dirinya.

Pak Harun terkejut. “Ya,” jawabnya ragu.

“Mari ikut ke tempat saya? Sunar sudah menyiapkan makan malam,” kata Pak Basri bersungguh-sungguh

“Tidak usah,” sanggah Pak Harun, “nanti mengganggu waktu istirahat side

“Tidak apa-apa,” kata Pak Basri sambil merangkul lengan tetangga satu desa itu. “Mari!”

Pak Harun tak bisa lagi menolak, lantas mereka melanjutkan perjalanan diterangi cahaya bulan. Setibanya di rumah Pak Basri, berbagai aroma masakan menyambut dan mereka bergegas duduk bersila di atas tikar pandan di berugaq.

“Mati lampu lagi,” keluh Pak Basri.

“Ya, biasanya akan bertahan sampai subuh.”

Belakangan, pemadaman listrik semakin sering terjadi. Menurut kabar yang sampai di desa, listrik dalam jumlah besar dibutuhkan untuk menerangi pertokoan, rumah sakit, dan semua hal yang ada di kota. Jika tidak, maka seluruh pulau akan merugi dan kehilangan uang-uang investasi yang dicurahkan di kota sana. Warga desa diharap mengerti dan memaklumi.

Sambil menunggu makan malam, Pak Basri dan Pak Harun mulai menggulung tembakau dengan kulit jagung yang mereka selipkan di gulungan sarung mereka.

“Tapi rumah side tidak terlalu gelap, ya?”

“Iya, lampu-lampu menara itu ndak pernah mati walaupun sedang mati lampu,” kata Pak Harun sedikit kesal.

“Tidak pernah mati selama satu tahun ini?” tanya Pak Basri heran.

“Maksud saya,” jawab Pak Harun sambil tersenyum, “lampu-lampu itu selalu menyala sebelum gelap dan mati setelah matahari setinggi pohon padi.”

Pak Basri tampak semakin heran. “Apa ada orang yang datang menyalakan dan mematikan lampu-lampu itu? Di mana saklar untuk menyalakan lampu sebanyak itu?”

“Tidak ada, saya juga heran. Lampu-lampu itu selalu menyala dan mati tepat waktu, tapi saya juga ndak pernah lihat ada orang yang datang menyalakan atau mematikannya.”

Mendengar pernyataan itu, Pak Basri menoleh kanan-kiri. Lampu minyak belum dibawa keluar, yang bisa dilihatnya hanyalah sosok gelap pohon rambutan, manggis, dan sukun. Kegelapan di sekitarnya membuat Pak Basri sedikit gelisah. Sementara itu, Pak Harun mulai menutup telinganya lagi. Suara dering yang monoton terdengar kembali.

“Seharusnya, Pak Kadus mengundang kita untuk menzikirkan pembangunan menara itu.”

Pak Harun berusaha mengalihkan perhatian dari dering dalam kepala ke wajah Pak Basri dalam gelap.

“Maksud Bapak, ada barang halus di menara itu?” tanya Pak Harun yang sudah siap meyakini spekulasi tetangganya itu. Mungkin itu alasan sura dering yang selama tiga bulan ini mengganggu tidurnya. Mungkin barang halus itu penyebab sakit kepala dan suara dering yang tak tertahankan itu. Lagi pula, barang halus itu bisa melakukan hal yang lebih keji dari itu. Tentu saja, pikirnya. Belum sempat mereka berspekulasi lebih jauh, suara Pak Kadus terdengar dari pagar kayu rumahPak Basri. Mereka berdua bangkit, menjawab salam dan mempersilakannya untuk bergabung. Sebagai tuan rumah, Pak Basri bergegas menuju dapur yang tak jauh dari berugaq, kemudian kembali membawa tiga gelas kopi hitam yang diikuti Sunar dengan nampan bersisi makanan dan lampu minyak dengan api kecil berasap hitam.

“Jangan repot-repot, Pak,” kata Pak Kadus sambil menepi.

Kopi dan makan malam sudah tersaji di tengah-tengah mereka. Sunar membungkuk mengundurkan diri, bayangannya membesar di atas tanah dan segera hilang dalam kegelapan dapur. Pak Basri tidak mengizinkan mereka menolak. Sebagai orang yang paling tua, ia memulai santap malam tanpa suara. Tetua desa seperti Pak Basri dan Pak Harun percaya bahwa percakapan saat makan malam terutama dalam gelap tidaklah elok, karena setan-setan dan barang halus lainnya dapat mencuri sari-pati dari makanan mereka melalui kata-kata yang mereka ucapkan. Setelah santap malam yang sunyi itu usai, mereka mulai menggulung tembakau dan menawarkannya kepada Pak Kadus. Pak Kadus menolak, kemudian mengeluarkan sebungkus rokok putih.

“Saya mencari Pak Harun tadi, tapi Bapak tidak ada di rumah,” kata Pak Kadus di sela embusan asap rokoknya. “Begini,” sambungnya, “kantornya Aldi berencana untuk meninggikan menara itu, katanya akan lebih bagus sinyal telepon kalau menaranya lebih tinggi, jadi mungkin dua hari lagi akan banyak pekerja yang datang.”

“Apa ada orang yang datang untuk mematikan dan menyalakan lampu di menara itu, Pak?” tanya Pak Basri bersungguh-sungguh.

Ndak ada. Kata Aldi ndak perlu orang untuk menyalakannya. Kar…” Belum selesai Pak Kadus menjelaskan, suara dering yang melengking datang dari saku celananya. “Maaf Bapak-bapak, saya permisi sebentar.” Kemudian ia bergegas menjauh, mengeluarkan sebuah benda persegi panjang yang memancarkan cahaya putih, serupa cahaya yang terpancar dari lampu-lampu menara di sebelah rumah Pak Harun.

“Suara apa tadi itu?” Sambil kebingungan Pak Harun menutup rapat kedua telinganya. Ia yakin bahwa sekarang suara dering yang memekakkan telinga itu keluar dari kepalanya. Kepalanya pening, ia mulai berkeringat. Pak Basri pun terkejut, ia juga tak pernah mendengar suara seperti itu. Itu adalah kali pertama mereka melihat dan mendengar telepon pintar.

Mereka berdua menunggu tanpa berkata-kata sambil sesekali mendengar percakapan Pak Kadus. “Iya… kirimkan saja… iya…”

Setelah semakin banyak ‘iya’, akhirnya Pak Kadus menutup percakapan dengan salam. Setelah itu ia bergegas kembali menghampiri kedua orang yang sedang menunggunya. “Maaf, Bapak-bapak, Aldi barusan menelpon,” katanya sambil menunjukkan layar telepon yang berpendar di kegelapan. “Katanya, dia juga akan menggali di beberapa tempat.”

Aldi, adik Pak Kadus yang lebih memilih untuk menetap di kota adalah teknisi dari perusahaan telekomunikasi yang membeli tanah di sebelah rumah Pak Harun dan membangun menara itu. Satu tahun yang lalu, Aldi sering berkunjung dan menjelaskan manfaat-manfaat menara itu untuk generasi muda dan kemudahan berkomunikasi jarak jauh. Ia juga meyakinkan petani bahwa tidak akan ada kompetisi pengggunaan air, atau pun penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh menara itu. Tentu saja, Aldi dan para pemilik perusahaan tahu bahwa gelombang elektromagnetik yang terpancar dari menara itu dapat memicu munculnya gangguan-gangguan yang tak terlihat seperti tinnitus atau telinga berdering tanpa berkesudahan. Namun, karena penyakit-penyakit itu tidak terlihat, maka dengan sengaja mereka menghapus informasi itu dari diskusi bersama warga.

Malam semakin larut, setelah menyampaikan maksud dan tujuannya berkunjung dan menghabiskan kopi yang disuguhkan, Pak Kadus pamit mengundurkan diri, meninggalkan Pak Harun dengan dering melengking di kepalanya. Sementara kepercayaan akan adanya kekuatan tak kasat mata yang menguasai menara itu, semakin kuat di benak Pak Basri.

“Mungkin benar ada barang halus di sana,” kata Pak Basri sambil kembali menggulung tembakau.

“Sebetulnya, sudah tiga bulan ini saya mendengar suara dering seperti suara telepon Pak Kadus itu,” keluh Pak Harun sambil memegang sebelah telinganya.

Side punya telpon seperti itu juga?”

Ndak, ndak ada telepon seperti itu atau pun telepon rumah seperti di kantor desa. Mana mampu saya membeli barang-barang seperti itu.”

“Terus, dari mana datangnya suara itu?” tanya Pak Basri, semakin yakin akan adanya barang halus yang menghuni menara itu.

“Rasanya suara itu muncul dari dalam kepala saya,” jawab Pak Harun terdengar putus-asa—dering itu kembali terdengar di telinganya.

Sebelum menyampaikan keyakinannya akan penghuni menara, Pak Basri mengingat-ingat macam gejala kesurupan barang halus yang sering ditemukan di desa. Namun, dari semua gejala yang pernah didengarnya, tak pernah ada gejala mendengar dering telepon.

“Bapak yakin itu suara telepon?”

“Yakin, demi Allah,” jawab Pak Harun, suaranya terdengar lelah.  “Kadang, suara itu terdengar jauh sekali, tapi seringkali terdengar sangat dekat dan kepala saya sering sakit jadinya.”

Dalam pikirannya, Pak Basri mengira-ngira bagaimana dan siapa kiranya yang bisa menelepon seseorang tanpa telepon? Siapa yang bisa memanggilnya tanpa perantara atau peralatan macam itu? Cerita tentang warga yang dipanggil hantu dan roh di desa adalah cerita yang sering didengar, tapi tak pernah ada yang dipanggil dengan suara telepon. Perkiraan tentang panggilan misterius ini membawa ingatan Pak Basri kepada ceramah Miq Tuan Haji di surau tadi. “Apa mungkin?” ia bertanya penuh kekhawatiran.

“Mungkin apa, Pak?” tanya Pak Harun.

“Ingat ceramah Miq Tuan tadi?  Kita harus selalu mengingat Allah dan memanggil namanya sebelum Ia memanggil kita?”

“Iya…” jawab Pak Harun sedikit kebingungan.

“Apa mungkin ini panggilannya?”

Setalah menimbang-nimbang pendapat Pak Basri, Pak Harun pun mulai percaya. Menyadari arti dari panggilan Tuhan membuat sekujur tubuhnya menjadi lemas, rasa takut dan cemas menguasainya. “Ya Allah, ampunilah hamba,” katanya dengan penuh duka, menyadari betapa banyak dosa dan kesalahan yang telah dikumpulkannya selama hidup.

***

Setelah percakapannya dengan Pak Basri malam itu, membuat Pak Harun sering mengunjungi Miq Tuan Haji untuk berdiskusi dan belajar. Ia menjadi semakin sering mengurangi tidurnya, memperbanyak salat, membaca qur’an dan berzikir, berpuasa, makan secukupnya, menjaga prasangka dan hatinya, menghapus umpatan dalam pikirannya, membayar semua hutang-hutangnya, menagih semua hutang yang orang lain janjikan kepadanya, juga menjual semua ayam petarungnya. Singkatnya, ia hidup bagaikan orang salih. Warga desa semakin menghormatinya, beberapa orang bahkan datang meminta pendapatnya untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah ruamh tangga mereka. Hal itu karena warga desa percaya bahwa ia telah menerima hidayah dari Yang Maha Kuasa. Dulunya, walaupun jujur dan pekerja keras, Pak Harun juga dikenal suka mengumpat, berhutang tanpa peduli untuk membayar, tidak segan menyakiti hati petani lain dan terkadang ikut serta dalam ajang sabung ayam.

Sementara ia menikmati kehidupan baru yang di jalanainya dengan penuh rasa syukur dan rendah hati, menara angkuh yang dingin itu semakin meninggi.  Suara dering dalam kepalanya semakin sering terdengar. Kian nyaring dan menyiksa. Namun, Pak Harun tak lagi merasa ketakutan; dengan imannya yang semakin menebal dan kesabaran panjang miliknya, kini ia telah siap menghadapi panggilan itu. Lagi pula, kepergian istrinya menjadikan hidupnya semakin sepi; tanpa anak yang membebaninya, tak ada lagi yang memberatkannya meninggalkan dunia ini.

Malam itu, pemadaman listrik kembali terjadi. Warga desa bersembunyi dalam rumah-rumah mereka, menjaga kantuk agar segera datang setelah menuntaskan salat dan makan malam. Namun, dalam rumahnya, keringat Pak Harun mengilat di atas tubuhnya yang dibanjiri cahaya putih dari menara. Suara dalam kepalanya kini begitu hebat. Ia yakin, sebentar lagi semua itu akan usai. Ia mulai membaca semua doa yang diajarkan Miq Tuan Haji kepadanya. Suara dering semakin kuat. Hafalan-hafalan doa dalam kepalanya sudah tak ada lagi. Ketika itu ia menyadari, ia tak tahu lagi doa maupun cara menjawab panggilan Tuhan. Ia percaya bahwa dosa yang telah ia timbun selama ini menghalangi itu. Kebencian baru akan dirinya sendiri, suara dering menggelegar dalam kepalanya, dan sorot cahaya putih menara itu menyulut amarahnya. Ia pun bangkit, berteriak, dan kembali mengumpat. ()

Bagikan:

Penulis →

Maywin Dwi Asmara

Lahir di Lombok 3 mei 1992. Buku Kumpulan Cerpennya “Surat-surat Lenin Endrou” diterbitkan Basa-basi pada tahun 2019. Pernah bergiat di komunitas Akarpohon Mataram. Saat ini ia bermukim di Lombok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *