NAMA saya Rosihan, saya pengebom ikan dari Negeri Kepulauan. Setiap hari saya ke laut, menggandeng sampan menggunakan perahu katinting ke tengah laut senja, pelan-pelan, sampai terlihat ikan-ikan memungut lumut di terumbu karang yang membayang.
Itu makan malam, sebentar lagi ikan-ikan mereka mencari lubang atau menepi bersandar pada batu. Tampias terhindar. Saya pun mencari-cari ikan, siapa tahu masih ada yang bergerak ke teluk, untuk mencari sisa-sisa plankton, atau sekadar bermain di bawah pantulan cahaya bulan. Menebar benih kehidupan yang sudah tak tertahankan.
Saya berpindah ke sampan. Saya berkaca-kaca di permukaan air. Tanganku memutar sampan, mendayung pelan-pelan, pada tangan yang satu menyentuh botol minuman, di samping ada jerigen sepuluh liter berisi pupuk, yang sebenarnya tak bermaksud menyuburkan laut. Saya melihat ada buih, di dalam laut ada gelembung, ada arus yang tiba-tiba. Gerombolan ikan ‘baubara’ (ikan kue) sedang berputar-putar mengejar ikan ‘lureh’ (mairo). Saya membuang botol kecil minuman M150, ikan-ikan kecil terpapar, datanglah ikan-ikan baubara yang besar. Jirigen 20 liter saya turunkan menuju gerombolan ikan, di tengah-tengah pusaran itu, kabel detonator kulekatkan. Air menghambur ke atas, sebuah ledakan dahsyat menghempas, ikan-ikan baubara itu kaget dan hanyut. Ikan kupu-kupu, ikan kulit pasir, Sebagian mengapung di permukaan.
Kompressor kunyalakan, saya menyelam ke dasar untuk memungut ikan yang terkapar, cukup banyak, memenuhi dua stereofoam (gabus) dalam katintingku. Langit sudah malam. Saya senang, bisa hidup enak selama satu minggu ke depan. Bisa membeli apa saja, dapat ke kota untuk bersantai, bisa mengajak kawan untuk berpesta pora. Saya pun bisa mengulang permainan judi dengan puas.
Pada perjalanan pulang, saya melihat speed boat putih di kejauhan, bergerak, tapi tak cepat. Jantung saya berdegup, saya tiba-tiba berkeringat. Jangan-jangan orang yang tinggal di kampung sebelah itu. Saya mempercepat katinting, pikiran-pikiran datang. Sampai kapan? Saya melihat ikan dalam katinting, tidur dengan tenang, mulut terbuka. Sudah lebih sepuluh tahun saya mengebom ikan, dari sana saya dan keluarga bisa hidup lumayan hebat, bagaimana tidak, rumah bisa saya bangun, perahu dapat saya beli dengan mudah, biaya anak-anak sekolah lancar, dan saya dapat bersenang-senang. Namun, sehabis melakukan itu, selalu ada rasa cemas, tak tahu apa.
Sebenarnya saya ingin seperti nelayan lain yang hidup tenang, tidak dibayang-bayangi ketakutan. Mereka dapat hidup cukup hanya dengan memancing dan menjaring ikan. Tapi, saya merasa tak yakin dapat memenuhi kebutuhan hidup yang sudah terlanjur besar. Saya sudah terlanjur nyaman menikmati hasil selama ini. Sulit rasanya untuk kembali melarat, berjerih payah memancing ikan. Apalagi, saya sudah tahu betul, ikan di laut sudah sulit di pancing. Ikan yang di bom saja jujur sudah berkurang. Yah, mau tak mau saya harus terus mengebom ikan. Sampai tidak ada lagi ikan yang dapat dibom. Itulah cara yang paling gampang dengan hasil yang dapat lebih dari cukup. Walaupun tentu ada risiko. Tangan bisa buntung, badan bisa lebur. Tetangga dekat rumah badannya hancur dan sebagian dagingnya dimakan ikan. Mungkin saat itu dia kebanyakan minum, jadi sedikit ceroboh. Hemm.. memang memantik bom ini orang harus punya konsentrasi tinggi.
Mengebom ikan bertentangan dengan hukum, lalu, apa peduli saya! Penegak hukum juga tidak serius. Mulut dan tangannya bergerak berbeda. Suatu ketika mereka dengan gagah bicara penegakan hukum, tapi di waktu yang lain sering memeras kantong kami pengebom ikan. Hukum seakan-akan menjadi miliknya, oknum-oknum ini bisa menyetel hukum, bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan pribadi.
Biasanya mereka menelpon untuk minta diantarkan ikan, yah, mau tak mau saya antarkan ikan ke depan rumah mereka. Setiap datang ke rumah, selalu ada ongkos bensin untuk pulang. Ada untungnya juga, mereka biasa membocorkan jadwal pengawasan laut, sehingga saya dan teman-teman tidak ditangkap di laut. Pun, jika tertangkap di laut, mereka selalu ada cara untuk mencegah penahanan. Ah, negeri ini bisa dipermainkan. Orang-orang kecil seperti saya saja bisa, apalagi orang besar di kabupaten, provinsi ataupun di pusat pemerintahan sana. Pasti lebih dahsyat.
Itulah sebabnya, nelayan yang tergabung dalam kelompok pengawas itu mulai kurang serius mengawasi para pengebom ikan, karena mereka kecewa terhadap para oknum aparatus yang mestinya tegas terhadap orang-orang seperti kami. Jadilah saya dan teman-teman ini bebas melakukan aksi-aksi mengebom ikan.
Lalu, bagaimana pendapat nelayan lain? Sebenarnya, masyarakat nelayan tidak mendukung kegiatan pengeboman laut ini. Pendapatan nelayan umumnya berkurang, karena jika kami mengebom ikan, kami bisa mendapat banyak ikan dalam satu kali operasi. Kami bisa menghasilkan uang 10 hingga 50 juta sekali mengebom. Tapi itu jarang-jarang. Biasanya hanya 1-2 gabus. Tidak apa-apa, itu sudah lebih dari cukup dibandingkan nelayan lain yang hanya 2-3 ikat/cucu. Jadinya, para pemancing dan penjaring hanya mendapat ikan-ikan yang masih tersisa di laut, yang tidak sempat kami bom. Saya sebenarnya kasihan, tapi, bagaimana lagi, saya juga membutuhkan uang untuk keperluan gaya hidup saya.
Lantaran tidak ada jalan keluar, masyarakat akhirnya menyerah, dan mulai membiarkan saya dan teman-teman. Mereka juga bingung mau lapor kemana, lapor ke desa, pihak desa pun kurang memiliki kemampuan untuk menindak para pengebom ikan. Pihak desa merasa sudah sering memberikan peringatan ke saya. Saya bilang iya saja dengan mereka, tapi di belakang mereka, saya kembali mengebom, sebab, siapa yang dapat menjamin hidup saya?
Saya mendengar dari desa tetangga, pihak desa bahkan sudah memberikan bantuan berupa perahu fiber kepada seorang pengebom ikan di desa itu, dengan harapan berhenti mengebom ikan. Tapi, nyatanya, nelayan itu justru menggunakan perahu bantuan itu untuk melakukan pengeboman ikan. Kepala desa sungguh baik hati terhadap para pengebom. Kebaikannya itu dibalas dengan penghianatan. Ya, kami terpaksa belajar bersikap baik kepada pejabat desa, agar mereka kasihan kepada kami. Dan tidak membiarkan kami, terkena hukum yang sesuai dengan aturan undang-undang.
Terus terang, pejabat dan orang desa sangat baik. Mereka selalu memandang kami sebagai manusia apa adanya. Mereka juga tidak rela kami hidup dalam kesusahan. Hanya saja, mereka dilema, sebab kami sudah menabrak hukum, jika mereka terpaksa membela kami, sama halnya mereka juga ikut-ikutan menabrak hukum. Pejabat dan masyarakat umumnya, apalagi yang berasal dari pegunungan, masih memegang adat dan begitu gampang tersentuh rasa kemanusiaannya. Apalagi jika melihat kehidupan rumah tangga kami, anak-anak yang masih kecil, hati mereka gampang luluh. Sayangnya, kami, apalagi saya, sudah berkurang rasa kasihan terhadap alam. Saya lebih takut terhadap hilangnya pendapatan saya saja. Tapi, pada sesama manusia, saya masih menaruh hormat. Bayangkan, ikan-ikan hasil bom sering saya bagikan ke tetangga. Para nelayan kecil yang melihat saya mengebom di laut, saya perbolehkan untuk memungut sedikit ikan yang mengapung di laut. Mereka saya kasih gratis. Mereka-mereka itu, walau tak setuju, jika sudah terima ikan, pasti makin sayang ke saya.
Memang, aturan undang-undang ini dibuat untuk menghukum kami, yang katanya merusak lingkungan laut, menghancurkan terumbu karang, membunuh kehidupan di laut. Tapi, apa peduli kami, orang-orang tua kami juga adalah pengebom, dulu tak ada yang melarang, bahkan orang-orang dari kota menyuruh kami menggunakan bom. Katanya supaya cepat dapat ikan, agar mereka dapat menjual ikan hasil bom ke kota-kota besar, dan mereka dapat untung. Apalagi, karena sudah menganggap ini sebagai profesi, yang kata orang-orang sebagai ‘tukang bom’, saya sudah lupa cara memancing dengan benar. Saya juga tak memiliki keahlian lain. Saya tak bisa hidup tanpa mengebom. Saya tidak mau hidup melarat dengan hanya memancing. Keahlian utama saya adalah meracik pupuk pertanian untuk dijadikan bom, kemudian memantik sumbu bom atau menggunakan detonator tepat pada waktunya.
Namun sekarang, Saya dilanda khawatir. Ada orang-orang dari kota selalu cari informasi tentang pengebom ikan. Kata orang-orang, mereka itu komandan dan intel. Saya tidak tahu, lebih baik saya hati-hati saja. Semoga badai cepat berlalu, dan saya dapat lebih bebas mengebom lagi. []