Rojali
Desa kami jauh dari kata nyaman bagi orang yang baru mengunjungi. Sekilas tidak ada bedanya dengan dengan desa-desa lain. Pemandangan sawah, petani, dan rumah-rumah berdinding bambu melekat pada pandangan pertama di desa kami. Namun, ada satu hal yang berbeda dengan desa lain, desa kami merupakan kampungnya para begundal.
Ya, begundal adalah mayoritas profesi penduduk di desa kami selain petani. Ada lebih dari tiga puluh keluarga yang selalu melakukan tindakan buruk. Para begundal itu tentu tidak melakukan kejahatan di desanya sendiri. Bagi mereka, desa ini merupakan daerah haram yang tidak boleh dinodai kejahatan oleh warganya sendiri. Mereka beraksi di desa lain yang lebih makmur dan kota berjarak satu jam perjalanan dari sini. Kebanyakan begundal tersebut merupakan anak remaja dan laki-laki berusia di bawah kepala lima.
Entah mengapa tradisi menjadi begundal turun-menurun dan mengakar di desa kami. Sering kali, para bapak mengajak anaknya mencuri di desa lain ketika anak mereka libur sekolah. Bahkan sekiranya anak tersebut sudah bisa berkelahi, bapak dari si anak akan mengajak membegal di jalan kota nan sepi. Sekalipun bapaknya sudah masuk penjara, profesi membegal dan mencuri akan dilanjutkan oleh anak laki-lakinya.
Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin orang-orang di desa ini menjerumuskan anaknya sendiri ke jalan hitam. Sebagai calon bapak, tentu aku tidak mau melihat anak sendiri berjalan pada kesesatan. Aku harus menjadi suri tauladan bagi anak-anakku. Namun, tidak mudah jika aku bergerak sendiri dan mendidiknya. Faktor lingkungan tentu sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Apakah aku bisa mendidik anak di tengah lingkungan yang kotor? Apakah cukup dengan mengajak anak sering ke masjid membuatnya jadi pribadi baik? Apakah cukup memberi makan dengan uang halal membuatnya benci terhadap perilaku haram? Tentu tidak cukup, jika aku dan calon keluargaku hidup di lingkungan yang penuh dengan dosa.
Karno
Sejak seminggu yang lalu banyak sekali tetangga kami mati mengenaskan. Mereka ditemukan dengan luka cakar dan gigitan. Entah hewan buas apa yang datang ke desa kami. Lagipula, apakah hewan itu sangat lapar hingga setiap hari mencari mangsa? Tapi anehnya tidak ada bagian tubuh yang hilang dari orang-orang mati tersebut. Jika hewan itu benar-benar lapar dan memakannya, tentu ada bagian tubuh korban yang hilang. Namun, dari ketujuh orang mati itu masih dalam keadaan tubuh yang utuh. Hanya ada bekas cakaran dan gigitan sebagai bukti kematian mereka.
Pak Lurah berkoordinasi dengan para RT mengadakan ronda agar tidak ada kematian berantai lagi. Barangkali, ronda menjadi jalan terbaik untuk menangkap hewan atau apalah yang membahayakan itu. Sudah barang pasti untuk mengalahkan hewan buas perlu orang yang banyak. Maka di setiap RT terdapat empat sampai lima orang laki-laki yang berjaga setiap malam.
Benar, semenjak ronda dimulai dan sudah tiga hari berturut-turut tidak ada kematian sebab dibunuh hewan buas pada kampung tersebut. Kematian yang datang hanya disebabkan oleh usia yang uzur dan penyakit dari dalam. Aku dan mereka sudah percaya hewan buas tersebut sudah pergi karena ketakutan melihat segerombolan orang di setiap sudut desa.
“Sepertinya kita tidak perlu melakukan ronda lagi deh. Cukup malam ini saja,” ucapku pada Rojali.
“Mengapa demikian? Apakah kau yakin pembunuh itu sudah pergi dari desa ini?”
“Sangat yakin. Lagi pula kalau kita keseringan ronda, aku dan mereka menjadi kelaparan. Aku dan mereka perlu mencuri, membegal, dan merampok setiap malam agar besok bisa makan. Kalau begitu terus bisa mati kelaparan. Berbeda denganmu yang punya usaha lancar dan tidak perlu menjadi begundal, Rojali.”
“Sebenarnya kau pun bisa menjadi seperti aku. Mulailah cari pekerjaan yang halal dan baik.”
“Kau tidak perlu ceramah di pos ronda. Bukankah kau sudah sering ceramah di masjid?”
Rojali terdiam dan aku mengambil sebatang rokok untuk meredakan emosi yang hampir bangkit. Aku sangat benci dengan orang yang suka ceramah. Mereka yang suka ceramah tidak pernah berada di posisiku. Mereka selalu menghakimi. Untung saja yang barusan berceramah adalah temanku sendiri. Jika bukan, sudah aku hajar mulut yang berceramah itu.
“Hampir jam dua malam. Seharusnya aku pergi mencuri di rumah juragan jengkol kampung sebelah,” kata Darsim yang duduk bebarengan denganku dan Rojali.
Aku merasa gatal setelah mendengar rencana Darsim dan ingin menimpali ucapannya, “Bagaimana kalau kita berangkat sekarang? Aku yakin hewan tersebut sudah pergi dari wilayah ini. Aku akan membantumu.”
“Aku juga ikut.”
“Tentu, aku akan ikut. Nanti kita bagi empat hasilnya. Rojali pasti tidak akan mau ikut. Biarkan saja dia sendiri menunggu pos ronda.”
“Ya, benar. Aku tidak akan ikut untuk perkara yang buruk,” ungkap Rojali dengan nada sombong.
Setelah berunding dan mengatur strategi, aku beserta seluruh penghuni pos ronda saat ini; terkecuali Rojali, berangkat ke rumah juragan jengkol kampung sebelah. Kami berangkat membawa gejik, peniti, dan bendrat. Itulah alat yang bisa membantu kami dalam bekerja.
Rojali
Darahku seketika mendidih melihat mereka mulai pergi dari pos ronda. Bukan karena merasa dikucilkan, tapi lebih ke arah tidak setuju atas tindakan yang akan dilakukan mereka. Aku tidak tahu sampai kapan mereka akan berubah. Apakah menunggu ajal datang agar mereka berubah?
Mungkin benar, hanya ajal yang bisa mengubah seseorang. Aku pun berubah karena ajal yang menjemput. Tidak, maksudku ajal yang hampir menjemput. Semenjak digigit serigala jadi-jadian itu dua minggu yang lalu, aku mulai berubah menjadi pribadi yang agak baik. Aku tidak mempunyai hasrat untuk mencuri atau merampok lagi. Namun hasratku berubah menjadi pembantai para pencuri dan perampok. Sekarang pun aku ingin berubah.
Angin malam membangkitkan bulu-bulu lebat di tubuh. Cakar memanjang, begitu juga dengan gigi taringku. Perubahan ini tidak bisa aku atur jadwalnya. Yang jelas, ketika ada kejahatan terlihat di depan mata, maka aku berubah menjadi serigala jadi-jadian. Memang benar kematian para begundal beberapa hari lalu aku penyebabnya. Namun, aku tidak bisa mengontrol hasrat untuk mencabik, mengigit, dan mengunyah. Aku hanya bisa menyaksikan kucuran darah di depan mata. Tangan, kaki, bahkan mulut berada di luar kendaliku.
Malam ini, aku pun hanya bisa menyaksikan sahabatku mati tergeletak di tengah jalan. Karno dan tiga orang yang tadi ronda bersamaku kini hilang nyawanya. Ya, mereka mati olehku namun sebenarnya mati oleh sisiku yang lain. Aku tidak berkeinginan membunuh orang, namun monster serigala yang benci akan tindak kriminal di dalam tubuh ini telah bertindak. Aku sadar atas apa yang ada di depan mata. Akan tetapi kuasa atas kontrol tubuh ini hanya bisa kembali ketika telinga mendengar suara adzan subuh. Setelah itu, aku harus selalu berusaha menutupi tindakan yang dilakukan oleh monster di tubuh ini. Agar bisa terus membuat para begundal berubah atau tidak ada di desa ini.
Banjarnegara, 2023