SI BURUH angkut menarik nafas panjang lalu menghempaskannya sekuat mungkin hingga menghasilkan suara ‘huufftt’ yang panjang saat barang terakhir telah diangkutnya. Suara itu lalu menyatu dengan deru angin pesisir dan bising mesin kapal. Seseorang mengulurkan duit kertas beberapa lembar yang langsung disambarnya.
Dia menyeka keringat di kening dan lehernya dengan handuk yang tersampir di pundak kemudian melompat turun dari kapal. Dia terbatuk dan mengeluarkan segumpal dahak, kemudian menggumamkan sesuatu ke rekannya sesama buruh angkut, tapi suaranya tenggelam dalam riuh suara kesibukan pelabuhan.
Ada tiga kapal kayu yang berjejer di dermaga. Kapal yang paling ujung sebentar lagi mengarungi lautan. Matahari perlahan condong ke arah barat. Sisa dua kapal terakhir yang menunggu penumpang penuh untuk berangkat.
Telapak kaki si buruh angkut terasa panas. Sandal jepitnya mulai menipis di bagian tumit dan membuat panas beton terasa membakar kulit kakinya yang tebal. Sambil berjalan pelan menuju salah satu warung di pojokan untuk beristirahat, dia menengok langit yang dipenuhi awan putih. Lalu pandangannya seketika dialihkan ke bagian kaki, memperhatikan langkahnya yang pelan.
Mungkin nanti aku akan beli sandal jepit yang baru, gumamnya dalam hati. Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan bungkusan rokok yang penyok. Isinya sisa dua batang. Saat dia melihatnya, dia membatin, mungkin sebaiknya aku berhenti merokok.
Sebuah truk menurunkan serombongan orang-orang dari kota, dia kemudian mendekati sejumlah orang yang turun dari bak truk tersebut menawarkan jasanya. Tampak kemurungan dari raut muka kerumunan orang-orang yang turun dari truk tersebut, perempuan, laki-laki, dan orang tua. Kecuali anak-anak yang air mukanya masih polos dan begitu antusias melihat kapal-kapal berjejer di dermaga.
Sebagian buruh angkut mengumpat di tengah kepulan debu. Tak ada orang yang sudi mengeluarkan duitnya hanya untuk menghemat tenaga. Tampaknya, orang-orang yang turun dari truk adalah orang-orang miskin yang hendak mengadu nasib di pulau seberang.
Belakangan, menjadi lumrah orang-orang di kota pesisir ini merantau ke pulau seberang mengadu nasib mengingat harga-harga yang makin melambung dan negara kian brutal menarik pajak, tapi pekerjaan yang tersedia tak banyak dan tak layak. Memang ada pabrik industri besar yang berdiri di pulau ini, tapi pekerjanya nyaris dipenuhi orang-orang dari negeri seberang nun jauh.
Mau bertani atau berkebun, lahan makin sempit karena rumah-rumah perlu dibangun. Kalaupun ada lahan pertanian yang tersisa, tentu itu milik seorang tuan tanah yang digarap oleh orang lain. Pun di laut, para nelayan mesti menantang ombak berpuluh-puluh mil jauhnya untuk menangkap sedikit ikan. Sebab ikan-ikan makin menjauhi pesisir akibat aktivitas pabrik industri besar. Bikin usaha cuma modal dengkul sama dengan mati konyol. Keterampilan tak banyak membantu. Masuk ke pabrik industri besar butuh modal yang juga besar, mesti membayar sekian duit ke orang dalam.
Kadang di tengah lamunannya, si buruh angkut beberapa kali membayangkan andai dirinya tak putus sekolah atau merantau, barangkali dia kini tak perlu berpeluh di bawah terik matahari. Usianya 30 tahunan awal, tapi kehidupan mengguratkan lebih banyak pengalaman di mukanya hingga tampak lebih tua ketimbang usia aslinya. Rambut dan kulitnya kering, seperti tak pernah tersentuh sampo dan sabun.
Kerap terpikir olehnya untuk berhenti menjadi buruh angkut di pelabuhan dan memilih pekerjaan lain. Atau ikut mengadu nasib di seberang lautan sana. Toh, di sini dia tak punya lagi sanak keluarga dan ikatan apapun dengan seseorang.
Orang tuanya meninggal bersamaan dengan wabah yang menyerang negeri ini beberapa tahun lalu. Kemudian kakaknya memutuskan menjual sawah dan rumah orang tuanya, membagi sedikit hasil penjualannya ke dirinya, lalu pergi merantau entah ke mana.
Dulunya, dia beberapa kali menjalin asmara dengan perempuan. Saat itu ekonomi belum lesuh dan sawah orang tuanya masih lapang terhampar. Meski tak berlebih, dia selalu berkecukupan soal duit waktu itu. Ditambah perawakannya yang terbilang rupawan. Perempuan mana pun dan di mana pun dia jabanin.
Klub malam di pusat kota jadi favoritnya, menikmati musik yang berdentum keras dan repetitif di bawah kelap-kelip lampu klub dengan setengah kesadaran direnggut minuman keras, juga ditemani teman-teman perempuannya. Itu masa-masa yang sangat menggairahkan. Tanpa mesti memusingkan besok makan apa.
Siang jelang sore itu cuaca masih terik. Sekali lagi sebuah truk yang membawa puluhan manusia di baknya berhenti. Orang-orang berdesakan melompat, lalu mengibaskan-ngibaskan tangan di depan hidung, sedikit terbatuk oleh debu dan juga aroma laut yang asin dan asing. Para buruh angkut pelabuhan diam-diam sudah mendekat dan memepet, berharap barangkali ada yang sudi mengeluarkan duitnya untuk barang-barangnya yang berat itu.
Tapi dia tak mendekat. Sadar bahwa orang-orang itu nyaris sama miskinnya dengan dirinya. Di pikirannya, kalau mereka sedikit berduit, tentunya mereka tak menaiki truk itu untuk sampai ke pelabuhan.
Di tengah kerumunan dan debu-debu yang beterbangan dari gesekan kaki, seorang perempuan dengan paras menarik yang mengandeng seorang bocah lelaki mendekat ke arah warung. Di pundaknya ada ransel besar, tangan kanannya menuntun si bocah, sedang tangan kirinya menenteng satu lagi tas. Di tangan si bocah ada sebuah mainan seperti robot yang tak utuh.
Ketika si perempuan menyibak tirai yang menghalangi matahari masuk, matanya langsung tertuju ke arah si buruh angkut.
“Sudah kuduga kau masih di sini,” kata perempuan itu. Lalu dia melanjutkan, “apa kau mengingatku?”
Kening si buruh angkut berkerut. Cukup lama dia mematung, kemudian si perempuan menyebutkan namanya. Si buruh angkut berpikir keras, mencoba menggali ingatannya di waktu-waktu lampau.
Sejumlah lelaki di warung itu, yang didominasi buruh angkut cukup terkesima dengan paras si perempuan. Terlihat si perempuan masih terlalu segar untuk jadi seorang ibu beranak satu. Si perempuan memesan dua gelas es teh, lalu mendudukkan si bocah dan tasnya di bangku.
“Bisa kita bicara sebentar?” kata si perempuan, sambil mengisyaratkan untuk menjauh dari warung.
Si buruh angkut mengikuti si perempuan keluar. Beberapa buruh angkut pelabuhan lain yang nangkring di warung menggodanya dengan siulan dan kedipan mata, juga dengan kata ‘ciee, ciee’. Mereka berdua mencari tempat yang tak bising dan jauh dari kuping orang-orang, juga yang tak terlalu terik. Hawa panas di dermaga memang tak pernah membuat nyaman.
“Kuharap kau masih mengenaliku. Tapi itu tak penting, kita pernah mabuk dan tidur bareng. Mungkin kau lupa. Awalnya aku juga tak yakin, tapi aku hanya tidur denganmu waktu itu.”
Si perempuan menyebutkan nama klub di mana mereka berdua bertemu dan menghabiskan malam yang panjang sebelum berakhir di kamar sebuah losmen di kota. Si buruh angkut mengernyitkan kening dan berusaha mencerna satu per satu kata yang diucapkan si perempuan. Dia terbatuk, lalu melepehkan dahaknya.
“Itu anakmu. Aku tak sanggup lagi merawatnya. Kuharap dia bisa ikut dan tinggal bersamamu. Aku akan pergi mencari kerja di seberang,”
Sembari melayangkan ingatannya ke masa lalu, si buruh menjelaskan kondisinya. Dia tinggal di kawasan kumuh dengan rumah-rumah berdinding tripleks yang berjejer di pinggir kali dekat pelabuhan yang menghubungkan kota pesisir yang padat penduduk ini dengan pulau yang berpenduduk besar lainnya di seberang sana.
Sudah lima tahun terakhir dia bermukim di situ. Bersama dengan buruh angkut pelabuhan lainnya, juga pemulung, dan nelayan. Mulanya, hanya ada satu rumah reot di situ milik si nelayan. Entah bagaimana dari hari ke hari jumlah rumah makin bertambah satu demi satu dan mendesak ke arah muara. Termasuk rumah si buruh pabrik salah satunya. Sebenarnya tak layak disebut rumah, lebih mirip gubuk, yang ketika angin laut berhembus kencang, dua atau tiga atap sengnya lepas.
Namun si perempuan tak peduli, dan tetap akan menyerahkan si bocah ke buruh angkut tersebut.
“Aku sudah mengemas sejumlah pakaian untuknya. Juga apapun yang sekiranya dibutuhkan. Jika dia makin besar, kau tinggal membelikannya baju yang baru. Tenang saja, dia anak yang baik dan penurut,”
“Berapa umurnya?” tanya si buruh.
“Tujuh tahun.”
“Apakah dia sekolah?” tanya si buruh.
“Tidak, tapi dia mengenali huruf dan angka, dia juga bisa mengeja dan menulis namanya sendiri.”
“Kuharap kau tak meninggalkan foto untuknya. Itu akan cukup berat baginya jika dia dewasa,” kata si buruh.
Awak kapal berteriak meminta penumpang untuk segera naik, sebagai peringatan bahwa kapal tak lama lagi akan meninggalkan dermaga. Si perempuan dan si buruh kembali ke warung. Didapatinya si bocah sudah menghabiskan segelas es teh. Si perempuan meraih gelas lainnya dan menghabiskannya dalam sekali tenggak, kemudian berjongkok di depan si bocah dan memeluknya.
Tak ada kata perpisahan. Si perempuan cuma menguyel rambut si bocah kemudian beranjak ke kapal. Si buruh angkut membantu si perempuan mengangkat tasnya dan si bocah mengikut sambil berlari kecil di belakang. Saat si perempuan naik di kapal, si buruh angkut merangkul bahu si bocah yang berusaha ikut naik ke kapal.
“Tenang! Sekarang kau di sini bersamaku. Kita akan beli sesuatu saat pulang ke rumah,”
Anak itu menangis saat kapal itu berlayar. Cukup lama dia berdiri bersama si bocah di ujung dermaga menyaksikan kapal itu menjadi titik kecil di ujung lautan lalu menghilang. []