Komposisi Kesedihan
1
sebuah kekalahan ingin kutulis, tepat ketika senja mengental
pohon-pohon yang usai dipintal angin
datang dari arah yang berkabut
:aku tak jadi pulang kampung tahun ini,
tangan-tangan nasib begitu erat merangkulku
seperti sebuah gema, puisi ini adalah getar pertama
huruf atau not sudah lama memar di tangan musim
rindu-rindu mengapung di bibir pelabuhan
kabar-kabar ganjil dilagukan camar pada pagar besi kapal.
maskumambang.
maka, kegagalanku jangan kau takwil sebagai
gaung dari kehilangan
di kota ini, lolong anjing mampu mencabik ketakutanku
pendar lampu jalan kerap membakar masa lalu
entahlah, jika tuhan menuliskan takdir di terjal punggungku
sebagai malin kundang
2
bagaimana mungkin, malam legam
menculik banyak kenangan yang memawar di kepala
berarti sleman cukup rawan bagi pecandu kopi sepertiku
dan sangkopas tak cukup ampuh menangkis malapetaka
yang kerap membikin masa lalu mengabu
akar-akar hujan yang raggas di bentang tubuhku
mewariskan bermacam bentuk gigil
mimpi-mimpi
kehilangan
kesunyian
juga kuntum-kuntum nasib berwarna sepia
Yogyakarta, 2024
Semacam Kesaksikan
bahasa tidak cukup menjadi penanda bagi belai cinta yang maha
aku telah lama karam dalam debur kerinduan yang cukup riuh
air bening yang menggenang di kelopak danau matamu, mengalir,
menjelma sungai yang membasahi kerontang dadaku.
maka izinkan namamu kujadikan azimat paling ampuh,
untuk menebas ketakutan-ketakutan dalam melawan hidup
dan nasib yang lebih menakutkan dari pikiranku.
hujan kerap lebih awal datang mengetuk atap kecemasan
yang setiap detiknya semakin menebal,
sebelum kabut-kabut harap susut dan beringsut dari alismu,
hingga setiap jalan yang aku tapaki sering memekarkan bunga batu.
memercik serupa lelatu.
kemudian ceritakan padaku, rahasia cinta yang selalu menebarkan
aroma bahagia dari dapur itu. kenangan masa kanakku yang dikikis api tungku.
petang yang menyimpan sepotong bulan dan mencipta bayang-bayang
lewat sekepul asap dari balik bilik.
atau ceritakan perihal keringat bapak yang sungai di ladang waktu.
tepat ketika angin sisa kemarau mengiris pelan-pelan
daun pisang di ujung pematang. nasi jagung dan ikan panggang
membikin tawaku melayang tak kepalang. menghambur ke bentang ladang
emak, anak seusia jagung dulu yang ubun-ubunnya kau tancapi rapal doa
tepat saat pagi mengatakan cinta lewat bening embun di bibir daun
juga ketika senja semacam resital cahaya
kini tangannya nyaris patah menangkis segala tajam pisau berbentuk derita
maka, izinkan aku menakwil batuk bapak yang kau sembunyikan di halaman belakang
lewat sepotong malam yang kau wariskan
Yogyakarta, 2024
Telepon dari Emak
malam semenjana, bulan gigil di sebuah lipatan jendela
sambil menuang suara ke lubang telinga, seorang anak muda kehilangan tenaga
“benarkah anakku tak terkubur di pulau lain,
dia yang memeras habis kerinduanku telah lama asing
dari hangat api tungku di dadaku.”
tuhan menyaksikannya, malaikat yang awam perihal tresna
menyeret malam semenjana ke balik dentum rebana
“jika anakku benar-benar memar dipukul harta berlumpah
dan lupa bahwa kampung halaman telah memawar bahagia-bahagia
katakan padanya, lapuk nisanku masih mengharap kepulangannya.”
rupanya gerimis dalam kamar. di luar, pohon-pohon dipintal angin
:rumbalara perjalanan masih berkabung, emak
Yogyakarta, 2024
Surat I
kutulis surat ini, abang
ketika ombak gagal meredam suaraku
kalimatnya kusadur dari bulan gosong
juga cinta kita yang kelewat ompong
di sini, angin saling tindih
rindu mengancam dari bermacam arah
lantas suaka macam apa
yang aman bagiku, halem
apakah puisimu yang kini
semacam kota tak berpenghuni
atau bahkan dadamu
yang kelewat sunyi dari nyanyi
ketika kutulis surat ini, abang
camarcamar meneriakkan kehilangan
sambil beranjak dari pagar besi kapal
dan pada pulau kita, matahari berwarna tembaga
ada semacam kebimbangan
kerap jadi semak pada ini angan
menunggumu pulang dari jogja
atau menikmati bermacam derita
terakhir, abang, di antara debur ombak
bermacam rindu-dendam segala nampak
dan inilah akhirnya sebuah gemuruh
yang terlalu getar dalam dadaku.
Yogyakarta, 2024
Surat II
berpura-pura dalam mencintai lumayan melelahkan,
dari bikin puisi dan membacakan untuknya
padahal kamu yang terlibat di dalamnya
entah ini surat ke berapa yang aku tulis untukmu
tapi, ira, ketika kutulis surat ini, yogya hujan salju
tak ada mantel atau jaket tebal mampu
mengusir gigil dari ini tubuh
selain senyummu yang berlapis rindu
di kota ini, laut tak ada
jika di sana ombak berdebur sekeras luka dada
itulah getar cintaku ketika memandangmu
di kota ini juga,
malam kerap meminjam legam rambutmu
pagi meminjam bening matamu
senja semacam merah pipimu
hingga aku tak bisa membedakan
tuhan yang bisa merubah segalanya
atau cintaku yang mampu mencipta
terakhir, jika maut akan datang menyeka
aku ingin mati di pangkuanmu saja
sebab kau segalanya,
Yogyakarta, 2024
Misal
misal hujan yang rontok dari atap
menggigilkan kursi yang bisu di pojok kafe
apa yang hendak kau katakan pada kesunyian
atau bahkan kepada keriuhan?
misal pendar lampu gagal menciptakan bayangmu
atau angin yang gagal memukul kehangatan
apa yang hendak kau lakukan pada kesepian?
misal perempuan yang duduk di pojokan
memberikan pisau bermataduanya padamu
apa yang hendak kau ucapkan
pada malam yang legam
atau pada nganga luka
yang gagal berdarah dan kesakitan?
pertanyaan-pertanyaan di atas,
ditulis ketika katakata mendidih di kepala
kau tak wajib menjawabnya|
hanya saja kau perlu memikirkannya.
Kutub/Yogyakarta, 2023