SEPERTI pada pagi yang biasa, pukul tujuh kurang lima belas menit Ome menarik tuas gas sepeda motor skuternya. Melaju di antara kerumunan pengguna jalan lain, mobil, ibu-ibu yang mengantar anaknya bersekolah menggunakan sepeda motor tanpa pengaman/helm, Sepeda listrik yang ditunggangi anak-anak SMA, bapak-bapak yang bergegas pulang dari sif malamnya dan satu/dua bus umum terjebak di antara sepeda motor dengan beragam jenis seperti ikan hiu dikelilingi ikan remora.
Sudah hampir lima tahun Ome melakukan aktivitas yang sama setiap pagi, minggu dan bulan-bulannya. Jika berbeda, paling sedikit hal saja tidak ada banyak yang berubah. Ome bangun setengah lima pagi, pergi berdoa, menyeduh kopi, setengah enam pergi mandi dan menyiapkan dirinya untuk ke kantor, setengah tujuh sarapan, pukul tujuh kurang lima belas menit dia berangkat dengan skuternya.
Suasananya selalu sama, melaju di antara kerumunan pengguna jalan yang lain, mobil, ibu-ibu yang mengantar anaknya bersekolah menggunakan sepeda motor tanpa pengaman/helm, Sepeda listrik yang ditunggangi anak-anak SMA, bapak-bapak yang bergegas pulang dari sif malamnya dan satu/dua bus umum terjebak di antara sepeda motor dengan beragam jenis seperti ikan hiu dikelilingi ikan remora. Jika ada yang berbeda, paling-paling jalanan ditutup dan Ome harus memutar jauh menuju kantornya. Besoknya, Ome kembali pada rutinitas yang sama dengan bus seperti ikan hiu dan sepeda motor ikan remoranya.
Tujuh lewat lima belas menit, selalu tiba di kantornya. Tidak lebih dari jam itu. Ome selalu menjadi orang pertama yang datang kemudian disusul satu demi satu teman lainnya.
Ome merasa jenuh pada kondisinya dengan melakukan aktivitas sama setiap harinya. Dia terasing pada dirinya, tidak ada gairah, tidak ada impian yang ingin dikejar. Seolah dia adalah robot hanya untuk melakukan aktivitas yang sudah diprogramkan padanya.
“Sudahlah Ome, apa lagi yang kamu pikirkan. Kamu sudah hidup berkecukupan. Kerjaan oke. Gaji, ya lumayanlah setidaknya bisa membayar cicilan sepeda motor. Mungkin kamu hanya butuh pasangan. Terlalu lama menyendiri,” Mar berbicara pada Ome ketika baru tiba di kantornya. Menyapa Ome karena melihatnya duduk dengan melamun.
“Mar, sepertinya saya semakin percaya, hidup ini tidak sepenuhnya kita bisa berkehendak. Semua ini tampak tidak nyata Mar. Apa yang terlihat dari pandangan saya, hanya tampilan. Pelengkap atau aksesoris, dan saya, saya hanya sebuah boneka yang sedang menjadi bahan mainan. Sebuah panggung dengan skenario maha besar, dan kita hanya dipermainkan skenario itu.”
Tidak satu kali Ome berkata panjang lebar perihal itu kepada Mar. Mar pun sudah memahami Ome, dan apa pun yang Ome ceritakan tentang kehidupan misterinya, Mar hanya bisa mendengarkan dan sesekali merespon untuk sekedar menghormati temannya.
“Kamu terlalu banyak menonton film sci-fi. Seolah-olah ada makhluk cerdas yang menciptakan kamu untuk tujuan tertentu. Dikembangbiakan di bumi ini. Jadi menurutmu saya juga aksesoris atas peranmu di dunia ini?”
“Yah, bisa jadi Mar. Bisa jadi kamu tidak nyata, hanya sebuah program dari dunia maha luas ini. Kamu sama seperti pohon, atau meja, atau burung-burung di langit sana hanya untuk mengisi sesuatu yang sudah terskenario.”
“Lalu kamu siapa?” Mar langsung merespon penjelasan Ome.
“Entahlah Mar, Saya hanya heran pada kehidupan saya. Saya seperti melakukan aktifitas yang sama setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya. Saya melihat orang-orang juga melakukan hal-hal sama atau sedikit berbeda saja.”
“Contohnya?”
“Okey, contohnya untuk hari ini saja. Kamu datang ke kantor ini pasti setelah saya duduk melamun, dan kamu selalu menyapa dahulu.”
“Itu memang kegiatan manusia normal setiap paginya Ome!”
“Tunggu, saya belum selesai. Setelah kita berdebat perihal ini, Ibu Runi datang akan bercerita tentang perjalanannya pagi ini menuju kantor dari rumah.”
“Ah, kalau benar tebakanmu, siang nanti saya traktir kamu makan,” Mar sesumbar.
Setelah sedikit percakapan, mereka kembali sibuk dengan aktivitas paginya. Ome melanjutkan melamun, menatap layar komputer yang masih hitam karena belum ada aliran listrik, sementara Mar membereskan meja untuk menyiapkan pekerjaannya.
Ibu Runi datang seperti pada pagi yang biasa, menjinjing tas, berjalan dengan percaya diri. Suara langkah sepatunya nyaring terdengan, pengaruh kantor yang masih sepi. Ramah menyapa Mar kemudian bercerita hampir menabrak kucing yang tiba-tiba menyeberang. Mar menatap Ome dengan raut muka datar, mungkin kecewa akan mentraktir Ome pada jam istirahat siang.
Pada hari itu hanya sedikit pekerjaan kantor yang diselesaikan Ome, selebih waktunya dihabiskan dengan browsing perihal kegundahannya pada hidup, dan untuk apa dia terlahir ke bumi. Ome menemukan artikel pada mesin pencariannya, dia tertarik membaca judul artikel ‘Gimmick The Matrix’. Artikel itu meyakinkan Ome bahwa hidup yang dialami tidak sepenuhnya nyata, tetapi merupakan simulasi komputer yang dikendalikan kekuatan eksternal maha canggih.
Kebosanan Ome akan rutinitas seolah menjadi petunjuk akan hal tentang kehidupan dalam dunia matrix. Hari itu, waktu tidak terasa lambat. Beberapa pekerjaan telah rampung diselesaikan walaupun sebagian besar dihabiskannya untuk browsing internet mencari kehidupan dalam dunia matrix.
Hari demi hari dilalui Ome pada sesuatu hal template, berangkat kerja pada pagi, menyelesaikannya kemudian pulang. Minggu ke minggu, bulan ke bulan, waktu tidak terasa menggerus hidupnya. Hingga pada pagi, ketika menuju kantor, Ome disadarkan pada seseorang yang selalu berdiri pada ujung Gang Delima, jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat Ome Bekerja. Dia baru menyadari melihat orang tersebut setiap pagi dan mungkin selama dia melalui jalan itu, orang misterius itu selalu berdiri di sana, pada waktu dan tempat yang sama. Orang misterius itu seperti sedang mengawasi para pengguna jalan yang melintas setiap harinya.
Orang misterius itu memakai setelan serba hitam, mulai dari penutup kepala berwarna hitam bentuknya topi fedora, namun sedikit kumal mungkin karena terlalu banyak terpapar debu. Berkacamata hitam, baju hitam dan rok hitam panjang. Semuanya serba hitam, warnanya terlihat memudar karena terbakar sinar matahari, menjelaskan dia sudah berdiri di ujung gang delima dalam waktu lama.
Hingga Ome berniat untuk menyapanya, bertanya tentang apa saja jika dia melihatnya kembali di ujung gang. Benar saja, pada suatu pagi yang sedikit mendung, pagi itu terasa cukup lembab menstimulasi manusia untuk mengurungkan hari aktivitasnya. Ome justru lebih bersemangat di pagi itu. Tanpa pikir panjang dia memarkirkan sepeda motornya di tepian jalan ketika melihat orang misterius itu berdiri menatapnya dari jauh. Ome berjalan penuh tanya dan juga begitu semangat menggebu menghampiri orang misterius itu. Orang misterius itu meresponnya dengan senyum penuh misteri ke arah Ome. Hingga tibalah Ome berdiri tepat di hadapan orang itu.
“Saya sudah menunggumu lama, entah sudah berapa putaran matahari. Tapi saya yakin sekali, kamu akan menemuiku tepat seperti ini. Saya juga tahu maksud kedatangan kamu menemui saya. Tidak usah banyak bertanya, saya akan menjelaskan singkat tetapi sangat jelas, karena tidak ada waktu lagi. Orang-orang Breatsky akan menangkap kita.” Orang misterius itu langsung menjelaskan tentang dirinya sebelum Ome mengeluarkan pertanyaan.
“Siapa orang-orang Breatsky?” Ome bertanya.
“Sebelumnya, perkenalkan saya Laya. Saya adalah salah seorang yang percaya bahwa hidup kita hanyalah program dari entitas cerdas dan sedang mengumpulkan orang-orang yang mempercayainya. Kamu percaya, hidup ini sangat mudah sekali di tebak, seperti siklus berulang. Itulah saya selalu berdiri di tempat ini di setiap waktu yang sama, berharap ada orang yang memperhatikannya. Ternyata kamu orangnya. Senang bertemu denganmu. Sekarang perkenalkan dirimu.”
“Saya Ome,” menjawab pertanyaan sambil mengulurkan tangan mengajak Laya bersalaman.
“Saya percaya kamu memperhatikan kebiasaan saya ini hingga kamu memberanikan diri menemui saya. Dunia ini penuh misteri Ome. Ini perihal percaya dan tidak. Saya berpesan, setiap langkah yang kamu ambil akan ada dampak dibelakangnya dan kamu harus berhati-hati, karena jika siklus ini yang sudah berjalan normal selama milyaran tahun ada kesalahan atau gangguan yang mengacaukan, akan merubah semuanya. Dunia bisa hancur, maka akan ada penjaga loyal yang siap menghilangkan kita.”
“Lalu apa yang harus kita perbuat, Laya? Saya hanya tertarik dengan sesuatu hal di luar sana. Tentang apa itu saya dengan misteri-misterinya. Saya percaya lahir di bumi ini tidak kebetulan, ada sesuatu besar dari itu.”
“Bumi ini sudah terlalu tua. Kita harus mencarinya bersama, tetapi saya tidak bisa berlama-lama disini. Ini terlalu mencurigakan, hingga orang-orang loyal nanti akan menangkap kita.”
“Kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak mencoba bukan? Orang-orang loyal itu bisa menjadi jawabannya. Biar saya saja yang tertangkap, biar saya membuka pintu misteri berikutnya.”
“Jangan gegabah, Ome, semua harus direncanakan. Ingat jangan terlalu mencolok, berjalanlah dengan halus. Kita akan menemukan jawabannya bersama. Besok, pada waktu yang sama kamu menemuiku di sini, kita bertemu lagi. Pergilah kembali beraktivitas seperti biasa. Hati-hati, jaga dirimu, Ome.”
Laya menutup pembicaraan singkatnya. Ome pun beranjak meninggalkan Laya. Perasaannya kini bersemangat kembali, seolah menemukan kepingan puzzle hingga dia tidak sabar menemukan kepingan lainnya.
Pagi itu Ome tidak sempat sarapan di rumah, dia memutuskan untuk membeli makanan yang tidak jauh dari Gang Delima, tepat di seberang tempat mereka bercakap.
“Berapa mas, bungkus atau makan di sini?” Penjual bubur ayam begitu ramah melayani Ome sebagai customer entah yang keberapa.
“Satu saja pak, dibungkus.”
“Mas, tadi ngobrol apa sama ibu itu. Pasti bercerita tentang kiamat yah? Kasihan ibu itu, sudah lama dia di sana. Dengar-dengar dia kena gangguan mental, ditinggal pergi suaminya.” Penjual bubur membuka percakapan, karena heran melihat Ome berbicara lama dengan ibu yang memakai setelan serba hitam.
“Maksud bapak ibu itu…” Sebelum menyelesaikan ucapannya Ome langsung dipotong pembicaraannya oleh penjual bubur.
“Gangguan mental, mas, orang-orang di sini memanggilnya Ibu Kiamat karena sering bercerita tentang kiamat. Katanya, akan ada orang-orang yang akan menangkap kita semua dan membuat dunia baru yang lebih baik karena bumi sudah terlalu tua. Dua minggu lalu sebenarnya dia sudah dibawa dinas sosial tapi kok bisa di sana lagi yah? Hati-hati, mas.”
“Hati-hati kenapa, Pak?”
“Hati-hati, siapa tahu masnya yang malah ditangkap. Hahaha, bercanda mas.” Penjual bubur kemudian menyerahkan satu bungkus bubur ayam yang dipesan Ome. Tidak ada reaksi dari Ome, setelah menerima bubur ayam itu kemudian dia pergi menuju kantornya membawa berjuta pertanyaan di otaknya.
Satu hari terasa berlalu cukup lama bagi Ome. Perjumpaan Ome dengan Laya membuat dirinya sulit tertidur sampai pagi. Ome mulai kembali melakukan aktivitasnya. Setengah lima pagi Ome pergi berdoa, menyeduh kopi, setengah enam mandi dan menyiapkan dirinya untuk ke kantor, setengah tujuh sarapan, pukul tujuh kurang lima belas menit dia berangkat dengan sepeda motor skuternya.
Ome memutuskan untuk bertemu Laya sesuai janjinya waktu kemarin. Dilajunya sepeda motor skuternya agar sesuai waktu untuk bertemu di depan Gang Delima. Tidak waktu lama Ome tiba di sana tetapi tidak seperti yang dijanjikan Laya. Laya tidak ada di sana, tidak ada seorang pun yang berdiri di ujung gang itu. Ome mengganti langkahnya, dia menyebrangi jalan dan bertanya kepada penjual bubur ayam.
“Bungkus lagi, mas?” Seperti biasa, penjual bubur ayam tidak memberi kesempatan Ome untuk bertanya dahulu.
“Iya, pak,satu.” Ome merespon cepat, walaupun sebenarnya dia tidak berencana untuk membelinya.
“Oke, satu bungkus.”
“Pak, Ibu yang di ujung sana kemana?” Ome mengambil kesempatan untuk bertanya dahulu.
“Setelah mas pergi dari sini, ada empat orang membawa dia, dimasukan mobil. Cepat sekali waktu itu.”
“Dari dinas sosial?” Ome bertanya.
“Wah, tidak tahu mas. Mungkin juga tapi pakaian mereka tidak seperti pegawai dinas sosial. Ibu Kiamat langsung dimasukan mobil seperti ambulan, tapi bukan mobil ambulan.” Penjual bubur begitu bersemangat dalam bercerita, mungkin sebagai bentuk promosi agar penjualan bubur ayamnya semakin ramai, jika ramah pada pelanggan.
Hari telah lama berlalu dari peristiwa itu. Orang-orang kembali pada aktivitasnya seperti pada hari-hari normal. Jalan-jalan dipenuhi pengguna, para penjual ramai didatangi pelanggan termasuk penjual bubur yang waktu itu dibeli Ome.
“Pak beli bubur satu, makan di sini yah.” Seorang pelanggan datang memesan.
“Oke, satu dimakan sini.” Penjual bubur ramah melayani.
“Pak itu yang di depan gang siapa? Kasihan masih muda sepertinya.”
“Oh itu, waktu itu sempat beli bubur di sini, lalu bertanya perihal sama seperti mas. Entah kenapa, mas-mas itu jadi selalu berdiri di ujung gang sana setiap hari dalam waktu dan pakaian yang sama. Hati-hati, nanti masnya berdiri di sana juga loh. Hahaha, bercanda mas.”
“Pak jadinya dibungkus saja.” Pemuda itu kemudian pergi setelah menerima pesanan bubur ayamnya.