Mencicipi Dunia Fana

Tenggelam pada waktu

Coba nyalakan lilin sekali saja saat tengah malam
Dan bersenandung jika perlu
Aku tak perlu suara bersorak
Atau sesuatu yang manis, pun kalimat lembut tak perlu
Yang aku mau hanya hadirmu

Apa kau tahu darahku dimana-mana?
Tanganku yang kotor ini tak pernah kau basuh lagi
Dan aku tidak tahu kemana penghangat itu pergi
Sejenak, khayalan untuk terbang aku urungi
Karena diriku tenggelam pada waktu

Aku mulai terjebak dalam ruang hitam
Ribuan jemari menjerat tubuhku

Tuhan…
Menjadi dewasa ternyata menyeramkan
Bertelanjang aku mencicipi dunia fana
yang ujungnya pun tak orang tahu
Pahit manis ku telan habis-habisan
Pandanganku gelap seakan ditutupi kain
Haruskah aku menyalakan lilin?
Agar langkahku berhenti di ujung penantian




Jiwaku dikembalikan pada yang kuasa

Perihku merekah dalam mata merah
Angin terlalu kencang hingga aku terkancah
Waktu seakan berhenti berputar saat mereka menarikku ke ruang sunyi
Aku dieksekusi seperti tahanan lepas

Si tajam menghunus lewati kesucian
Menjerit-jerit ketika mereka menodaiku
Lembutku dirampas habis oleh pecundang
Aku diperlakukan layaknya seekor binatang
Para bajingan itu tertawa lepas bak sosok iblis
Lalu aku terseok-seok bagai tidak punya nyawa

Guyuran hujan deras mendekap tubuhku yang remuk
Semesta seolah menyuruh membasuh
Perlahan-lahan darahku tumpah dalam bayangan
Aku terdampar ke sisi lain dan menari dengan indah
Ada cahaya terang menyelimuti diriku
Sekumpulan kupu-kupu menuntunku jauh
Banyak yang menyambutku pulang
Disana jasadku tertidur tenang




Rumah yang kau duakan

Wahai pemuja bara api…
Pantaskah engkau bersandiwara di balik keresahan
Lancang jemarimu mengiris serentetan derita
Siapa dalangnya?
Beri tahu agar tidak melebur bersama tumpukan doa
Sebab dunia adalah kepalsuan

Wahai pemuja bara api…
Bisakah engkau mencicipi pedihnya luka batin
Racun yang ku tabur dilahap sendiri oleh buah tanganmu
Secangkir kopi milikmu masih kubiarkan sampai hari akhir
Berbagai macam perangkap terus ku tebar
Kemudian ku paksa melenyapkan yang jahat|
Supaya penerus tak mampu mengenang




Masalah masa depan

Hatiku telah lama melebur
Terbagi menjadi dua bagian yang tak teratur
Kedua sisinya sama-sama hancur
Dan perihnya masih berangsur-angsur
Ruang-ruang ku bangun demi masa depan
Harapan menua ku angan-angankan
Berbagai karangan ku susun
Hingga lupa akan berita buruk berdatangan
Jiwaku mulai menikmati
Walau sejatinya menyakiti
Dari sudut kecil di dunia rusak ini
Ku sebarkan surat berisikan caci maki
Tentang hidup yang berjalan seperti bangkai
Dan seseorang yang mengais cita-citanya dalam mimpi




Teluk rasa

Pada teluk membasuh muka
Kepadanya ku membawa luka
Akan tak rapih jika menyimpan replika
Maka renungan akan disuka

Yang kuasa yang tidak berbisa
Dalam diamnya hanya berdoa
Pedih netra merapal asmara
Hingga merata dengan dosa

Akhir merayu mesra
Sang mimpi menyorak siksa
Usai sudah bertarung tanpa asa
Moga melambung bersama rasa




Peradaban manusia

Ribuan manusia menyembah sesuatu yang binasa
Suara berisik memanggil air dewa
Berbekal pedoman tak berarah juga tak diberi aba-aba
Salah satu punah bersama mantra

Kaum-kaum munafik bersimpuh pada ayat kitab suci
Berbondong-bondong mengikuti ajaran sesat
Mematuhi leluhur yang bahkan membelot pada kebenaran
Menyetarakan diri-Nya dengan yang tak kasat mata
Berdiri tegak layaknya raja terakhir
Demikian tiang menjulang adalah bentuk dari-Nya

Bodoh…
Omong kosongnya dianggap sakral oleh budak
Dengan kuasa yang konon penyelamat umat
Berbisik serta memeluk seperti pengasuh
Menjanjikan yang tidak pernah dijanjikan
Berdalih menebus para pendosa
Diri-Nya rela memikul kepalsuan




Cinta yang tak diberi makna

Barbara datang penuh cinta
Menanti kekasih datang penuh kata
Burung-burung menyerukan naluri hati
Menunggu balasan yang dinanti

Secarik kertas terbang bersama udara
Lalu mendarat pada penopang beban kehidupan
Terasa sesak setelah membaca tanpa suara
Dengan merana menutup surat kesudahan

Akhir cinta tidak diberi makna
Terperanjat dalam kenyataan fana

Selesai sudah mengarungi lembah berduri
Perempuan itu menangis dipelukan ibu
Meneriakan genggaman yang kunjung merindu
Dan berdoa agar jati dirinya tak lagi dicuri

Bagikan:

Penulis →

Kholi. N

Perempuan kelahiran 2004. Tertarik pada dunia sastra sedari kecil, lebih sering mengutarakan perasaannya ke dalam tulisan daripada berbicara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *