Kisah Shin



Sebenarnya, ada berapa banyak kisah Tanuki di luar sana? Viola sering bertanya-tanya sendiri. Gadis kecil itu menutup bagian buku yang sudah beberapa hari dibacanya. Pembatas buku origami berbentuk gadis memakai Kimono tak lupa diselipkannya di antara lembar halaman. Ia mengangguk saat bunda memintanya untuk menunggu. “Supermarket ada di lantai satu. Jangan ke mana-mana.” Didengarnya bunda berpesan sambil menaruh baki berisi segelas jus dan roti Bagel di atas meja.

“Suka cerita legenda Jepang?” Terdengar suara dari meja sebelah. 

Viola menengok ke samping kanannya. Seorang wanita muda tersenyum menunjuk buku cerita “Legenda Negeri Matahari Terbit” di atas meja.

Ia tak bisa dibilang pemalu, namun bunda sering mengingatkan untuk selalu berhati-hati dengan orang yang tak dikenal. Viola masih terus memandang.

Wanita itu lalu mengeluarkan Ipad Mini dari dalam tas. Jari-jari tangan kirinya bergerak cepat. “Ah, ini.” 

“Tante juga suka cerita rakyat Jepang.” Ia menyodorkan Ipad Mini-nya. “Ada cerita Momotaro, Tsuki no usagi, kisah pemotong bambu, ….”

“Aku lagi suka dongeng tentang Tanuki.” 

Wanita itu meletakkan Ipad Mini di atas meja. “Mau dengar cerita tentang Tanuki dan monyet?”

“Tanuki dan monyet? Kayaknya belum pernah dengar.” Viola terlihat sangat tertarik.

“Alkisah pada zaman dahulu kala di Jepang ada …,”

***

Seekor monyet abu-abu bernama Shin. Ia sedang menunggu Biko di depan sebuah gua di hutan. Monyet itu tak berani masuk begitu saja ke dalam gua. Semua makhluk yang ingin bertemu Biko selalu menunggu di depan gua. Mereka dapat menunggu berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan. Kadang hanya nasib baik yang bisa membantu mereka.

Shin menunggu dengan sabar. Perlu perjalanan sehari semalam dari desa untuk bertemu Biko. Tak ada pilihan lain, katanya dalam hati. 

“Bangun, Shin!” Biko mengaum.

Shin meloncat kaget. Ia mengucek-ngucek kedua matanya. Dilihatnya seekor harimau putih. Biko terlihat sangat berwibawa. Siapa pun yang tak kenal Biko akan segera lari ketakutan melihat tubuhnya yang sangat besar dan auman seramnya.

“Sudah lama menunggu?” 

“Baru dua hari.” 

Biko mengangguk. Ia mengenal Shin dan tahu sifat baiknya. Biko memandang monyet abu-abu di hadapannya.

“Aku berjanji dengan seorang petani di desa. Aku perlu bantuanmu,” kata Shin pelan.

Harimau putih itu terkenal tak banyak bicara. Ia masih terus memandang Shin.

Seminggu sebelumnya ….

Shin melewati rumah seorang petani tua yang menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk, pundaknya bergerak naik turun. Sesekali ia mengusap air mata. Shin berusaha menenangkan sambil menyodorkan botol kayu berisi air minum. Mereka duduk di depan rumah sang petani. Matanya terlihat sembab. Sepertinya ia terus menangis semalaman. 

“Anak gadisku diculik Tanuki,” kata petani tua di sela tangisnya.

“Tanuki ada di desa kita?” Shin yang pernah mendengar tentang keculasan dan tabiat jahat binatang rakun satu itu terdengar kaget.

Bapak tua di sampingnya mengangguk. Kemarin siang ia dan anak gadisnya didatangi seorang pemuda ketika mereka sedang beristirahat di ladang. Mereka tak menyadari bahwa pemuda itu adalah Tanuki yang berubah wujud.

Pemuda itu berniat untuk meminang sang gadis. Namun entah kenapa petani tua merasa ragu. Cara berbicara, ekspresi wajah, dan perilaku pemuda itu membuat hatinya tak tenang. 

Sang petani menolak lamaran pemuda dengan alasan anak gadisnya masih terlalu muda untuk menikah. Sang pemuda membujuk berkali-kali, namun petani tua tetap dengan keputusannya. Laki-laki itu menjadi marah. Ia akhirnya pergi, namun mengancam akan membalas. 

Bapak tua meneruskan bekerja di ladang dan anak gadisnya pulang ke rumah untuk menyiapkan makan malam. Tanuki diam-diam menunggu sang gadis di jalan. Dengan berubah wujud menjadi sang ayah, ia memanggil dan mengajak sang gadis untuk mengikutinya. 

Malam itu, petani tua melihat anak gadisnya sedang memasak di rumah. Karena lelah, ia tak merasa ada sesuatu yang aneh.

“Ayah, aku masak sup ayam. Ayo dicoba.” 

Bapak tua yang kelelahan makan dengan lahap. Tak ada sedikit pun yang tersisa. Anaknya tersenyum senang. Saat sang ayah menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursi, gadis itu mendadak terbahak dan tiba-tiba berubah wujud menjadi seekor rakun.

Tanuki yang masih tergelak mengakui kepada petani tua bahwa ia adalah si pemuda di ladang.  

“Ternyata kau suka sup jari kelingking anak gadismu, hei, Petani?” ejek Tanuki sambil tertawa culas.

Petani itu terkejut bukan kepalang. Wajah keriputnya terlihat pucat. Ia beranjak hendak memukul Tanuki, namun kalah cepat. Tanuki berlari keluar rumah sambil terus tertawa. 

“Mana anak gadisku!”

Ia berteriak memohon kepada Tanuki untuk mengembalikan anak gadisnya. Namun rakun itu terus berlari dan mengejek sang petani yang sudah berhasil dikelabuinya.

“Cari anak gadismu kalau bisa!” ejeknya dari jauh.

Masih dengan kepala tertunduk. “Naas betul nasib kami.” Petani tua mengakhiri kisahnya. Mengusap air mata yang terus bercucuran.

“Anak gadis Bapak akan kembali pulang,” janji Shin. Rasa marah terlihat jelas di mata hitamnya, namun ia tahu tak bisa menangkap Tanuki sendiri. 

***

Semua makhluk di negeri ini tahu tentang Biko. Namun harimau putih satu itu sering berpindah tempat, tak banyak yang tahu di mana ia tinggal. Biko dianggap sebagai pelindung. Menurut cerita dari mulut ke mulut, Biko dapat melihat hal-hal gaib dan sangat misterius. Tanuki pun tak pernah tahu di mana ia tinggal.

Monyet abu-abu dan harimau putih tanpa membuang waktu segera mencari anak gadis sang petani. 

Dengan bantuan alam gaib, Biko berhasil menemukan persembunyian Tanuki, jauh di dalam hutan. Shin secepatnya ke sana untuk menolong.

“Tanuki!” panggil Shin nyaring. “Keluar kau!”

Tidak ada jawaban.

“Tanuki!”

Seorang gadis muda keluar sempoyongan. Wajah pucat, mata bengkak, dan kelihatan sangat lelah. Shin berlari membantu sang gadis yang hampir terjatuh. Gadis itu memeluk Shin. 

“Aarrgh!” Monyet abu-abu tiba-tiba memekik kesakitan. Gadis itu melepas gagang pisau yang ditancapkannya di punggung Shin. Sang gadis menjauh dan berubah wujud menjadi Tanuki yang kabur sambil tertawa keras.

Ngos-ngosan, akhirnya rakun jahat itu berhenti berlari. Merasa cukup aman, ia berjalan pelan. Senyuman culas terlihat di wajahnya. Ia merasa sayang harus meninggalkan sang gadis. Apa boleh buat, pikirnya.

Beberapa saat berjalan, Tanuki merasakan hembusan angin yang semakin lama semakin besar. Daun-daun dan batu-batu berhamburan di sekelilingnya. Cabang pepohonan bergerak semakin kuat. Sambil setengah memicingkan mata, Tanuki berusaha terus berjalan. 

Dari arah depan dilihatnya angin puyuh mendekat. Tanpa sempat berbuat apa-apa, badannya terbawa masuk ke dalam putaran angin puyuh yang bergerak cepat. Batu, daun, dan cabang pohon berhamburan masuk ke dalam putaran angin kencang. Tanuki muntah-muntah. Sekujur tubuhnya luka. Samar-samar ia mendengar auman keras dari jauh. Angin puyuh itu terus berjalan berputar berpindah tempat.

Rakun itu terhempas ke tanah begitu angin puyuh akhirnya berhenti berputar. Badannya tak dapat digerakkan. Ia tak sadarkan diri. 

Entah sudah berapa lama, Tanuki membuka kelopak matanya. Ia berusaha bergerak, tetapi kedua lengan dan kakinya terikat. Angin puyuh ternyata membawa Tanuki kembali ke tempat persembunyiannya semula. 

Dilihatnya monyet abu-abu berbalut kain di pundak dan sang gadis bercakap di dekat api unggun. Dibandingkan dengan monyet sejenisnya tubuh Shin lebih tinggi dengan otot-otot tubuh yang menonjol. 

Begitu melihat sang monyet berdiri dan berjalan ke arahnya, Tanuki pura-pura masih tak sadarkan diri. Pelan-pelan Shin mengolesi luka di badan Tanuki dengan cairan obat dari tumbuhan. Tanuki mengerang kesakitan dan membuka mata. Ia tak menyangka Shin masih bersedia mengobati luka-lukanya.

“Kenapa?”

“Aku mau kau mempertanggungjawabkan perbuatan jahatmu di depan petani tua.” 

Esok harinya ….

Tanuki meminta maaf. Ia berjanji tak akan berbuat jahat lagi dan memohon ikatannya dilepaskan. Shin menolak. Sang gadis pun memintanya untuk tak terpedaya oleh permintaan rakun licik itu. Tanuki terus meminta maaf selama dua hari ke depan. 

Melihat Tanuki yang terus memohon, Shin merasa tak tega. Ia akan membuka ikatan kalau Tanuki berjanji tak melarikan diri dan ikut dengan mereka ke rumah petani tua di desa. Tanuki segera berjanji.

“Terima kasih,” serunya berkali-kali. Matanya berkaca-kaca. 

Tanuki menggerak-gerakkan badannya yang kaku, berjalan bolak balik. Berkat Shin, lukanya hampir mengering dan sudah tak terasa sakit lagi.

Di dekat api unggun Tanuki melihat semangkuk sup. “Aku lapar.” Ia menunjuk mangkuk sup. 

Sang gadis memandang Shin. Monyet itu mengangguk sambil menaruh pisau yang dipakainya untuk memotong tali ikatan di atas sebuah batu. 

Tanuki mengulurkan tangannya. Lalu, secepat kilat ia bergerak mengambil pisau dari atas batu dan menusuk perut Shin. Monyet abu-abu itu sempoyongan ke belakang, tak dapat bersuara saking terkejutnya. Tanuki membopong sang gadis dan berjalan cepat keluar. Gadis muda itu menangis histeris memukuli punggung Tanuki.

Sang rakun terus berlari dan berlari hingga tubuhnya tak kuat lagi membopong sang gadis. Mereka tiba di pinggir sebuah desa dan menemukan lumbung padi terbengkalai. Tanuki dan sang gadis yang juga kelelahan, langsung tertidur. 

Sehari lewat. Matahari sudah meninggi, cahaya memasuki celah-celah dinding kayu. Tanuki mengernyitkan dahinya sambil membuka mata. Bayangan hitam sekonyong-konyong menutupi sinar mentari. Auman keras menggetarkan lumbung. 

Tanuki seketika itu juga berdiri siaga. Mata hitam Biko membuat nyalinya menciut. Rakun itu dapat berubah wujud menjadi apa saja yang ia mau, namun rasa gentar serta kekuatan gaib sang harimau putih membuatnya tak kuasa bergerak.

“Kau! Apa yang sudah kau lakukan!”

“Maaf. Aku minta maaf.” Tanuki berlutut di depan Biko memohon berulang-ulang. 

“Kau ikut ke desa sekarang juga!” aum Biko. Harimau putih itu selalu memilih jalan damai daripada tindakan kekerasan.

***

“Akhirnya Tanuki bagaimana?” seru Viola.

“Ada banyak versi. Dongeng sering seperti itu, kan, ya? Tapi yang pernah Tante dengar adalah …,”

***

Biko memandang Tanuki yang berlutut memohon maaf. Ia terus memohon. Rakun itu cemas. Apa yang akan Biko lakukan? Hukuman apa yang akan ia terima? Otaknya bekerja keras. Panik, entah ada kekuatan dari mana, Tanuki melesat ke arah pintu lumbung seperti rakun yang terbakar ekornya.

Biko yang dapat mengontrol angin, mengaum keras. Angin kencang masuk dari semua celah lumbung. Tanuki terus berusaha kabur saking takutnya. Sebuah pisau arit di lumbung terbawa angin. 

“Aarrgh!” Tanuki melolong kesakitan. Ekornya terpotong. 

***

Shin yang hampir mati untungnya dapat diselamatkan. Ia senang janjinya kepada sang petani tua dapat terpenuhi, meskipun rakun licik itu akhirnya dibiarkan melarikan diri ke hutan. 

Bapak tua berduka melihat jari kelingking kanan anaknya yang hilang. Namun sang gadis merasa bersyukur dapat kembali pulang dan membujuk ayahnya untuk tak bersedih. 

“Aku masih bisa merawat ayah.” 

Tanuki lari semakin dalam ke hutan sambil memegang bagian belakang tubuhnya. Matanya berair menahan rasa sakit. Lolongannya terus terdengar. Darah menetes membentuk jejak panjang.

Tanuki yang kehilangan ekor tak dapat berubah wujud lagi. Rakun itu tak dapat lagi menipu dan berbuat jahat. Dan konon, setelah kejadian itu, ia hampir tak pernah terdengar lagi.

***

“Aah, untung Shin masih hidup.” Viola berkomentar.

“Menunggu lama? Tadi agak macet di jalan.” Seorang bapak berusia lanjut berdiri di hadapan mereka.

“Tante harus pergi sekarang. Kamu, Viola, ya?” Gadis kecil itu mengangguk.

“Tidak apa-apa sendiri, Viola?”

“Kayaknya bunda sebentar lagi selesai. Tidak apa-apa, kok, Tante.” 

Memasukkan Ipad Mini ke dalam tas, wanita itu kemudian berdiri. Menggandeng lengan ayahnya, mereka berjalan keluar. 

“Tante!” Viola memberanikan diri. “Nama Tante siapa?”

“Shinta.” Wanita itu tersenyum serta melambaikan tangan kanan yang hanya terdiri dari 4 jari.

 ******



Catatan:

Tanuki: binatang mirip anjing rakun di Jepang.

Bagikan:

Penulis →

May Wagiman

Penulis cerpen, cerita anak, serta artikel. Karya tulisannya dapat dilihat di media daring serta media cetak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *