LELAKI itu tak pernah mempedulikan warna senja yang dibicarakan berlebihan oleh banyak pencerita. Namun, dia begitu akrab dengan matahari. Maka Malik tak pernah menutup tirai jendela kamarnya yang terbuat dari kaca. Dengan begitu, dia akan dengan mudah mengeja cuaca: hari yang cerah, mendung, pagi dan tentu saja senja. Rembang sore yang dirasakan oleh Malik bukanlah perihal warna, susah untuk tergambarkan. Hanya bisa dirasakan dan itu pun hanya dia.
Hari yang hangat, kulit muka dan tangan Malik mampu membaca itu. Setelah mematikan alarm, dia membuka kaca jendela yang membuat bau remah roti sisa dan sisa teh semalam pudar tersapu udara. “Nol tujuh, titik dua, enam belas.” Demikian bunyi alat pembaca layar ponsel itu, ketika didekatkan ke telinga lelaki kurus berjambang beralis tebal itu. Dia pun segera ke dapur, meraba pemanas air dan ditempelkanya jari telunjuk di ujung gelas untuk mengukur volumenya. Setelah mengikat kemauan dan menyiapkan ubo rampe: bekal makanan, minuman, dia mengambil tongkat lipat, bergegas ke stasiun kereta.
Hari ini dia sedikit telambat. Sandiwara radio jadul yang diputar melalui aplikasi online membelainya semalaman hingga membuatnya kurang tidur dan punggungnya terikat, malas bangun. Meski demikian, dia tetap memaksa, karena waktu tetaplah harus dikupas: melingkar seperti kulit apel, dari pagi hingga ketemu pagi lagi, terus memutar. Hari-hari musti ditundukkan. Dia mempercepat jalannya, menggerakkan tongkat, menggeser ke kanan lalu kiri. Sesekali Malik berkata excuse me, ketika dia terdengar orang yang lain lewat di depannya.
Stasiun Paramatta terdengar sangat gaduh. Dari belakang orang-orang bercakap-cakap bahasa India, sementara di sebelah kanan suara anak muda berbahasa Cina, dan sebelah kiri mungkin Vietnam. Ramai sekali. Berbagai bahasa bermunculan di telinga Malik pagi itu. Dan memang begitulah susasana stasiun kereta besar di Australia, seperti bandar besar berpenghuni manusia global.
Setelah melewati harum falafel hangat dan Paratta panggang dan curry India, di sanalah pojok pertugas kereta. “Halo, Benarkah ini jalur kereta ke stasiun Central, kenapa tadi ada penghalang?” tanya Malik ke petugas yang sudah hapal tempatnya. “Oh biasanya memang begitu, tapi ada perubahan mulai hari ini. Bapak lurus melalu jalur guiding block ini, lalu ada lift pergilah ke platform dua, ada petunjuknya.” Penjelasan itu tampak aneh bagi Malik, karena hampir setiap pagi dia pergi dan turun di platform satu, tapi hari ini tidak!
Suara bising, musik di kafe-kafe yang berderet, orang-orang berlalu lalang, deru suara kereta membuat Malik sedikit khawatir dan bingung. Malik diam mematung! Diluruskanlah kakinya dan menahan nafas. Jagad raya pikiranya pun ditata mendengarkan suasana.
“Hallo, bapak butuh bantuan?” Tiba-tiba suara perempuan dari belakang dengan menepuk pundak Malik. “Hei, iya, terimakasih. Saya butuh ke platform dua, saya mau ke Central.”
“Ah saya juga hendak ke sana juga, mari bersama saya.”
“Terimakasih.”
“Ngomong-ngomong Nama saya Monika, Bapak dari Indonesia kan?” Tanya perempuan itu dalam Bahasa Indonesia. Dengan segera dia menuntun Malik ke platform dua. Mereka bercakap-cakap sebentar, Monika tahu bahwa lelaki di sampingnya orang Indonesia karena batik yang dikenakan. Perempuan itu juga mengatakan bahwa dia juga akan ke platform dua. Dia akan turun di Newtown, sebuah stasiun kecil 20 menit sebelum stasiun Central.
Suara peluit itu meyakinkan Malik bahwa sebentar lagi akan berangkat. “Mas Malik bawa masker? Memang sudah tidak wajib, tapi kan ini di dalam kereta, alangkah baiknya memakai masker.” Monika menyodorinya dua masker. “Mau yang mana, Mas?
“Yang mana saja. Warna tidak penting bagiku, Mbak Monika.”
“Baiklah jadi aku ambilkan yang ini ya.”
“Yang ini atau yang itu saya juga tidak paham, berbicaralah sekiranya aku mengerti.”
Semua seperti serba salah. Monika mengangkat kedua alisnya sembari menempelkan salah satu masker ke tangan kanan Malik.
Kereta merayap dari stasiun ke stasiun lain. Monika dan Malik memecah kekakuan dengan bercakap-cakap seadanya. Malik adalah penerima beasiswa master di sebuah kampus di Sydney, sedangkan Monika merupakan orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Australia. Sejak peristiwa kerusuhan 1998 di Jakarta, Monika yang keturunan Cina, diajak bapaknya pindah ke Australia.
Kereta melaju, Monika menatap jendela. Tujuh-puluh enam burung camar bergerombol terbang ke utara. Kabel-kabel menjalar panjang tak terhingga, pohon Jakaranda dengan bunga-bunga warna ungu berjajar rapi. “Ini awal musim semi, Mas Malik. Indah, banyak pohon berbunga warna warni.”
“Kamu bercerita saja, aku tidak mengerti warna, kamu tahu itu kan. Tidak perlu aku jelaskan, mengapa?”
Monika tersentak, dadanya seperti ditendang. “Maaf, saya lupa.” Monika menempelkan kedua tangan ke dadanya, “Ya. Tuhan.”
“Tidak mengapa, sudah biasa, orang-orang sudah biasa seperti itu.” Lalu, dalam beberapa saat, mereka terdiam. Hingga Malik membelah kecanggungan dengan bertanya “Mbak Monika, maukah kau jadi temanku?” ucapnya sambil mengangkat dagunya ke atas. “Maukah menceritakan itu semua, seperti apa itu Jakaranda, burung ibis, camar, menara, harbour bridge dan apa saja yang aku dengar tentang kota ini?”
Monika terdiam beberapa saat. Bingung akan memulai cerita atau menolaknya. “Baiklah, apa yang ingin kamu mengerti, Malik?”
“Apa saja!” balas Malik dengan terus memegang pipa besi dalam kereta. Malik memberanikan diri bercerita dan meyakinkan bahwa selama ini dia merasa kesepian. Di negeri orang semua berbahasa Inggris yang tak semua dipahami dengan mudah. Orang-orang menyapa lalu pergi, membantu lalu pergi, memberikan sesuatu lalu pergi. Tak ada teman untuk bercerita. Orang memang tidak memusuhi, tetapi tidak juga mengakrabi. Mereka seperti pelayan restoran saja, lembut, menanyakan kebutuhan dengan halus, lalu pergi. Tidak dengan hidupnya dulu, di kampung. Banyak yang mau berteman.
Monika buru-buru memegang tangan Malik. “Baiklah kita mulai dari yang paling terkenal, Opera House Sydney.” Tangan kirinya terkepal membentuk sebuah bola, lalu tangan kananya terbuka, sementara jemari Malik diizinkan untuk meraba. Dengan sabar Monika menjelaskan, dengan berbagai cara, bahkan dengan sobekkan sebuah kertas lalu ditata mirip gedung opera house. di luar jendela kereta, gedung-gedung tinggi berlarian terpisah gang dan jalan, helai demi helai waktu pun terlepas. Setelah 30 menit bersama Malik, menceritakan dan memperagakan gedung pertunjukan itu, Monika memeluk tubuh Malik. “Besok kita ketemu, lagi ya. Saya siap-siap turun dulu, sebentar lagi sampai stasiun Newtown. Hati-hati, Central masih agak jauh, sampai ketemu besok lagi di Platform dua.”
Suara peluit terdengar lagi. Malik mengencangkan pegangannya di pipa besi dalam kereta. Kepingan-kepingan ingatanya melayang, hadirlah sosok ibu duduk di sampingnya dulu. Di dipan bambu panjang, Ibu menjelaskan bentuk kubus, segitiga, dan lainnya sebelum pelajaran matematika. Bertahun-tahun yang telah lalu saat masih kecil, Salamah, ibu Malik, selalu menceritakan dengan memperagakan apa saja kepadanya: sapi, ayam, kambing, perahu dan bahkan bukit di belakang rumahnya. Ingatan-ingatan itu membuat malik sedih. Berkali-kali dia menelan ludah dan membersihkan air di hidung. Dan kereta tak peduli dengan semua itu, terus melaju!
***
Hari setelah itu, Malik pun bertemu dengan Monika di Stasiun Paramatta, platform dua. Untuk berikutnya, dia sudah terbiasa. Hari yang lalu mengajari bagaimana menuju ke sana. Dan benar, beberapa saat setelah sampai di sana Monika datang. Monika memegang tangan Malik “Pagi, Mas Malik, kereta sebentar lagi, ayo pegang pundakku, ikuti aku ya.” Setelah suara peluit mendengung, Malik dan Monika sudah duduk saling berhadapan di gerbong kereta. di hari itu, Monika menceritakan perihal Jakaranda. Untuk memperagakannya, Monika membawa brokoli. Menurutnya brokoli itu miniatur pohon. Selanjutnya, mereka saling bercerita tentang benda-benda dan tentang apa saja tanpa menyebutkan warna.
Hari ketiga, ke-empat dan seterunya Monika dan Malik selau bertemu di Platform dua. Monika menceritakan dan memperagakan kepada Malik benda-benda dan tempat penting di kota Sydney. Monika pernah membawa kaleng vitamin yang sudah habis untuk menjelaskan terowongan panjang di central coast, pernah pula membawa clay dough untuk menceritakan koala, kangguru, hingga laba-laba. Dan di suatu hari, Monika juga membawa sesobek Capatti, roti dari India itu. Dia menjelaskan rembulan yang tersangkut pohon Kayu Putih, sebagaimana dia dengar dalam cerita-cerita yang ia dengarkan. Demikian dengan Malik, sesekali diapun juga menceritakan sandiwara radio lama yang didengarkan melalui aplikasi online: pendekar-pendekar di Nusantara hingga cerita hantu.
*
Hari-hari telah berlalu, kedunya selalu bertemu di platform dua, dan berakhir dengan pelukan perpisahan di stasiun Newtown. Seperti itu terus, setiap hari. Keduanya begitu akrab, saling bercerita tentang apa saja yang bukan tentang mereka, dan pasti dengan tanpa menyebut warna. Saat malam-malam mulai tiba, tak jarang Monika memikirkan apa yang akan diceritakan ke Malik di hari berikutnya. Dia mulai kecanduan bercerita akan sesuatu. Mempersiapkan cerita telah menjadi bagian dari makan malam. Dia juga mulai memikirkan Malik, baginya lelaki yang tak suka membicarakan warna itu seperti cat di kursi gereja yang masih basah yang tak sengaja dipegangnya dulu saat remaja: perjumpan yang tak diinginkan akan tetapi susah dihilangkan.
“Alangkah menariknya merasakan dunia tanpa memperhatikan warna.” Masa lalu itu berdenting di kepalanya. Monika terbang ke beberapa tahun yang lepas. Tergeletak di kepalanya sebuah pecahan peristiwa. Dulu sekali, papanya memaksa mengajak pergi untuk alasan yang tidak ia mengerti. Monika sempat bertanya kenapa dia harus meninggalkan Jakarta dan teman-temannya? Papanya tak menjawab. Hanya menatap wajah Monika lama sekali, lalu mendekap tubuhnya yang kecil “Orang-orang itu jahat, sayang. Mereka membakar toko kita, karena warna kulit kita.” Monika masih tak begitu paham. Namun sejak itu, Monika sangat benci pada sikap yang memilah-milah warna, meski tak dipungkiri, Monika kadang tak bersikap kaku. Tetap saja menyukai bunga yang warna-warni terutama Jakaranda di musim semi.
Sementara Malik, setelah berteman dengan Monika, hari-harinya menjadi sangat indah. Sudah 67 kali bangun pagi dan berangkat ke stasiun terasa begitu ringan. Sudah ratusan 103 sandiwara nusantara dan cerita hantu di aplikasi online didengarkan untuk diceritakan ulang ke Monika di dalam gerbong. Hingga pada suatu hari selasa pukul 5 sore, Muka malik berubah menjadi murung setelah mendengarkan voice note melalui ponsel pintarnya. Badannya tengkurap bengkok di atas kasur, seperti udang busuk! Malik berteriak dan menangis kencang. Lalu dia menelpon teman-temanya, entah apa yang dibicarakan: sangat serius. Bara dalam hatinya seperti padam. Raut mukanya sangat pucat, berakhir dengan keputusan untuk tidur dengan jendela yang tetap terbuka.
***
Seperti pagi yang telah dilalui oleh Monika, rabu pukul 7.30 sudah sampai stasiun kereta Paramatta. Menyapa petugas dan senyum basa-basi kepada orang-orang di latar stasiun. Monika bergegas ke platform dua. Di sana dia melihat jadwal kereta yang menujukkan kereta stasiun Central 15 menit lagi akan tiba. Dia berdiri tepat sebelum tulisan mind the gap. Tak seperti biasanya, begitu sampai stasiun, Malik sudah ada di platform. Tidak untuk hari itu. Matanya tertuju terus pada jalan masuk platform dua, tetapi Malik tak juga muncul, bahkan ketika kereta sudah tiba, Malik tak kunjung tiba.
Setelah kereta melaju 200 meter, Monika memutar kepalanya ke belakang, mengintip dari kaca jendela kereta, di simak orang-orang yang berbaris di platform barangkali Malik adalah salah satu di antara mereka. Tatapannya kosong, diusapnya mukanya berkali-kali. Hatinya tidak tenang, dadanya sesak, jantungnya berdebar. di dalam pikiranya, tumbuh dengan cepat satu pertanyaan, “Kenapa dengan Malik?” Segala metode komunikasi sudah dicobanya, tetapi hasilnya nihil. Tak pernah ada jawaban.
Hari-hari setelah itu, setiap pagi Monika selalu menunggu Malik di platform dua. Dia terus mencari, menanyakan kepada petugas stasiun, orang-orang di cafe yang berjajar, tukang bersih-bersih, hingga peminta receh yang biasa menggelar selimut di di pojok dekat lift. Semua tidak ada yang tahu. Sejak hari rabu itu, lelaki yang tak pernah mempedulikan warna itu tak terdengar lagi di stasiun Paramatta. Malam-malam Monika gundah. Kesunyian menghukumnya. Lidahnya sudah layu, tak sanggup merasakan salad dicampur irisan daging ayam yang menjadi kesukaannya. Setiap pagi begitu sampai platform dua, jantungnya berdetak kencang, pikiranya tak karuan, bulu kuduknya berdiri, merinding. Dia berdiri diam sejenak. Mengamati orang-orang, barangkali, di sela-sela mereka yang berlalu Lalang, ada lelaki yang biasa menemaninya setiap pagi.
Perempuan di platform dua itu benar-benar ditikam kerinduan yang amat dalam. Dia merasa seperti burung kecil, di sebuah kota yang mendadak sepi. Ketika semua burung telah berubah menjadi lalat, kelelawar, kucing hingga batu. Dialah satu-satunya burung di kota itu. Seokor burung yang menjerit-jerit kesepian hinggap dari dahan ke dahan. Hatinya telah tersayat oleh cemas dan pertanyaan. Kemanakah lelaki yang tak mempedulikan warna itu?
Hingga enam minggu setelah menjalani pagi tanpa Malik, setelah penelusuran Panjang via internet, Monika menemukan sebuah akun facebook bernama Malik Ainuna, dengan profile lelaki berdiri dengan latar opera house.
Beranda Facebook Malik Ainuna, 28 Febuary 2023
Innalilahi wa inna ilaihi roji’uun. Turut berduka cita ya, Dik Malik. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah, SWT. Yang tabah, Ya.
Dengan sebuah link berita yang terseratkan:
Bentrok Antara Masyarakat dan Perusahaan Sawit Milik Milyuner Indonesia, 5 Luka Berat, Seorang Perempuan Tewas.