Savior Complex

“Bu Rima menderita kondisi psikologis yang dinamakan savior complex.”

“Bisa dijelaskan kondisi apa itu, Bu Dwi?”

Savior complex adalah kondisi dimana seseorang selalu tergerak untuk membantu orang lain, baik dibutuhkan atau tidak. Makin sering dan banyak dia membantu, harga dirinya makin naik dan hatinya menjadi bahagia. Hal ini bisa berdampak buruk kalau orang yang ditolong malah berbalik memanfaatkan dirinya. Penderita savior complex tak segan-segan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi membantu orang lain. Waktu, tenaga, dan harta bisa habis demi melihat orang lain bahagia dan mengucapkan terima kasih padanya. Penderita savior complex merasa ada yang kurang dalam hidup ini kalau tak bisa membahagiakan orang lain.”

“Tapi itu terdengar seperti bukan membantu orang lain, Bu Dwi. Tapi malah ibu saya yang mencoba membahagiakan dirinya sendiri dengan memberi bantuan pada orang lain.”

Dwi, sang psikolog, mengangguk. “Apa yang dikatakan Bu Laras benar. Ujung-ujungnya penderita savior complex menderita akibat perbuatannya sendiri. Tak jarang dia membantu bukan hanya dalam hal materi, tapi juga mengurusi masalah orang lain seperti perselisihan, beda pendapat, dan sebagainya. Padahal belum tentu orang yang dibantu itu suka. Akibatnya penderita savior complex kadang tak disukai karena terlalu ikut campur.”

Laras manggut-manggut setuju. Dia ingat sang ibu tak disukai beberapa saudaranya, terutama yang mampu secara finansial. Kalau ada pertemuan keluarga, mereka cenderung bicara seperlunya saja dengan Rima, ibu Laras. Hal itu terlihat dari ekspresi dan bahasa tubuh mereka yang menjaga jarak. Berbeda halnya dengan saudara-saudara yang kondisi ekonominya di bawah Rima, mereka dengan semangat mendekat dan mengajak ibu Laras itu ngobrol.

Lima hari yang lalu Laras membawa ibunya observasi ke klinik Dwi, psikolog ternama di Jakarta. Selama dua jam bersama Rima, Dwi sudah bisa menyimpulkan kondisi psikologis yang dialami wanita tua berusia enam puluh delapan tahun itu. Hari ini Laras datang sendirian ke klinik untuk mendengar secara langsung hasil observasi Dwi.

“Lalu apa solusinya agar ibu saya sembuh dari savior complex, Bu Dwi? Terus terang kalau Ibu harus terapi rutin dengan Bu Dwi, saya pesimis beliau mau melakukannya. Ibu saya tipe orang konservatif yang menganggap kalau ke psikolog itu berarti orang gila. Tempo hari saja saya berbohong waktu membawanya ke sini. Saya bilang Bu Dwi direkomendasikan oleh internis yang merawat Ibu selama ini. Nanti hasil observasi akan dikirim ke dokter itu di Semarang sehingga bisa memberi obat yang tepat buat penyakit lambung Ibu. Akhirnya Ibu mau datang ke sini. Tapi dia bilang cuma sekali saja, ya. Lain kali ogah.”

Laras menghela napas panjang. Lelah sekali rasanya beradu pendapat dengan ibunya. Alasan dia membawa Rima observasi ke psikolog karena sudah putus asa. Semenjak dimutasi ke Jakarta dengan jabatan dan gaji yang lebih tinggi, Laras hidup terpisah dari sang ibu. Rima yang telah lama menjanda sejak ayah Laras meninggal akibat serangan jantung, tinggal sendirian di rumah kontrakan Semarang. Laras difasilitasi tinggal di apartemen dua kamar oleh perusahaan tempatnya bekerja. Dia berkali-kali mengajak Rima tinggal bersamanya di Jakarta, tapi selalu ditolak.

“Ibu tidak suka tinggal di apartemen, Ras. Tidak bisa menghirup udara segar setiap pagi, menyiram tanaman, dan repot setiap mau pergi harus naik-turun lift. Sudahlah, Ibu tinggal di Semarang saja. Meski rumah kontrakan, tapi sudah bertahun-tahun Ibu tinggal di sini. Malas kalau pindah-pindah lagi.”

“Tapi kalau Laras sudah bisa beli rumah sendiri di Jakarta, Ibu mau pindah, kan?” tanya sang putri penuh harap. Dia sangat menyayangi ibunya.

Mendengar pertanyaan sang putri, Rima tersenyum simpul. “Umurmu sudah tiga puluh lima tahun, Nak. Sampai kapan mau sendiri? Apa tidak terpikir mencari pasangan?”

“Ah, Ibu mesti ngelantur ke sana. Laras kan sudah bilang, mau fokus berkarir. Sudah ah, pokoknya kalau Laras sudah beli rumah sendiri di Jakarta, Ibu mesti ikut tinggal sama Laras.”

Lima tahun berlalu. Laras berhasil membeli rumah sendiri di ibukota. Meski selama lima tahun itu dia ngos-ngosan mengumpulkan uang karena ibunya sering meminta lebih dari jatah bulanan. Usut punya usut, ternyata uang itu bukan cuma dipakai Rima untuk kebutuhannya, tapi diberikan pada saudara-saudaranya yang mengaku hidup kekurangan.

Masalahnya tindakan Rima itu berlanjut terus-menerus sampai keterlaluan menurut Laras. Pakaian ibunya lusuh, makanannya sederhana sekali bahkan sering dimasukkan kulkas dan dipanasi terus-menerus, serta kesehatannya sama sekali tak diperhatikan. Suplemen dan vitamin yang dibelikan Laras sering tak diminum, malah diberikan pada orang lain yang dianggapnya lebih membutuhkan.

Setiap kali pulang ke Semarang, Laras selalu membawa kue-kue dan buah-buahan untuk ibunya. Tapi diam-diam Rima memberikannya pada sanak saudara. Laras pernah memergoki mereka datang pagi-pagi sekali dan hanya berdiri di luar rumah. Rima melarang masuk dengan alasan takut Laras terbangun.

Laras sempat mendengar ucapan terima kasih paman dan bibinya tersebut. Dia mengintip dari jendela kamar. Ternyata bukan hanya kantung kain besar berisi kue-kue dan buah-buahan yang diberikan Rima, melainkan juga uang kertas yang diselipkan langsung ke dalam tangan pamannya. Laras hanya bisa mengelus dada. Dia kemarin memberi ibunya uang lima ratus ribu rupiah. Entah berapa yang barusan diberikan Rima pada pamannya.

Kira-kira sejam setelah dua orang itu pergi, Laras keluar dari kamar. Dia pura-pura baru bangun. Dicarinya kue-kue yang dibawanya dari Jakarta. Ternyata cuma tinggal satu kotak. Dua kotak lainnya tak terlihat.

Laras membuka kulkas. Buah-buahan yang kemarin ditaruhnya di sana sekarang tinggal separuh. Perasaan kecewa hinggap dalam hati wanita berambut cepak itu. Ditanyakannya pada sang ibu kemana gerangan kue-kue dan buah-buahan tersebut.

“Oh, itu tadi tetangga-tetangga pada mampir mau ketemu kamu, Ras. Tapi kamu kan masih tidur. Jadinya mereka duduk-duduk di sini, ngobrol-ngobrol sama Ibu. Kue-kuemu Ibu hidangkan, Ras. Mereka tamu, toh. Tidak apa-apa, kan?”

Pandangan Laras nanar. Tak disangkanya wanita yang melahirkannya itu jadi pintar berbohong. Ekspresi wajah Rima tampak santai, seolah-olah tak merasa bersalah telah bersandiwara di depan anak kandungnya.

“Terus buah-buahan di kulkas kok tinggal separuh, Bu?” tanya Laras penuh selidik.

Senyum di wajah Rima merekah. “Tadi tetangga juga bawa anak-anaknya ke sini, Nak. Waktu mereka pulang Ibu memberi mereka bingkisan buah-buahan. Tidak apa-apa kan, Ras? Buat anak-anak, lho. Kan tidak ada salahnya bikin mereka senang.”

Laras tak berkata apa-apa lagi. Pedih hatinya mendengar sang ibu dengan lancar membohonginya. Apa ibunya lupa betapa paman dan bibi yang tadi datang itu tak pernah memperhatikan waktu  mereka susah dulu? Sepeninggal sang ayah, Laras harus bekerja keras demi menghidupi Rima dan dirinya sendiri. Tak ada sanak saudara yang membantu mereka. Sekarang setelah taraf hidup mereka meningkat, Rima kok malah dengan enaknya berbagi ini-itu dengan mereka?

Yang mengesalkan kalau ada pertemuan keluarga, saudara-saudara yang sering dibantu ibunya itu justu penampilannya lebih kinclong dibanding Rima. Kulitnya lebih terawat, pakaiannya lebih bagus, dan kelihatan sekali kalau ngobrol suka menjilat ibu Laras tersebut. Pernah beberapa kali Laras melihat ibunya diam-diam menyelipkan uang ke dalam genggaman mereka. Ah….

Kenangan-kenangan itu terasa menyakitkan bagi Laras. Dia sudah lelah menasihati ibunya agar tak dimanfaatkan orang lain. Tapi ada saja alasan Rima buat mengelak. Katanya saudara-saudara itu memang tidak mampu, bla-bla-bla.

“Kita kan dulu pernah hidup susah, Ras. Kalau sekarang sudah enak, tak ada salahnya kan, berbagi dengan orang yang membutuhkan?”

Laras tak sanggup mendebat ibunya. Lelah mendengar kebohongan-kebohongan yang dengan lancar mengalir dari mulut perempuan tua itu. Sepeninggal ayahnya, Laras pernah berjanji membahagiakan sang ibu. Jadi sebisa mungkin wanita itu menghindari perdebatan dengan Rima.

Dwi yang memahami kegalauan hati wanita di depannya kemudian berkata, “Ada cara yang bisa dilakukan Bu Laras demi menyelamatkan Bu Rima. Ini barangkali bukan opsi yang terbaik, tapi bisa dicoba.”

***

Rima kesal sekali. Dia terpaksa pindah ke rumah Laras di Jakarta. Putri tunggalnya itu berkata sudah tak mampu lagi membiayai rumah kontrakan di Semarang. Gajinya dipotong perusahaan karena perekonomian sedang lesu.

“Sudah untung Laras cuma dipotong gaji, Bu. Karyawan-karyawan lain banyak yang di-PHK karena omzet perusahaan menurun drastis. Laras juga tahu ibu sebenarnya lebih suka tinggal di Semarang. Tapi mau bagaimana lagi? Ibu kasihan kan, kalau Laras ngos-ngosan bayarin uang kontrakan rumah dan kebutuhan harian di Semarang?”

Rima terdiam. Dalam hati timbul perasaan bersalah kenapa dulu tak rajin menabung setiap menerima transferan uang berlimpah dari Laras. Uang itu habis dipakai buat kebutuhan sehari-hari plus bagi-bagi pada saudara-saudara yang membutuhkan. Kalau saja dulu dia menyisihkan sedikit demi sedikit buat ditabung, barangkali sekarang sudah terkumpul banyak dan bisa dipakai buat meneruskan kontrakan rumah di Semarang.

Ah, tapi dia bahagia setiap kali mengulurkan tangan pada saudara-saudaranya. Hatinya bersukacita mendengar ucapan terima kasih keluar dari mulut mereka. Dia merasa diperhatikan jika saudara-saudaranya mau meluangkan waktu ngobrol dengannya. Rima bisa mengangkat wajah dengan penuh percaya diri. Jauh berbeda dengan waktu ketika dia miskin dulu setelah suaminya meninggal dunia. Tak ada saudara yang suka bertemu dengannya karena takut dimintai bantuan. Setelah karir Laras meningkat dan mampu memberinya uang berlimpah, Rima seperti memperoleh harga dirinya kembali.

Ya sudahlah, kalau memang anakku kondisi keuangannya sedang tidak bagus. Tak apalah aku tinggal bersamanya, putus wanita tua itu dalam hati. Mungkin sudah cukup aku membantu saudara-saudaraku di Semarang. Sudah waktunya aku fokus pada kehidupanku sendiri dan Laras.

***

Hati Rima galau. Semenjak tinggal bersama Laras di ibukota, dia cuma diberi uang jajan alakadarnya setiap minggu. Putrinya beralasan semua kebutuhan Rima sudah dipenuhi olehnya, jadi buat apa pegang uang banyak-banyak. Cukuplah dua ratus lima puluh ribu seminggu buat jajan di minimarket, toko roti, dan kedai-kedai makan di komplek rumah. Kalau Rima butuh apa-apa, bisa minta Laras untuk dibelikan. Lagipula anaknya itu selalu membawanya jalan-jalan ke mal setiap hari Minggu.

Masalahnya Rima sudah terbiasa memegang uang banyak waktu tinggal sendirian di Semarang. Dia bebas memberi uang, makanan, dan minuman pada saudara-saudara yang membutuhkan. Memang sekarang dia tidak bertemu mereka lagi, tapi setiap kali berjalan-jalan keliling komplek dan melihat para petugas sekuriti yang berjaga di pos, tangan Rima gatal hendak memberikan uang atau sesuatu.

Kadang wanita tua yang hobi berjalan kaki di pagi hari itu juga melihat seorang ibu tua berkulit gelap dan berpakaian lusuh meminta-minta di komplek ruko depan perumahan. Hatinya tersentuh dan ingin sekali memberi bantuan. Akhirnya Rima membeli roti dan minuman di minimarket. Diberikannya pada orang itu, masih ditambahi lagi dengan selembar uang sepuluh ribuan. Ibu tua itu meringis sembari mengucapkan terima kasih. Hati Rima berbunga-bunga. Dia jadi sadar belum pernah sebahagia ini sejak pindah ke ibukota. Ini pertama kalinya dia membantu orang lain di Jakarta.

Rima memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke minimarket. Dia membeli beberapa roti dan minuman yang dimasukkan ke dalam beberapa kantung kresek. Pada kasir Rima meminta uang kembalian dalam bentuk beberapa lembar sepuluh ribuan. Tak lama kemudian Rima sudah keluar dari minimarket. Dia mau pulang.

Di sepanjang perjalanan ibu Laras itu melewati tiga pos sekuriti. Pos yang pertama dijaga satu orang petugas. Sambil tersenyum ramah, wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih itu memberikan sebuah kantung kresek berisi roti dan minuman. Petugas sekuriti yang masih muda tersebut mengucapkan terima kasih. Senyum Rima semakin merekah. Diulurkannya selembar uang sepuluh ribuan pada laki-laki itu. Ucapan terima kasih yang sekali lagi terucap membuat hati Rima bagai disiram air segar. Sejuk sekali.

Kemudian Rima melanjutkan perjalanan menuju rumah sang putri. Sesampainya di sana, tangan wanita itu sudah kosong. Roti-roti dan minuman-minuman sudah habis dibagi-bagikannya pada para petugas di setiap pos sekuriti yang ditemuinya. Rima lalu menghitung sisa uangnya. Masih ada seratus delapan puluh ribu. Ah, masih cukup buat dipakai jajan beberapa hari lagi.

***

Laras merasa tenang sejak sang ibu tinggal bersamanya di Jakarta. Rima sudah tidak boros lagi. Dia malah tak meminta tambahan uang jajan meski cuma diberi dua ratus lima puluh ribu seminggu. Setiap kali ditanya Laras, wanita itu selalu menjawab jatah uang jajannya cukup, tak perlu ditambahi lagi.

“Gajimu kan sudah dipotong perusahaan, Ras. Ibu tak mau memberatkanmu. Lagipula apa  yang Ibu butuhkan sudah tersedia semua di rumah.”

Sang putri lega sekali. Rupanya ide psikolog membawa sang ibu tinggal di Jakarta merupakan keputusan yang tepat. Laras bisa menghemat banyak dan mulai bisa menabung demi masa depan.

“Ibu betah tinggal di sini?” tanya wanita itu dengan sorot mata berseri-seri. Rima mengangguk.

Laras bahagia sekali. Dipeluknya sang ibu penuh kasih sayang. Rima senang sudah membuat putrinya bahagia.

***

Rima bingung. Uang jajannya habis. Padahal baru tiga hari yang lalu diberi Laras. Uang itu dibelikan makanan, minuman, dan mainan buat ibu tua peminta-minta yang biasa ditemuinya. Ibu itu sekarang suka membawa anak kecil. Kadang satu, kadang dua. Rima yang kasihan jadi membelikan makanan dan minuman lebih banyak. Juga uang, baju, mainan, dan es krim.

Padahal ibu Laras itu sedang ingin makan coklat kesukaannya. Sudah lama dia tak makan cemilan itu demi menjaga kesehatan. Tapi tadi di luar minimarket ada anak perempuan asyik ngemil coklat kesukaan Rima. Jadi terbit air liur ibu Laras itu melihatnya.

Wanita bertubuh pendek dan agak gemuk itu masuk ke dalam minimarket. Disusurinya lorong rak-rak yang menyediakan berbagai varian coklat. Ah, itu coklat kesukaannya lagi diskon. Wah, ini murah. Tapi dia tak punya uang. Bagaimana?

Rima menoleh kesana-kemari. Tak ada orang. Coklat sekecil ini kalau dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya takkan kentara. Ibu Laras itu berusaha bersikap tenang, padahal sebenarnya ketakutan sekali. Bagaimana kalau coklat ini tiba-tiba terjatuh dari saku celananya dan terlihat oleh karyawan minimarket? Akan memalukan sekali!

Bagaikan didukung alam semesta, Rima berhasil keluar minimarket dengan selamat. Dia menarik napas lega. Langkah kakinya dipercepat menuju jalan pulang. Sesampainya di rumah, Rima buru-buru masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Ini pertama kali dia mencuri. Perasaannya campur aduk tak karuan. Antara kuatir, takut, dan bangga karena tidak ketahuan.

“Hmm…. Enak sekali. Sudah lama aku tak makan coklat ini,” ucap Rima sembari menutup mata betul-betul merasakan kenikmatan cemilan kesukaannya.

Tiba-tiba mata itu terbuka. Keriput-keriput di sisi kanan dan kirinya tertarik ke atas. Rima menyeringai. Dia punya ide untuk tetap membantu orang lain tanpa meminta uang jajan tambahan pada putrinya.

***

Laras malu sekali. Dia mendapat pesan WA dari karyawati minimarket dekat rumah langganannya. Ada bukti rekaman CCTV ibunya tengah mengutil coklat, permen, dan minuman sachet ke dalam dua saku celana panjangnya. Rima tidak ditegur karena si karyawati tak mau membuat malu ibu Laras itu.

Dengan segera Laras mendatangi minimarket untuk meminta maaf sekaligus membayar barang-barang yang diambil ibunya. Lalu dia pulang dan menegur Rima sembari menunjukkan bukti rekaman CCTV saat ibunya itu tengah mengutil.

Rima syok. Dia terpaksa mengaku bahwa uang yang diberi Laras sering habis untuk dibagi-bagikannya pada orang-orang sekaligus membelikan ini-itu buat mereka. Rima jadi tak punya uang buat jajan. Dia terpaksa mengutil karena sungkan meminta uang tambahan pada Laras. Benda-benda yang diambilnya itupun tak jarang juga diberikannya pada orang lain karena uangnya sudah habis.

Laras kehilangan kesabaran. “Laras tidak mau tahu, Bu. Pokoknya Ibu akan Laras daftarkan untuk terapi rutin dengan psikolog. Ibu harus nurut. Tindakan Ibu ini sudah di luar nalar. Ibu sampai mencuri demi membantu orang-orang yang…ah, tak jelas sebenarnya butuh bantuan atau tidak.”

Rima diam saja, tak berani membantah putrinya. Dia sudah cukup malu ketahuan mencuri. Tapi sejujurnya dalam hati wanita tua itu tak terselip sedikitpun rasa bersalah. Bagi Rima mengutil beberapa barang di minimarket toh takkan membuat si pemilik bangkrut. Tapi kasihan sekali anak-anak terlantar yang untuk makan sehari-hari saja sampai harus mengemis di pinggir jalan.


TAMAT

Bagikan:

Penulis →

Sofia Grace

Sofia Grace adalah nama samaran Syanee Wibisono. Lahir di Surabaya, 11 Juli 1979. Cerpenis dan seorang Ibu rumah tangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *