Tumpeng Nasi Kuning




GARA-GARA melihat tayangan di infotainment yang mengabarkan seorang selebriti cantik merayakan ulang tahun dengan memotong tumpeng nasi kuning, Santi Merdekawati, gadis cilik berumur sebelas tahun, bermata belo, berdahi jinong, berkulit sawo matang, bergigi jarang, dan duduk di kelas lima sebuah sekolah dasar di pinggiran kota, merengek kepadanya ibunya, Mak Tumi. Santi minta dibuatkan tumpeng nasi kuning

“Tumpeng nasi kuning?” kening Mak Tumi mengerenyit, kelihatan semakin menua paras wajahnya, padahal usianya baru menginjak empat puluh puluh tahun.

“Iya, Mak. Seperti ultah Bella Cantika, nasi kuning dibikin tumpeng. Ada hiasan ayam goreng, perkedel, sambel goreng tempe, irisan telur dadar, dan abon.”

“Mengapa harus nasi kuning?”

“Pokoknya nasi kuning. Minggu depan aku ulang tahun dan harus dibikinin nasi kuning ya, Mak. Nasi kuning yang dibikin tumpeng dan ada abon, juga ayam gorengnya.”

“Iya, iya.”

“Mak tidak bohong?”

“Buat apa Mak bohong?”

“Benar ya. Mak bisa bikin nasi  kuning, kan?”

“Tentu saja bisa. Nanti Mak bikinin.”

“Hore Mak memang paling baik se dunia!” Santi Merdekawati menciumi ibunya. Mak   Tumi gelagapan tetapi senang. Sebagai ibu tidak ada hal yang menggembirakan selain bisa memenuhi keinginan si anak. Selama ini mereka hidup pas-pasan. Pekerjaan Suhud, si suami yang hanya tukang parkir tiada menentu. Apalagi si Suhud memiliki hobi merokok dan minum miras.

Entah sudah sudah berapa kali Mak Tumi menasihati, tapi percuma. Si Suhud keras kepala dan selalu berkilah bahwa uang yang digunakan untuk membeli rokok atau mendem adalah hasil jerih payahnya. Si Suhud tidak pernah berterus terang perihal pendapatannya. Mak Tumi hanya dijatah nafkah semaunya. Untung saja Mak Tumi masih kuat mbabu. Coba saja andai dia tidak bekerja, dari mana mendapat uang untuk membiayai Santi dan Santo, kedua anaknya. Si Suhud hanya separuh bertanggung jawab, padahal Santi dan Santo adalah darah dagingnya.

                                                           ***

Siang itu setelah selesai mencuci dan membersihkan rumah majikan, Mak Tumi mendatangi Mbak Rin, juru masak di rumah majikannya. Kalau Mak Tumi saban hari mencuci dan membersihkan rumah berlantai tiga, maka tugas Mbak Rin adalah sebagai koki, memasak apa saja kesukaan dan yang diinginkan si majikan.

“Bikin nasi kuning?” Kening Mbak Rin berkerut. Biar berekpresi begitu, dia masih terlihat cantik. Tubuhnya mungil tapi proporsional, kulitnya temu giring dan mulus. Usianya baru menginjak tiga puluh tahun, masih muda dan belum menikah juga. Mbak Rin pernah bilang ke Mak Tumi kalau dirinya pernah dikecewakan pacar semasa sekolah. Mungkin karena itu sampai sekarang Mbak Rin memilih menjomlo? “Mengapa tidak beli saja di warung dekat perumnas. Di situ ada yang jual nasi kuning enak lagi murah.”

“Bukan nasi kuning biasa. Tapi nasi kuning tumpeng.”

“Ya sama saja. Mak Tum harus masak nasi kuning dulu, baru kemudian dibikin tumpeng.”

“Aku ingin bikin saja. Apa resepnya dan bagaimana cara bikin nasi kuning, Mbak Rin?”

“Beras dicuci bersih dan tiriskan. Masukkan ke dalam panci. Kemudian panaskan wajan, masukkan santan, dan bumbu: ada bawang merah dan bawang putih iris, jahe iris, lengkuas, serai yang sudah digeprek, daun jeruk, daun salam. Jangan lupa beri garam secukupnya. Lalu beras diaron hingga setengah matang. Setelah itu nasi dikukus di dandang sampai tanak.”

“Untuk nasi supaya jadi kuning pakai apa?”

“Eh, iya, jangan lupa parutan kunyitnya. Kunyit diparut, dikasih air. Dan air perasan disaring, dicampurkan ke santan. Air kunyit inilah yang bikin warna kuning pada nasinya, makanya disebut nasi kuning.”

“Apakah membuat nasi kuning sulit?”

“Tidak. Mudah. Penting kau punya dandang.”

“Aduh, aku tak ada dandang di rumah.”

“Wah gimana ya. Nasi kuning kan ditanak di dandang. Eh, sehari-hari kau menanak nasi pakai mejikom, kan, Mak?”

“Iya.”

“Nah, kau bikin saja nasi kuning ala mejikom. Beras seperti biasa dicuci lalu dibumbui, kemudian seperti biasa, pencet tombol on tunggu sampai nasi matang.”

“Aku akan coba.”

“Oya, tumben kau bikin nasi kuning. Untuk siapa? Suamimu?”

“Anakku Santi ulang tahun, dan dia merengek dibikinin nasi kuning, eh tumpeng nasi kuning.”

“O, begitu. Baiklah, aku tinggal dulu. Sudah waktunya masak tim kakap merah pesanan Bos.”

Mbak Rin segera ke dapur yang luas dan menyiapkan bahan dan peralatan memasak. Sementara Mak Tumi kembali membersihkan rumah. Kali ini dia naik ke lantai tiga, mengepel lantai, membersihkan kamar satu persatu sampai kinclong.


***

Pagi itu Mak Tumi bangun seperti biasanya, sebelum waktu subuh. Bakda Sembahyang Subuh dia menyiapkan bumbu nasi kuning. Dia mengingat-ingat apa yang dikatakan Mbak Rin. Setelah berpikir, Mak Tumi memutuskan untuk membuat nasi kuning menggunakan dandang. Sebenarnya ingin menggunakan mejikom, tapi…

“Kang ada uang tidak?” Mak Tumi bertanya pada suaminya, Suhud yang sedang asyik ngopi, merokok, sambil main ponsel.

“Uangnya kan sudah kuberikan semalam,” ujar Suhud kesal.

“Bukan uang belanja. Ini uang untuk memperbaiki mejikom yang rusak. Lima puluh ribu saja, Kang. Nanti…”

“Boro-boro lima puluh, sepuluh ribu juga tidak ada. Duitku sudah kubelikan rokok. Mengapa tidak pakai uangmu dulu sih?!”

“Mana ada uang aku. Aku belum dikasih bos, Kang.”

“Ya, sudah. Tunggu ada uang baru memperbaiki mejikom.”

“Kalau mejikom rusak, bagaimana untuk nanak nasi hari ini, Kang? Anakmu Santi juga minta dibikinkan nasi kuning”

Alaah itu urusan perempuan. Cerewet banget sih. Aku capai sudah kerja semalaman. Aku mau santai.”

Suhud menenteng ponsel dan rokoknya ke luar dari rumah. Melenggang menuju pos ronda. Di sana ada beberapa anak muda yang asyik ngobrol, ngudud, dan ada juga yang minum.

***


Sesampai di rumah majikan, Mak Tumi bingung, saat Mbak Rin bertanya tentang nasi kuning. Mak Tumi berterus terang jika mejikom miliknya rusak. Mbak Rin meminjamkan sejumlah uang untuk memperbaiki mejikom. Mbak Rin menyarankan agar Mak Tumi membeli saja tumpeng nasi kuning untuk ulang tahun Santi.

“Daripada Mak repot mengapa tidak pesan saja nasi kuning?’

“Apa ada yang menerima pesanan tumpeng nasi kuning?”

“Banyak. Tinggal mau yang ukuran berapa.”

“Untuk ulang tahun Santi ya yang sedang saja. Kira-kira berapa harganya ya, Mbak Rin?”

“Mungkin 300 ribuan.”

“Wah, mahal, aku tidak punya uang segitu. Daripada buat nasi kuning mending untuk beli beras.”

“Tapi kasihan anakmu.”

“Seandainya mejikom tidak rusak, aku tidak bingung seperti sekarang.”

“Bagaimana kalau nasi kuning aku yang masakin. Mak Tumi tinggal belanja bahan. Nanti kalau duitnya kurang aku utangin.”

Mak Tumi menurut, dan Mbak Rin memenuhi janjinya, ketika siang itu dia membuatkan nasi kuning. Mak Tumi sangat riang, dan pulang menaiki bajaj dan membawa nasi kuning sehingga selamat sampai di rumah. Santi sangat suka nasi kuning bikinan Mbak Rin. Santo tak puas-puas memandang tumpeng nasi kuning. Santo ingin ketika ulang tahun nanti juga dibuatkan nasi kuning. Mak Tumi mengangguk, mengiyakan.


***


Tumpeng nasi kuning sudah siap dihidangkan. Nasi kuning yang beraroma wangi rempah dialasi tampah tampak indah di atas meja kayu bercat merah. Tumpeng nasi kuning yang berhias aneka lauk lezat, perkedel, orek tempe, dadar, abon, ayam goreng, wuih, rasanya pasti gurih. Santi dan Santo tak sabar ingin memakan tumpeng nasi kuning.

“Kapan nasi kuning dimakan, Mak?”

“Sebentar lagi menunggu bapakmu datang.”

“Kapan bapak datang, Mak?”

“Sebentar lagi pasti datang.”

Sepuluh menit, dua puluh menit, satu jam, tiga jam, yang ditunggu tidak juga datang. Sehingga Santi dan Santo tertidur dan tidak jadi memakan tumpeng nasi kuning. Sementara si Suhud, setelah usai bekerja parkir, dia tidak pulang, malah menginap di kosan pacar gelapnya yang tidak lain adalah Mbak Rin.


***


Kota Ukir, September 2024

Bagikan:

Penulis →

Kartika Catur Pelita

Menulis prosa dan puisi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Tulisannya dimuat di puluhan media cetak dan lokal, di antaranya:  Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Jawa Pos, Nova, Kartini, Kompas, Media Indonesia, Soeara Moeria.com, Ayobandung.com, Bangka Pos, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Basis, Panjebar Semangat, Jayabaya, dan Djaka Lodang. Memenangi Sayembara Menulis Cerita Rakyat, PAUD, Kemendikbud, 2016; Sayembara Nulis dari Rumah, Kemenparekraf, 2020, Sayembara Menulis Cerpen ‘Nongkrong.id’, 2021; Sayembara Novela,  ‘Basabasi’ 2023. 

Founder komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Bukunya yang terbit: Perjaka, Balada Orang-Orang Tercinta, Perempuan yang Ngidam Buah Nangka, Karimunjawa Love Story, Baju Boneka Kain Perca, Kembang Randu. Kunang-kunang di Pelupuk Mata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *