Setengah bulan yang lalu aku disambut baik oleh warga setempat di lembah kendeng, desa yang ditutup oleh bukit kendeng, tempat pabrik semen itu beberapa bulan yang lalu mulai beroperasi menggeruk batu kapur dari tubuhnya. Magrib mulai samar-samar, karena cahaya lampu di arah barat bukan lagi cahaya dari mentari yang turun di ufuk Barat, tapi cahaya lampu pabrik yang menyala di malam hari. Jadi, cahaya magrib tampak sepanjang malam, terlihat dari lembah kendeng.
Tak banyak yang tahu bagaimana kehidupan orang lembah kendeng, karena daerahnya memang jauh dari desa-desa maju lainya. Apalagi bukit kendeng seperti pagar tinggi yang menghalangi pandangan seseorang pada desa terpencil ini. Pak Mudin yang bersamaku saat ini bercerita jika Desa mereka memang masih tertinggal. Apalagi persoalan pendidikan, terutama pendidikan keagamaan.
“Pemuda yang saya kader semuanya pada keluar dari desa ini kok, Mas. Makanya di sini sepi. Pelajaran agama geh ngene iki. Hanya belajar membaca al-Qur’an, itu pun tidak fasih.” Cerita Pak Mudin kepada saya dan teman-teman yang duduk bersila di hadapannya. Pak Mudin adalah seorang santri Alumni Lasem. Dia salah tokoh agama yang disegani di desa ini.
“Iya, mereka antusias lho, Pak.”
“Sesuatu yang baru bagi seseorang memang asyik. Saya saja mendengar puji-pujian apik seperti tadi di loudspeaker, yang asalnya capek sepulang dari ladang, menjadi semangat.” Katanya. Wajahnya nampak benar-benar bahagia. “Teringat masa lalu ketika di pondok, Mas.” Lanjut Pak Mudin.
“Saya lihat ada satu anak yang rajin dan pintar di sini, Pak.”
“Siapa?”
“Si Didik itu.”
“Owh yang sering adzan itu?”
“Iya.”
“Dia sebenarnya asalnya ngaji di Musollah di sebelah Barat sana, Mas. Dia orangnya rajin memang. Kesayangan Pak Mar.”
“Maksudnya sekarang pindah?” Celetuk teman saya.
“Iya.” Pak Mudin melepaskan pandangan ke luar masjid. Seakan ada sesuatu yang masih disimpan.
“Lho kok bisa?” Aku penasaran.
“Ceritanya panjang.” Jawab Pak Mudin pendek.
Aku tidak bisa menelusuri alur ceritanya lagi dari Pak Mudin malam ini, sepertinya dia tidak ingin bercerita apa-apa. Yang kutahu, Musollah itu sekarang memang sepi. Tak ada adzan dan kegiatan apapun.
Anjing milik warga mulai menggonggong sedang menyapa anjing-anjing yang lain untuk segera waspada jika ada orang berjalan tengah malam. Warga di lembah kendeng ini masih menggunakan anjing sebgai satpam rumah. Sebentar lagi akan beranjak pukul sembilan malam, warga akan menutup pintu untuk segera tidur.
Pak Mudin pamitan. Aku dan teman-teman juga segera pulang ke pondokan. Malam hari, tidak baik masih ada di luar rumah di desa ini. Seperti suatu hal yang asing.
Aku pulang sembari berpikir kenapa Didik sampai pindah dari Musollah ke Masjid. Apa karena kemauannya sendiri atau faktor lain.
“Aku mendengar dari Ibu Fatimah katanya persoalan pemilihan kepala desa.” Di tengah perjalanan Joko, temanku yang asli Jawa itu tiba-tiba nyeletuk, memberi tahu.
“Ibu Fatimah Ketua Forum Anak Desa itu?”
“Iya.”
“Kau lihat TPQ di sebelah utara pondokan kita itu. Mati tak dipakai kan?”
Aku tidak menjawab. Tapi Joko sudah tahu jika aku mengiyakan karena semua teman-temanku sudah tahu perihal itu. TPQ pindah ke Musollah dukuh atas.
“Memang tidak di mana-mana, persoalan pemilihan kepala desa membuat beberapa warga jadi saling berselisih.” Pungkasku, sebelum kami masuk ke pondokan.
“Tapi ya, paling nanti reda sendiri.”
Percakapan pun ditutup. Malam mulai mencekam. Gongongan anjing beberapa kali terdengar di dekat pondokanku.
***
“Aku punya ide.” Kataku pada Joko. Joko yang bermain Handphone berlagak tak memperhatikanku. Dia mungkin sudah mengerti apa yang akan aku bicarakan. “Ajak Didik untuk kembali ke Musollah.”
Joko terperanjat. “Bukan hanya persoalan Didik. Orang tuanya juga terlibat di dalamnya.”
“Jika Didik kembali ke tempat semula apa yang akan terjadi coba?”
“Aku tahu.”
“Lantas?”
“Persoalan itu tidak bisa diselesaikan secara singkat.”
“Tapi aku tidak ingin Didik ikut menjadi korban.”
Tak ada kesepakatan antara aku dan Joko. Aku pun memutuskan pergi ke rumah Didik. Ingin mengajaknya datang ke musollah Pak Mar.
Pagi ini, aku tergerak untuk beranjak dari pondokan. Dalam hati, aku ingin pergi ke rumah Didik saja, membujuknya agar nanti pergi ke Musollah bersama-sama. Iya. Aku pun berangkat ke rumah Didik. Kebetulan hari Minggu adalah hari libur SD. Didik pasti ada di rumah. Aku mengambil motor dan segera pergi.
Tak lama, aku sampai di depan rumah Didik yang berpagar besi. Didik termasuk orang berada di antara warga yang masih mempunyai rumah kuno berdinding kayu jati. Rumahnya besar. Orang tuanya termasuk disegani. Namun persoalan pelik tentang kepala desa membuat Bapaknya hilang kepercayaan dari sebagian warga yang tidak satu pendapat dengannya.
Aku mengucapkan salam. Keluarlah seseorang dari dalam. Ibu Didik.
“Eh, mari masuk.”
“Njeh, Buk.”
Aku masuk ke rumah yang megah itu. Dalam artian lebih bagus dari rumah kebanyakan. Ada ruang tamu yang nyaman dan Vas bunga indah di sudut ruangan.
“Tumben sekali main ke sini.”
“Iya. Dari kemaren belum sempat, karena kami sibuk merancang kegiatan.”
“Jenengan Sudah kenal Didik, kan?”
“Kenal sekali. Dia anak yang paling pintar di desa ini.”
“Oh ya?”
“Iya, Buk. Saya paham sekali dengan karakter Didik dari awal mengajarinya mengaji di Masjid.”
“Dia baru-baru ini sebenarnya di masjid.”
Ibu Didik mulai membuka percakapan. Aku ingin memancing lebih dalam lagi persoalan yang sebenarnya.
“Maksudnya, pindah?”
“He’eh.” Jawabnya.
“Asalnya ngaji di mana?”
“Di musollah Pak Mar.”
“Berarti Didik pintar karena hasil Pak Mar.”
“Pak Mar itu sekarang bukan gurunya lagi. Dia tidak sepemikiran dengan kami.”
“Apakah Didik setuju dia berpindah guru?”
“Entah.”
“Pernah bertanya sebelumnya?”
“Tidak. Tidak pernah.”
Aku diam dulu, sebelum melontarkan pertanyaan yang dapat merusak kehangatan. Sepertinya Ibu Didik tidak ingin diintrogasi lagi. Aku membuka toples yang berisi jajan. Membiarkan Ibu Didik meleburkan panas dingin yang seperti hendak tumpah. Ingatannya beberapa waktu yang lalu tentang pertikaian pendapat seperti hendak muncul kembali.
“Boleh aku ajak Didik pergi ke musollah nanti magrib, Buk?”
“Ke musollah?”
“Ya, ke musollah. Mungkin Didik rindu ke sana.”
Ibu Didik tertegun sejenak. “Ya, boleh boleh saja.”
Aku tidak melihat dia sedang marah. Tapi ekspresinya dingin sekali. Didik lalu datang membawa jagung bakar di tangannya. Dia datang dan bersalaman denganku. Didik adalah kanak-kanak yang mempunyai sifat dewasa. Tidak banyak berkata-kata. Aku yakin dia mampu berpikir kenapa dia harus mengaji di masjid bukan di musollah tempat asalnya dia mengaji kepada Pak Mar.
Didik duduk di sebelahku mengeluarkan jagung bakar. “Kakak suka jagung bakar?”
“Iya.” Ucapku. Aku mengambil separuh lalu memakannya untuk menyenangkan hati Didik.
“Malam ini ikut Kakak ya?”
“Ke mana?”
“Ke musollah Pak Mar,” jawabku. “Sebelum magrib kita berangkat.”
Dia mengalihkan pandangan ke arah ibunya. Aku juga ikut meliriknya. Ibunya tersenyum dengan terpaksa. Dia pun mengangguk meski sebenarnya tidak mengizinkan.
Dendam masih nampak di wajah Ibu Didik. Matanya dingin menatapku. Aku pun merasakan ketakutan, takut disangka mengalihkan perhatian kepadanya. Tapi aku lihat Didik sangat antusias hendak pergi denganku. Dia memakai pakaian dengan antusias serta membawa al-Qur’an di tangannya. Seolah ada rindu kepada Pak Mar yang sejak kecil sudah mendidiknya.
“Sudah siap?”
“Siap, Kak.”
“Buk, kami pamit,” ucapku pamitan pada ibunya Didik. Tak kulihat Bapaknya. Kata Ibunya dia sedang ada di ladang mencabut singkong. Petang nanti, baru dia akan kembali ke rumah.
Aku menggandeng tangan Didik. Segera beranjak untuk pergi ke musollah.
Saat ini sangat menggetarkan bagiku. Karena aku bisa merasakan ketegangan sebelumnya. Jantung berdegup kencang. Aku berjalan menuju arah musollah rasanya seperti terbang. Aku seakan tak merasakan sedang melangkah di tanah.
Berbeda dengan Didik yang santai-santai saja. Dia masih kanak-kanak. Tak tahu apa-apa, meskipun secara pemikiran dia sudah bisa membedakan mana yang baik untuk dirinya dan yang tidak.
Beberapa saat aku sudah sampai di musollah kecil yang tak bercat itu. Sebuah gedung berwarna abu-abu yang hanya dilapisi dengan semen. Aku naik. Lampu belum dihidupkan. Aku bertanya dalam hati, ke mana Pak Mar.
“Dua menit lagi adzan ya,” perintahku kepada Didik yang masih menyapu lantai di teras depan.
Beberapa saat kemudian, seseorang datang kepadaku di musollah. “Sebaiknya kau pergi dari sini. Biarkan Didik pulang. Aku lihat Bapaknya tadi mencarinya.”
Aku tak menghiraukan itu. Paling hanya orang yang tidak suka juga pada Pak Mar. Dia mencoba menakut-nakutiku. Aku berdiri di beranda musollah. Menunggu ada yang datang. Pak Mar pun belum keluar. Dua menit berlalu. Matahari sempurna tenggelam. Aku menyuruh Didik segera adzan. Suara seruak dari loudspeaker ketika tombol on dipencet terdengar. Aku melihat tetangga musollah celingukan di ambang pintu mereka. Mereka bingung siapa yang sedang menghidupkan loudspeaker musollah. Takbir pertama dikumandangkan. Pak Mar keluar. Memandangku dengan nanar. Wajahnya dingin. Namun matanya aku lihat dia sedang heran mendengar adzan itu berkumandang.
Allahu akbar allahu akbar
Asyhadu an laa ilaaha illallaah
Pak Mar menatapku dengan lekat. Aku lihat mulutnya berkomat-kamit menjawab adzan dari suara merdu Didik. Pak Mar Masih tertegun di depan pintu. Seakan tak percaya musollah yang dia asuh sedang berkumandang adzan maghrib. Aku membiarkan dia menikmati suara adzan itu. Pasti dia sudah lama tidak mendengarnya.
Tak lama, setelah adzan itu selesai. Dia pun masuk dan keluar dengan pakaian rapi. Menggunakan baju putih, sarung kotak, dan kopiah haji. Dia nampak bersahaja. Orang-orang semua keluar rumah mendengar adzan yang sudah lama tak didengar dari musollah itu. Beberapa Ibu-Ibu dan Bapak datang. Musollah mulai hidup.
Aku berjabat tangan dengan Pak Mar. Tangannya masih kuat. Walaupun wajahnya mulai nampak tua.
“Sehat, Pak Mar?”
“Alhamdulillah….”
Tak sempat Pak Mar menjawab ketika terdengar teriakan lantang dari arah Timur. Bapak Didik tampak membawa arit yang diacungkan ke atas langit. “Siapa yang membawa anakku ke Pak Mar tanpa izin dariku?” Suaranya menggelegar.
Aku mulai ketakutan. Bayanganku dia akan menyabet leherku nanti. Tapi aku mencoba tenang. Dia pun mendekat, tanpa izin atau kode, dia dengan cepat mengayunkan aritnya ke arahku. Aku menghindar. “Kau jangan ikut campur dengan persoalan kami.” Ucapnya.
Bapak Didik kemudian mengayunkan sekali lagi aritnya itu. Tak sampai aku menghindar, Pak Mar memegang tangannya. “Dia tak punya urusan denganmu. Urusanmu denganku.” Pak Mar yang sedari tadi diam bersuara tak kalah sangarnya.
Bapak Didik mengalihkan serangan. Dia menyerang Pak Mar. Orang di dalam rumah ikut keluar setelah mendengar pertikaian itu. Pak Mar berusaha menghindari sabetan arit bapak Didik. Perempuan yang melihat pertarungan ini berteriak-teriak. Bapak Didik masih terus mengayunkan aritnya. Pak Mar terpojok. Bapak Didik makin bernafsu. Satu sabetan akan membelah perutnya.
“Bapak!” Didik muncul tiba-tiba, berteriak kencang hendak menghadang bapaknya. Bapaknya mengurungkan sabetan itu.
“Bapak, Pak Mar adalah guruku.”
Aku lihat arit itu bergetar di tangan bapak Didik sesaat Didik menghambur memeluk bapaknya.
Rembang, 2019