Meretas Beribu Tahun Jarak

Maulid

Ada yang tak pernah habis ditafsir
atas sebuah kelahiran
putra dari bani Hasyim

Aminah, sayyidah yang disetiakan
bagi Abdullah
perempuan yang diliputi marwah

Muhammad… Muhammad
di hari pemberian nama
Abdul Muthalib yang termashur mengangkat
sang bayi dengan sepasang tangannya*

Kelak, hingga beribu tahun jarak
umatmu terus merayakan
kelahiranmu ya Rasul
maka selawat dan salam

Masuk lewat bibir kami, tenggorokan
pembuluh darah, berkumpul
di jantung membentuk simpul
tak terputus

aamiin

Ampenan, Maulud 1441 H

*Sebuah adegan dalam film Muhammad: The Messenger of God karya Majid Majidi





Menyebut Tentang Laut

1/
Tuhan yang pemurah menjadikanmu sebentuk wadah
menampung bergulung-gulung air
juga gelombang pasang yang sanggup meraup pesisir

langit riang berkaca padamu
maka teranglah biru merupa mata
perempuan-perempuan terdahulu

jemarimu ombak lentur melepas riak
meretas beribu tahun jarak
lembar-lembar kitab ke musim-musim
semenjak tubuhmu terbelah tongkat sebilah

seorang mustakim

2/
Adalah pagi yang menumbuhkan nyanyian
selepas subuh kau deburkan
sementara ikan, kerang-kerang bergelung
menetaskan liur dalam palung

dan senja seumpama seseorang
mencari dan menemukan
jejak pada pasir yang kau tinggalkan

sebelum ombak membuatnya kembali tak ada

adalah malam pemilik wujud genap
gelap dan senyap
bintang menjatuhimu sekejap kerlap

maka darimu angin lepas
menyusur takzim ke banyak tingkap

sekudus selawat, menembus liang-liang lahat

Ampenan, 2019




Kemiri

dalam hidupmu apa yang lebih berat
melampaui segenap hasrat
selain perkawinan

gelar isteri akhirnya kau sandang
sekaligus menantu
di mana bahagia dan sedih berlepasan
dari pintu rumah ibu bapakmu

demi resap menu di meja makan
teguh kau berdiri berdamping
pundak ibu suamimu

menyerap bagaimana mahir tangannya
mengurai rahasia demi rahasia bumbu

bahwa untuk tiga ikat pakis
haruslah digenapkan; garam, cabai, bawang
tomat, lengkuas, kemiri juga terasi
dan gerak ulekanmu haruslah selentur
panggilanmu kepada suami

Ampenan, 2019




Kunyit

aku ingin sendiri, dilupakan
berpasang-pasang tangan

rebahkan tubuhku dalam pot tanah
berbibir rumpang hingga leher itu
di sisi utara dapurmu

agar cukup bagiku
kering matahari
basah air cucian berasmu

padamu kubalaskan kebaikan
bertunas segar, meninggi
menghijaukan batinmu saban pagi

kelak jika harinya sampai
kukuningkan kuahmu di kuali tanah itu
bersama potongan daging dan kentang
seempuk umbi matang

obat penyembuh anakmu;
busung, demam, tifus dan radang

Ampenan, 2019




Ruwat

ketika kau masih mewujud janin
bersemayam dalam Rahim
terbacalah oleh leluhurmu segurat tanda
kelak kau terlahir sebagai anak sukerta

“harus kau jalani ruwat

agar segala hendak menapak selamat.”

petuah-petuah menggantang, memalang pintu rumah
para leluhur tengadah, menangkis tulah
segala ubo rampen- sesajen kuncen
awak dalang awak sinden

lalu kelir mengembang
bertarunglah para wayang

“yang datang cepatlah pulang
yang datang cepatlah pulang
jangan kalian usik diri kami
yang dijaga para danyang.”

2019




Julung Ambung

ia lahir sebelum lunas waktu dhuha
waktu gaib dari seluruh yang gaib
saat segala kuntum pecah
menguarkan inti aroma

“jangan kau ambil jantungnya
hiruplah secukupnya
hanya wanginya

hanya bau tubuhnya…”

kau, yang datang dari rimba
berpalinglah kembali ke rimba

“penuhi tubuhmu dengan getah
damar, cendana, atau kamboja
atau getah wangi lainnya…”

biarkan ia tumbuh dengan sembada
menuntas laku putih kelam pedih sabda
hingga kelak ia berpulang
melepaskan akar sari segala aroma
yang menyertainya

*julung ambung; anak yang lahir bersamaan matahari terbit dalam mitologi jawa

2019




Memandang Sedih Pada Jalan

seperti daun-daun kering berkumpul
oleh sapu lalu dibakar
kita pandang sampai padam
tertinggal darinya
berjumput-jumput abu

kita berbalik memandang pada jalan
panjang amarah, iring-iringan
anak-anak belum terpercik dosa
dalam gendongan para ibu
paras yang kehilangan sari wudhu

Mataram, 2019




Gagak Hitam

gagak hitam
terbang hinggap terbang
mengincar pijakan/pucuk iman

Mataram, 2019



Bagikan:

Penulis →

Lailatul Kiptiyah

Lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur. Puisi-puisinya disiarkan di berbagai media nasional maupun lokal juga tergabung ke dalam antologi-antologi bersama. Pernah lama bekerja di Jakarta. Sejak tahun 2014 hingga sekarang  menetap di Mataram, turut menjadi bagian keluarga di komunitas Akarpohon Mataram-NTB

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *