Nyanyian-nyanyian Luka
suara paling merdu
tangis para suami, tinggal dalam mimpi buruknya.
kehidupan adalah permata mencebur lembah lumpur
tanpa ikan, kecuali tulang-tulang kematian.
dengarlah nyanyian-nyanyian luka
keluar dari dapur ibu dan nenek kita
tinggal air mata, dan raut sedih-duka
siapa negara bagi yang lapar?
siapa bangsa bagi yang melarat?
siapa merdeka bagi yang terperangkap?
siapa mereka semua bagi keluarga kita?
saudara? teman?
kekasih?
atau
daging yang dibiarkan membusuk?
kita perlu bertanya pada bendera
berkibar di depan rumah dan pinggi jalan:
“darah siapa yang tumpah di kain
Presiden? Menteri?
dan
Dewan?
hingga tergantung di tempat penjemuran
dan angin menerbangkannya
seperti layangan merah anak kecil
yang punah”
dengarlah nyanyian-nyanyian luka
petani. terpisah dengan sawah dan bibit
tanam mereka
tinggal sejarah hijau sawah
dan musim panen
tinggal nama
siapa milik tanah air?
dan negeri?
dan bangsa?
kalau bukan mobil-mobil dan pemiliknya
tak mungkin para kuli yang menjemur diri
demi anak istri
tak mungkin tukang becak yang tidur
saat penumpang sepi
tak mungkin pencari rongsokan yang sibuk
dengan botol plastik dan kardus bekas sampah toko China
tak mungkin!
jika sesuap nasi adalah buah apel kerajaan
rakyat adalah sebenar-benarnya semut
memburu, meski sisa kemarin
dengan rapal mantra:
“kepala negara, adalah buldoser yang mendorong ke jurang
tumpukan rumah tergusur dan tempat maut para busung.”
Probolinggo, Agustus 2019
Puisi Tanpa Kehidupan
——kepada penyair romantisme
bagaimana mungkin
seorang ibu menyusui bayi
sangsi hutan terlalap
tanah dan binatang musnah?
bagaimana mungkin
redaktur koran, majalah akan sadar?
jika para penyair hanya bercerita: cinta
[dilema dan mabuk asmara]
sedang guru-guru sastra hanya bahas abjad-abjad sementara
lepas dari derita pekerja dan kaum gelandangan
[sampai tumbuh lelumut campak].
bagaimana mungkin
m e r e k a
terselamatkan?
di Atas Kapal, Agustus 2019
Kesaksian Pujangga
aku lihat air tawar: danau, sungai, rawa,
kotor jadi limbah selokan kumuh-bau
menyusup rumah ikan-ikan dan membunuhnya.
hutan terlalap
hilang dari sarang burung-burung.
matahari menebas kulit para petani
sedang para pemuda dan petua berkemeja
di sebelah sana, mengintip gerombolan pelacur
telanjang ganti pakaian.
lima puluh tahun lagi,
terjadi sekarang, hotel jadi rumah tua
pertemuan hantu-hantu kesepian
dan mobil parkir di bawah lampu jalan mati,
anggap kamar baru
[cinta memulai madu kasih tanpa kemanusian]
bertirai kaca hitam.
lalu bagaimana, dengan pabrik-pabrik menjinjit
pundak mesin-mesinnya?
sedang puisi dan nada-nada gitar marah
bungkam terhalang toko dan bangunan tinggi lain.
nenek kita menatap dari atas puncak gunung yang hilang
dan para dewa haus tak bisa minum air laut
tercemar. segala sampah dan bangkai
tangan tanpa tanggung jawab.
lihat! di atas batu besar itu
seorang penyair melukis wajah cantik
tubuh perempuan
dan di belakangnya anak-anak kelaparan
tak terjamah oleh kata-katanya.
[jika mutiara tak disodorkan kepada mereka. lalu apa
yang ‘kan disajikan; kalau bukan racun dan kematian.]
tujuh hari ‘kan jadi pesta orang-orang munafik
sambil merapalkan doa palsu.
dan piring dan gelas dan sendok dan garpu
kotor. menyerupai hati mereka.
Dan
AKU INGIN BERBICARA :
“wahai para guru-guru, sentuh hati para murid dengan lembut dan kasih sayang. jangan bakar bulu kulit mereka, dengan api yang dibawa dari rumah penuh dendam. ketuk pintu mulut agar terbuka, dan jendela telinga agar mendengar kata-kata yang tak tenggelam dalam caci dan maki kehidupan.”
jangan tunggu dandang memasak beras
di atas tungku janji para partai. sebut dan anggap komplotan
itu sebatas
musik para pemula.
jangan dengarkan!
lagu-lagunya tak ada yang bagus. tapi kalau mau telinganya rusak,
jantungnya rusak, perutnya rusak, mulutnya rusak, matanya rusak,
ya silakan!
namun
KALIAN PERLU DENGARKAN NASIHAT INI:
“mereka belum bisa menciptakan lagu bagus dan baik, ternikmati semua kalangan — bahkan tersebar sepanjang masa. mereka hanya bisa menciptakan lagu penghibur khusus presiden yang sudah berganti-ganti, namun tak bisa selesaikan masalah dalam negara. mereka hanya bisa itu. mereka hanya tahu itu. mereka hanyacukup di situ.
terlepas dari derita para rakyat.”
tunggulah! seorang pujangga ‘kan segera tiba
sayat hati manusia terkutuk
sibuk dengan jabatan dan pangkat-pangkat
bertangga di atas pundak dan dadanya.
‘kan dimusnah
‘kan dikejar
sebagaimana elang memburu sepasang merpati
di langit sampai tercabik
terdekap jari-jari kakinya.
paruh yang tajam ‘kan terus menyelami
daging segar mangsa
meski dari tiap penjuru mata angin
unjung senapan mengintai.
ia ‘kan tetap mencabik—mencabik—mencabik
sampai tinggal tulang
terbuang, termakan anjing milik petapa suci
turun dari Goa Munara.
Probolinggo, Agustus 2019
Lapar
aku lapar. jika makan
adakah nasi di dapur?
sepiring nasi bungkus
lebih berharga ketimbang
menunggu
menunggu
menunggu
janjimu
sekotak roti berjamur
lebih berarti ketimbang
jagung dan padi yang
kau tanam
kau tanam
kau tanam
di mimpi itu
daun-daun bunga bakung
terbakar api, makan tangkai dan akar
madu hilang dari putik
kuntum gugur belum mekar
angin dan lebah pulang ke negeri dongeng
tempat surga: taman mahluk tanpa dosa
dan petinggi-petinggi yang kelola perusahaan
sedang biarkan mereka terjebak dalam jurang kelaparan
tanpa tuang segar susu
dalam kering tenggorokan dan dahak
terus menendang, ingin muntah di lubang
hidung, tempat bau busuk tersedot
dan tersaring oleh bulu lebat
hitam, tiap dinding goa sengsara
jadi kalong gantung dalam gelap
jabatan, dan bawa terbang rasa sakit
ke puncak langit, ketika istana runtuh-rata
dengan gubuk-gubuk yang digusur di pinggiran Sungai Ciliwung
nyatu dengan tanah darah
luka. Menjerit
demi lahan—demi uang—dan—demi jabatan
dipertahankan di atas penderitaan rakyat
aku lapar. mereka pun lapar.
jika makan, adakah nasi di dapur?
dan sejulur tangan kepala negara?
Bali, Gianyar, Agustus 2019
Tangis Sungai
jika air mengalir adalah impian
jangan salahkan ikan mata beling,
biawak beranak,
dan telur-telur katak
menolak pasir kering
janda dan bunga desa
harus ‘tap bermain di atas batu sungai basah
dengan tawa suara merdu
di balik air terjun dan rongkang
persembunyian.
jangan hilang pada musim kemarau panjang
rumput dan lalang mati
sebelum angin bergibas kencang
tabrak daun dan ranting kayu.
sungai akan sepi
tinggal lumpur jadi tanah
tinggal tulang jadi makan rayap
tinggal tangis dan mimpi yang hangus.
hujan datang sekejap.
permisi pada bangkai-bangkai
geletak di atas batu gersang
berselimut daun gugur
‘nanti musim baru lahir
setelah kematian.
siapa yang seharusnya menjadi air?
jika bumi (tanah air) mulai
membunuh di kekeringan.
Probolinggo, Agustus 2019
Catatan Terakhir Pertemuan
—— Zainal Hakim
tamu akan pulang ke rumahnya
mengutuk pertemuan dengan perpisahan
karena yang datang akan pergi
dan yang hidup akan mati.
sedang di sebelah sana
tanah kuburan
memintamu
terpenjar
dalam
kematian.
tenanglah….
tenanglah….
jangan kau rindukan
tempat bunga-bunga tumbuh.
diam abadi
dalam rencana;
Tuhan dan malaikat.
salah terhormat
kepada pertemuan yang mengajari ikhlas
dalam menyikapi perpisahan.
Probolinggo, 2016
Cerita Lama
—— kepada B. B.
peran orang tua adalah nasihat nabi kedua
membunuh semak duri tumbuh dalam rumah.
kelahiran penentu siapa yang dipelihara!
malaikat dan iblis diskusikan diri
menjadi siapa?
jika siang menutup mata. biarkan!
jika malam keliru berbuat. benarkan!
jangan menagih janji yang sudah
rampuh dan mati
rawat tiap bunga lalang
biar rumput tumbuh di halaman
petik bunga mekar
jangan tebang sebelum usia!
biar sepiring nasi mengisi
perut kosong anak-anak
dan segelas air putih hapus
kemarau dalam tenggorokannya.
kehidupan akan lahir dari kedua telinga
dengan tangis ibu dan bapak
bukan meminta keringat otot-otot batu
kembali, bertukar air tebu.
kepada mereka janin harus percaya
orang tua adalah nabi kedua.
di Atas Kapal, Agustus 2019