Cinta mereka terhalang tembok pembatas. Pesantren sengaja membuat tembok tinggi-tinggi agar santri dan santriwati tak kumpul seperti kerbau. Sehingga, mereka tak punya kesempatan menjalin asmara dengan lawan jenis. Mereka kerap dikasih makan ilmu, namun dibiarkan dahaga akan cinta. Oh, sungguh malang nasib mereka.
Namun ketahuilah—seperti kebanyakan orang—di mana ada peraturan, di situlah para pelanggar merajalela, tak terkecuali di pesantren. Sebut saja mereka Solmat dan Solmet, di tengah malam yang kelam mereka berjalan mengendap-endap. Mereka berjalan cukup pelan, sehingga tak menimbulkan bunyi yang biasa tercipta dari gesekan sepasang sandal jepit. Pupil mata mereka tak henti-henti mengerling waspada, takut-takut ada saksi mata atau malah ustaz-ustaz memergoki.
Mereka tak peduli pada angin malam yang berembus dingin. Mereka juga tak peduli pada kenakalan angin yang kerap menyingkap sarung-sarung mereka. Mereka tetap berjalan, dan pintu yang sedari tadi terbayang di kepala mereka, kini telah di depan mata. Mereka senang bukan alang kepalang, hanya saja perihal senang ia ciptakan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.
Ini bukan kali pertama mereka mengendap-endap pergi ke pintu itu. Pintu itu telah menjadi penyelamat bagi mereka yang telah dahaga akan cinta. Pintu itu adalah penghubung asmara seorang santri pada santriwati. Dengan pintu itulah, para santri dapat mengirim kata-kata rayuan yang sudah tertulis dalam bentuk surat. Dan dengan pintu itu pula, para santriwati dapat membalas surat-surat sang pujaan hati.
Pintu itu memiliki cela, ada lubang kecil memanjang di bawah pintu itu. Di lubang kecil itulah, para santri menyelipkan surat dan santriwati membalas surat. Mereka sangat beruntung, sebab pintu itu dekat dengan kamar-kamar para santriwati. Sehingga, para santriwati tak harus jauh-jauh mengambil surat beramplop merah muda itu. Ah, ada-ada saja sepasang darah muda itu.
“Cepat, selipkan,” bisik Solmat pada Solmet.
Solmet pun dengan tangkas mengambil beberapa surat yang tersembunyi di balik songkok hitamnya. Satu per satu surat itu masuk ke dalam lubang kecil di bawah pintu. Tak berselang lama, santriwati memberi kode dengan ketukan kecil pada pintu. Ketukan itu adalah sinyal bahwa santriwati telah menerima surat-surat itu. Yes, misi mereka berhasil.
Sebenarnya mereka ingin berlama-lama di pintu itu, bercakap-cakap lirih dengan para santriwati. Namun, tetiba seekor cecak merayap di dinding, lantas mengeluarkan bunyi, “Cek, cek, cek!” bergemuruhlah dada mereka. “Pertanda buruk,” ucap Solmet lirih mengingatkan. Dengan langkah pelan-pelan dan mengendap-endap pula, mereka menjauh dari pintu itu.
Mereka percaya, suara cecak adalah sebuah pertanda buruk. Cecak bersuara, sebab ia ingin bilang sesuatu. Maka, saat mereka pergi dari pintu itu, ia percaya ada seseorang yang datang mendekat. Namun mereka tak tahu, cecak bersuara bukan karena perihal ada orang mendekat. Cecak bersuara sebab si cecak ingin kawin dengan lawan jenis. Cecak oh cecak, mengapa orang-orang kerap bersangka buruk padamu?
“Gimana, lancar kan?” tanya salah satu santri mewakili. Di dalam kamar, beberapa santri memang telah menunggu kedatangan Solmat dan Solmet. Mereka terdiri dari santri-santri yang menitip surat.
“Tenang, semua beres pada kami,” jawab Solmat membanggakan diri.
“Betul, semua pasti beres. Hanya saja, nyaris barusan kami ditangkap basah,” Solmet menimpali.
Perihal kalimat nyaris ditangkap basah itu memancing santri-santri lain. Mereka memasang telinga baik-baik teruntuk mendengarkan kisah menegangkan itu. Solmat dan Solmet pun tak masalah menceritakan perihal itu. Mereka bercerita dari awal—benar-benar awal—dari ketika mereka mengendap-endap menuju pintu penghubung asmara itu. Solmat dan Solmet sangat asik bercerita, begitu pun dengan para pendengarnya asik mendengarkan. Eh, tahu-tahu azan subuh telah berkumandang.
Ya, begitulah hubungan asrama santri dan santriwati, tembok tak dapat menghalangi cinta mereka. Meski mereka jarang ketemu dan saling bertatap muka, masih ada surat-surat cinta yang mewarnai hari-hari mereka. Namun, perlu kalian sekalian ketahui, semua perihal itu berkat jasa Maun. Ialah orang yang menulis surat-surat itu.
Maun memang bercita-cita menjadi penyair. Dan sekarang, ia mengabdi pada handai tolan. Ia rela membuatkan teman-temannya kata-kata indah. Ia akan bergadang sepanjang malam, hanya demi menulis surat-surat untuk santriwati. Tentu, ia tak memberi namanya di surat itu, melainkan nama temannya.
Maka dari itu, teman-temannya sangat mencintainya. Mereka percaya, Maun akan berhasil menjadi penyair suatu saat nanti. Sebab, kata-kata indah yang ditulis Maun berhasil membuat santriwati klepek-klepek. Kata-katanya seperti mengandung sebuah sihir, sehingga para gadis akan terpikat.
Dan tentu, teman-temannya tahu diri. Mereka tak minta jasa Maun secara cuma-cuma. Bila datang waktu mereka harus mengirim surat pada santriwati, mereka akan beli makanan ringan banyak-banyak, lantas disuguhkan kepada penyair kita Maun bin Saun. Saat itulah, Maun akan tersenyum dan mulai menulis rayuan-rayuan memikat pada sebuah kertas. Sebab ia tahu, saat-saat itulah kepenyairannya benar-benar dibutuhkan dan diperhitungkan.
Tak hanya itu, Maun juga diizinkan membaca surat balasan dari santriwati. Sebab dengan begitu, Maun bisa menulis surat berikutnya. Seperti kala ini, Solmat dan Solmet membawakan beberapa surat balasan. Dengan didengarkan beberapa santri, termasuk Maun, Solmat pun membacakan salah satu isi surat balasan tersebut.
“Sungguh hatiku bagai terbang ke awang-awang kala membaca suratmu, Kekasih,” baca Solmat sembari menirukan gaya bicara seorang perempuan. Dan saat itulah santri-santri lain akan berseru, “Oh…!” sementara Maun hanya tersenyum penuh kemenangan. “Sungguh! Barangkali inilah yang dinamakan candu akan surat-suratmu,” terus Solmat.
Setelah rampung surat-surat itu dibacakan, Maun akan mengambil pena dan kertas. Santri lain akan mencermati apa yang dilakukan seorang Maun. Calon penyair itu mulai menulis surat balasan, tentu sambil tersenyum bangga. Wahai bidadari tanpa sayap, maukah engkau menginap di hatiku barang sejenak? Aku tak bisa hidup tanpamu, apalagi mati, aku juga tak bisa mati tanpamu.
Kertas itu ia lipat, dijadikannya sebuah surat, lantas diberikan pada temannya secara percuma. Ia betul-betul berjasa bagi hubungan asmara santri-santri lain. Setelah ia memberikan surat itu, ia pun pergi dengan gagahnya. Ketahuilah, meski ia kerap membantu teman-temannya membuat surat, ia sendiri masih jomlo alias tak memiliki kekasih.
***
Kini saatnya untuk Maun mencari tulang rusuknya. Ia telah lulus dari pesantren, dan mencari calon istri. Bila diingat-ingat lagi, dahulu di pesantren ia adalah si jago pembuat surat teman kepada kekasihnya. Tentu dengan bakat yang ia miliki, tak sulit baginya untuk mendapatkan seorang kekasih.
Dan benar, dengan hitungan bulan ia telah memiliki seorang kekasih, dan sebentar lagi ia akan memutuskan untuk segera menikah. Bukankah menikah adalah jalan untuk menyempurnakan separuh agama, kenapa harus ditunda-tunda? Ia senyum-senyum sendiri, sebab beruntung memiliki kekasih yang aduhai jelita, dari pesantren yang sama pula.
Si Maun kerap memabukkan kekasihnya dengan kata-kata indahnya. Begitupun dengan si kekasih, ia benar-benar nyaris mabuk dengan kata-kata sang penyair Maun. Suatu hari yang cerah, Maun dan kekasihnya pergi berjalan-jalan, Maun memutuskan untuk melamar kekasihnya saat itu juga.
Maun sedikit merayu kekasihnya kala itu, dan alangkah terperanjatnya si Maun kala kekasihnya membalas rayuannya dengan kata-kata yang cukup indah. Sebenarnya, bukan hanya kata-kata indah yang membuat Maun agak terpesona, melainkan karena kata-kata itu tak asing di telinganya. Kira-kira begini kata-kata si kekasih, “Sungguh hatiku seperti terbang hingga ke awang-awang mendengar rayuanmu. Barangkali, inilah yang disebut candu akan kata-katamu itu.” Ya, tak salah lagi, kata-kata itu sempat Maun dengar di pesantren. Kata-kata itu sunguh persis dengan isi surat seorang santriwati dahulu.
Maun sangat senang dapat berjodoh dengan seorang perempuan, bekas santriwati yang mengirim surat balasan dengan kata-kata indah itu. Ia pun tak ingin kalah. Ia ingin menunjukkan bahwa ia yang menulis surat-surat untuknya dahulu. Maka dengan penuh semangat, Maut merayu kekasihnya lagi dengan kata-kata yang dahulu sempat menjadi sebuah surat, “Wahai bidadari tanpa sayap, maukah engkau menginap di hatiku barang sejenak? Aku tak bisa hidup tanpamu, apalagi mati, aku pun tak bisa mati tanpamu.”
Kali ini giliran si kekasih yang terperanjat mendengar kata-kata itu. Kata-kata itu tak asing di telinganya. Kata-kata itu sungguh persis dengan isi surat seorang santri yang mengirim surat dahulu. Maun tersenyum menang, sebab menyadari ekspresi heran kekasihnya. Namun, tak seperti dugaan Maun, beginilah jawaban si kekasih, “Dasar pembohong!”
Dahi Maun berkerut-kerut.
“Itu bukan kata-katamu. Kau plagiat. Aku tahu, kau mencuri kata-kata itu dari seseorang. Dasar pembohong!” kekasihnya meradang, dan saat itu pula penyesalan baru Maun rasakan. []