Tabarak, Tabaruk
Aku sedekahkan diriku
untukmu. Kau sedekahkan dirimu
untuknya.
Ia murtad demi cinta
kepada, yang ia akui kekasih, tapi
telah miliki kekasih.
Pada akhirnya kau kembali,
seperti salju jatuh di pelataran masjid.
Sebagai ajaran agama baru untukku.
Dan meski telah kupelajari,
aku tak kunjung paham.
(2019)
Fahisyah
Awan dipecut malaikat.
Rum palu untuk kepala kami, kutu di baju takwa kami.
Mereka pembuatnya. Allahu akbar.
Berpijak di tempat yang goyang.
Banyak simpang di sana. Setiap ujungnya
mengarah ke lubang hitamnya masing-masing.
Angkasa— seperti para wanita kami lepas kerudung.
Sesuri sajak pada kulit-kulit kami, rasakan pecutan itu.
Arakan awan yang diarahkan ke utara.
Sudut lesat, bagi tiga buah mata angin.
Mereka genggam rum palu itu.
Mereka rendam baju takwa itu.
Kami pembuatnya. Allahu akbar.
Berkat terinjak tepat di ubun-ubun.
Angkasa— tetap seperti wanita kami lepas kerudung.
Mungkin itu sebab awan, enggan jalan, terpecut malaikat.
Tapi kami, mereka, kini berada sama di tengah simpang.
Untuk jemput lubang hitam masing-masing.
(2019)
Marjik
Fajar rekah, masyaallah.
Remah yang dulu, subhanallah.
Sisa racun dosa, subhanallah.
Perak pahala itu, alhamdulillah.
Menujuku di sini, menujumu di sana.
Ya Allah,
Magrib serupa selimut terbakar,
sayap-sayap malaikat ikut terbakar
di sebuah malam
pada sebelah wajahku
yang hijrah
seperti putih kupu-kupu
di suatu sore
dengan gerimis terhenti
di udara:
“shollu ‘alan nabi.”
(2019)
Barua
Wanita yang kini bercadar itu
membawa pedang untuk kekasihnya,
mantan kekasihnya.
“Aku hendak membunuhmu.”
Kekasihnya yang bagai udara itu
bernama dosa.
“Kau tak akan pernah
bisa membunuhku.”
Keesokan harinya, ia datang
membawa doa. Doa yang telah lama
ia lupakan.
Maka terbunuhlah kekasihnya itu,
Mantan kekasihnya itu.
Dan tumbuh di tubuh wanita lain.
Yang tidak bukan adalah dirinya juga.
(2019)
One Response
Allahuakbar