Tas rotan berpelipir hiasan lokan dan manik itu sudah tiga hari ada di tangan Sukap. Isinya tetap utuh; dua lingkar cincin emas dan beberapa lembar uang kertas berjumlah tiga ratus ribu rupiah. Ia menemukan tas itu di depan sebuah toko bekas, tempat dirinya biasa istirahat saat lelah mengemis.
Sukap sudah mengumumkannya dengan berbagai cara, ditulis di selembar kertas dan ditempel di tempat-tempat umum, dituturkannya dari mulut ke mulut, hingga minta bantu takmir masjid untuk diumumkan lewat pengeras suara. Terakhir, ia minta seorang pemuda untuk megumumkannya di media sosial. Tapi barang itu tetap tak diparani oleh tuannya.
Setelah sebulan tak ada yang memarani, Anis, istri Sukap mulai menyarankan agar cincin dan uang yang ada di dalam tas itu segera diambil.
“Barang itu kan sudah sebulan ditemukan dan diumumkan, Mas. Jika memang tidak ada yang mengakuinya, berarti barang itu sudah milikmu,” istrinya meyakinkan Sukap untuk mengambil barang temuan itu, pelan tangannya memungut satu cincin di dalam tas itu, dan mencobanya di jari manis.
“Tidak! Aku tak ingin mengambil hak orang. Barang ini harus kuumumkan hingga purna satu tahun, sebagaimana aturan Islam. Jika satu tahun tak ada yang mengakuinya, aku akan menyerahkan uang dan cincin ini ke panti yatim,” jawab Sukap dengan nada tegas.
“Jadi Mas Sukap tak akan mengambil barang temuanmu ini?” istri Sukap melirik tajam.
“Tidak. Aku tidak akan mengambilnya.”
Istri Sukap lekas melepas cincin yang dicobanya dan menaruh begitu saja di atas meja. Wajahnya memerah. Ia menuju kamar dengan langkah yang cepat, dan menutup pintu keras sekali, hingga pintu yang terbuat dari bambu itu, bagian pojoknya patah, berhambur di lantai.
###
Supat melipat bibir bawahnya ke dalam, rasa haus menimbulkan bunyi mirip air mendidih dari dalam tenggorokannya. Sejak pagi hingga menjelang zuhur, ia hanya sempat minum air, seusai subuh, sebelum dirinya berangkat mengemis. Air yang diambil dari lambung gentong tua bermulut patah itu, ia bayangkan menjadi nasi, demi menyiasati peruntnya agar tak berbunyi.
Seperti biasa, setelah berkeliling di sekitar pasar Anom, ia akan istirahat di sebuah emperan toko bekas, duduk bersandar pada hamparan pintu kayu, sembari melihat lalu-lalang kendaraan, atau kadang menghitung hasil mengemisnya selama setengah hari yang ditampung dalam kantong kain lusuh.
Sukap menguap dan mengucek matanya yangtampak lelah. Ia kembali menyimpul ujung kantong kain lusuh berisi uang receh itu, lalu ditaruh sebagai bantal saat dirinya rebah. Tas rotan yang juga biasa ia bawa, ditimang di atas dadanya, isi yang ada di dalamnya terdengar samar sedang bergulir-gulir.
Sembari mengamati tas itu, Sukap teringat kepada istrinya di rumah, betapa ia sangat mengharap tas rotan dan isinya itu jadi mililknya. Sejak kemarin ia bahkan mengancam akan kabur jika Sukap tetap tak mau mengambil barang temuannya itu. Sukap pun mulai berpikir, seandainya uang dan cincin itu ia ambil, maka jumlah uang yang ia miliki akan jauh lebih banyak dari hasil tujuh hari mengemis.
Sukap lalu tengkurap, tas rotan itu masih di tangannya, ia amati dengan teliti, bagian samping yang bercelah halus dan rapi, bagian bawahnya beralas tempelan kain songket hijau berjahit sejajar dan teratur. Sukap pun mulai sedikit tergoda untuk mengambilnya. Tapi ia tetap bimbang, khawatir suatu saat pemiliknya datang dan mengambil tas itu lagi. Kadang Sukap beranggapan, tas itu tas ajaib yang memang dikirim malaikat untuk dirinya.
“Jika tas ini kuambil, maka dua keuntungan yang bisa kudapatkan. Pertama, aku punya uang dan cincin. Kedua, istriku akan bahagia dan tidak akan meninggalkanku,” Sukap membatin. Bibirrnya memincuk senyum.
“Tapi, kata guru ngajiku, jika barang temuan yang tidak sampai satu tahun diambil oleh si penemu dan orangnya tidak rida, maka si penemu sama dengan pencuri, ia akan makan uang haram, dan haram itu adalah neraka,” Sukap bergidik, ia menyentuhakan ujung dagunya ke lantai, lurus dengan tas rotan yang dipegang, matanya masih mengamati tas itu dengan teliti.
Sukap memilih lebih baik lapar daripada kenyang dari hasil menjual milik orang lain.
Pikiran Sukap terus melayang, hingga teringat masa kecilnya, tentang almarhum ibunya yang bekerja sebagai penjual sayur. Dulu, ibu Sukap selalu menenteng tas rotan setiap kali pergi ke pasar menjual sayur. Tas itu ia gunakan untuk menyimpan uang dan aneka barang bawaan. Suatu hari, tas itu hilang beserta sejumlah uang yang ada di dalamnya. Pengumuman disebar ke berbagai tempat. Pencarian pun dilakuan, tapi hasilnya sia-sia. Tas itu tetap tak ditemukan. Di detik-detik sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ibunya sempat berbisik kepada Sukap, jika suatu saat tas itu ada yang mengembalikan, uang yang ada di dalamnya suruh kasih kepada si penemu dan tas rotan itu jadi milik Sukap. Tapi setelah ibunya meninggal, tak ada yang mengembalikan tas itu. Kini Sukap menduga, tas yang ditemukan dirinya itu kemungkinan tas milik ibunya yang pernah hilang, walau ia juga bimbang, karena mata uang yang ada di dalamnya adalah keluaran baru, lagi pula tas milik ibunya tak berisi cincin.
Sukap bangkit, duduk bersandar kembali ke hamparan pintu kayu, wajahnya tampak didera rasa letih, matanya yang temaram memandang paksa lalu-lalang kendaraan, sesekali ia menguap dan punggung tangannya menggosok pelan bibirnya yang kering. Dan di sela suara keriuhan kota itu, bunyi perutnya terdengar lagi.
Ia memutuskan pulang untuk menemui istrinya. Tas rotan itu ia jinjing, satu genggam dengan kantong lusuh miliknya, seolah dirinya sedang membawa barang yang bisa mengantarkannya ke surga, atau ke neraka.
###
Hari itu, di rumah bambu yang dibedaki pintalan jaring laba-laba, Sukap purna merasakan luka. Ia duduk lemas pada kursi lapuk yang dijalar sarang rayap, air matanya merembes, menuruti jalur garis keriput pipinya yang tirus. Selain perutnya yang lapar, ditambah satu beban lagi, istrinya kabur dan hanya meninggalkan selembar kertas berisi tulisan, bahwa ia sudah tidak kuat dengan kemiskinan Sukap, ia juga tidak kuat dengan sikap jujur Sukap yang menurutnya kian menambah penderitaannya.
“Andai tas rotan beserta isinya itu Mas Sukap ambil, pasti aku tak akan kabur,” begitu baris kalimat terakhir dari surat yang ia tulis dengan huruf berlarik penuh tikai mirip cacing.
Sukap meraba tas rotan yang ada di sampingnya. Memandanginya sejenak, terbersit keinginan untuk membuang barang sial itu ke sebuah sungai di perbatasan dusun, ia rasa hal itu adalah jalan tengah yang bisa menyelamatkan dirinya dari dosa dan petaka.
Ia berencana akan membuang tas itu di sungai Jumari, lewat jalur selatan yang menghubungkan liuk jalan setapak ke sebuah pemandian hewan ternak yang biasanya sangat sepi jika pagi hari. Setelah tas itu dibuang, ia akan mencari istrinya, dan jika bertemu si istri ia akan bilang jika tas itu sudah diambil pemiliknya.
###
Akhirnya tangan Sukap pasrah melempar tas rotan ke sungai. Tas itu terombang-ambing dipermainkan arus, timbul-tenggelam, dibenturkan ke punggung batu, kadang tersangkut rimbun ujung pandan, sebelum akhirnya lepas dijerat arus.
Sukap memandangnya dari atas tebing sungai, ia bersedekap karena kepungan angin pagi sangat dingin, ditambah lumatan embun yang digesekkan rumput ke datar betis dan kakinya. Ia berdiri ditemani bayangannya sendiri. Matanya tetap terpaku ke arah tas rotan yang dibawa arus. Ia membayangkan cincin dan uang di dalamnya telah habis diretakkan air. Sukap tersenyum, satu tugas ia rasa sudah selesai dilaksanakan dengan baik.
Sukap menarik napas panjang, mengelus-elus dagunya, dan sejenak menatap matahari.
Tiba-tiba saja sekelompok orang datang dari belakang, beramai-ramai, berlari-lari. Dua di antaranya berjenis kelamin perempuan, satu sedang menunjuk ke arah Sukap, yang satunya terus memberi isyarat kepada para lelaki yang ada di belakangnya untuk terus maju. Sukap membalikkan badan dengan tangan, memastikan gerangan siapa yang datang.
“Itu dia lelaki yang telah mencuri tas ibu,”
Sukap terkejut, ternyata perempuan yang menunjukkan keberadaan dirinya adalah istrinya sendiri yang tiga hari terakhir kabur.
“Ternyata kamu, Nis. Tapi maaf bapak-bapak dan ibu-ibu, saya tidak mencuri tas itu, saya hanya menemukannya, dan sejak enam bulan yang lalu saya sudah mengumumkannya,” jawab Sukap tegas.
Semua terdiam.
Perempuan si pemilik tas rotan itu mendekat perlahan ke arah Sukap. Sepasang matanya tak berkedip, seolah menayangkan kilasan sebuah kisah masa lalu yang rahasia. Perempuan itu berhenti di depan Sukap.
“Kamu anak Bu Saura kan, penjual sayur itu?”
“Benar, Bu!”
Perempuan itu perlahan jongkok sambil meneteskan air mata, lalu memeluk lutut Sukap dengan tangis yang keras. Semua mata terperanjat menatapnya.
“Tas rotan itu memang milik ibumu, dulu aku sengaja mengambilnya saat keadaan hidup terdesak, beruntung tas itu tak jadi kujual. Sejak dulu, aku memang berusaha untuk mengembalikannya ke Bu Saura atau ahli warisnya. Maafkan aku, Nak!”
Sukap menoleh ke arah tas yang dibuang itu, ke bagian hilir sungai yang dirimbun semak dan daun pandan, tas itu sudah lenyap, seperti menempuh jalan pergi, ke pangkuan ibunya di alam sunyi.
Gaptim, 2019