“Dia terjatuh di kamar mandi. Lalu pingsan dan koma selama dua hari. Begitu ia tersadar, namamulah yang ia cari. Jadi, kapan kau akan ke Hong Kong? Kungkung (1)sangat berharap kau kembali.”
Pesan singkat dari Atin, perawat kungkung di Hongkong kubaca berulang kali. Aku tidak bisa mempercayai atau aku memang tidak siap atas apa yang diucapkannya. Pesan singkat itu berdengung di kepala, juga di dada.
Sampai akhirnya, ama memanggilku dari dapur. Aku mendapatinya sedang mengaduk masakan dengan aroma menguar ke seluruh ruangan. Kulihat di wajan ada kapulaga, daun kari, dan kembang lawang. kemudian satu tangannya meraih daging sapi yang sejak siang sudah kurebus dengan panci presto. Aku berdiri di sampingnya, dengan maksud ingin meneruskan masakan, tapi dia menolak dengan satu tangan terangkat persis di depanku.
Dia membalikkan badan dengan cepat, lalu mengambil bubuk jintan, bubuk kunyit yang berjejer rapi di rak bumbu. Dengan cepat dituangkan kedua bubuk rempah tersebut. Kemudian, tangannya meraih beberapa sendok curry powder yang sejak mula sudah kusiapkan di meja. Tangannya mengaduk kembali. Diusapnya peluh dengan punggung tangan. Dia tampak kelelahan.
“Tidak semua orang Singapore bisa memasak,” Ama membuka pembicaraan.
Aku diam.
“Kau tahu, kari buatanku rasanya juara. Keluarga besarku menyukainya. Kau harus cermat belajar masak dariku! Kau beruntung bekerja di sini.”
Tangannya meraih gelas yang berisi susu bubuk yang sudah kularutkan. Dituangkan perlahan ke dalam kari. Tangannya mengaduk kembali, lalu dia mengibaskan tangannya di atas masakan. Hidungnya menghidu dengan cermat setiap detail aromanya.
“Kau sepertinya ada masalah. Sejak tadi kuperhatikan kau diam,” Ama menilik pandangku.
“Aku tidak apa-apa, Ama.”
“Kalau begitu, tolong belikan aku asam kandis. Di rumah habis. Aku akan memasak asam pedas ikan pari,” ama mematikan kompor, kemudian mengambil 2 dolar uang Singapore.
Aku melangkah dengan kaki kebas menuju daun pintu dan segera pergi ke kedai. Berulang kali pesan itu membuatku teramat pening. Memoriku memutar ulang kejadian yang memilukan, sekaligus membuatku bersyukur telah dipertemukan dengan seseorang sebaik Kakek Yiu Wai Ip.
Ketika itu, dengan koper kecil yang kutarik dan tas punggung berwarna hitam di pundakku, aku meninggalkan rumah majikan di Taipo. Aku memutuskan kontrak dengan majikanku yang memiliki 3 pembantu. Aku pikir pilihanku benar, karena intimidasi yang selalu kuterima dari dua pembantu lainnya.
Majikanku mengantarku menuju agency dengan Alphard berikut sopirnya, setelah aku menyodorkan selembar kertas one month notice(2). Dengan begitu, dia akan memberiku kesempatan bekerja selama satu bulan kedepan dan aku memiliki uang.
Agency yang kuharapkan sebagai tempat berlindung, ternyata membuatku kecewa. Dia memojokkanku dengan menumpahkan seluruh kesalahan kepadaku. Argumentasinya mematahkan lidahku untuk membela diri. Dan aku hanya diam menunduk memandangi nat-nat lantai. Sampai akhirnya, aku tidak mendapat uang pengganti interminit(3). Aku kebingungan memikirkan lima hari kedepan akan mengisi perutku dengan apa.
“Kau boleh pergi sekarang dari kantorku!” tukas agencyku dengan ketus. Kukira, dia akan mempersilahkanku untuk tinggal di boarding house(4) miliknya dan mencarikanku majikan baru.
Kuseret koper dengan langkah gontai menuju Stasiun MTR(5). Mungkin di sana, aku bisa berpikir kemana aku harus pergi. Sampai akhirnya Dompet Dhuafa terbersit di kepalaku.
Dari stasiun Taipo aku mencari kereta jurusan Kowloon Tong. Dan aku turun di Kowloon Tong. Kemudian aku mencari kereta lagi dengan tujuan Prince Edward dan aku hampir tertidur di kereta itu, kalau saja seorang turis tidak bertanya tentang alamat yang dicarinya. Kereta berhenti di Stasiun Prince Edward dan aku mencari kereta jurusan Admiralty. Ini adalah stasiun persinggahan terakhir dengan tujuan Causeway Bay. Tubuhku kembali ditelan badan kereta yang mengantarkanku menuju Causeway Bay.
Sepanjang perjalanan, lampu berpijar menerangi jalan dengan lineria keemasan, dan juga gedung-gedung yang bersolek dengan cahaya lampu. Sementara, Langkahku panjang-panjang, memburu ruang dan waktu yang bersekutu. Langit tak lagi dipenuhi gemintang, ada mendung yang menggantung di sana. Aku harus segera.
Sialnya aku lupa letak Shelter Dompet Dhuafa, karena memang baru sekali aku ke sana ketika libur beberapa pekan lalu. Entah sudah berapa kali aku naik turun tangga gedung mengetuk satu pintu ke pintu lainnya.
Malam sudah mencapai kepekatannya. Mendung pun sudah siap-siap menumpahkan segala isinya. Aku berjalan menyeret koper dengan lemah. Aku sudah lelah. Kubiarkan saja angin mengusikku berkali-kali hingga akhirnya hujan berjatuhan bagai ratusan anak panah. Menghunjam bumi dan diriku tanpa ampun. Aku terbalut gigil yang amat akut hingga aku tergugu dalam kerasnya kehidupan Hong Kong.
Aku menuju stasiun setelah aku membeli sepotong roti dengan kartu patadongku(6). Aku duduk di tangga stasiun. Di sana kunikmati rotiku. Hingga pada akhirnya, ada dua pasang kaki melangkah ke arahku. Seorang kakek dengan perawatnya.
Kakek itu memakai baju bergaya vintage berwarna turkuas yang sempat tenar di zaman Benjamin, dikombinasikan dengan rompi cokelat dan celana panjang corduroy cokelat. Kulihat sepatunya amat hitam berkilat terpantul sinar lampu. Tangan kanannya memegangi tongkat, tangan kirinya diapit perawat. Mereka menanyaiku, hingga akhirnya, kakek memintaku pulang ke rumahnya dan akan membawaku terlebih dahulu makan di restaurant. Aku menolak ajakannya. Kurasa, dia memberiku tumpangan sudah lebih dari cukup.
“Kamu hanya makan sepotong roti,” ucap kakek sambil tersenyum memamerkan putih deretan giginya. Entah sejak menit keberapa kakek itu mengamatiku.
Kakiku mengikuti langkah pelan kakek menuju Restaurant China yang berada di dalam bangunan Masjid Wanchai di lantai lima. Lalu kakek menuju ke sebuah meja bundar yang besar dengan empat kursi di sana. Kakek duduk di sampingku dan juga di samping perawatnya.
Kakek menulis pesanan, lalu sopir kakek yang berkewarganegaraan Filipina membawa kertas itu menuju meja waiter. Kami menunggu, dan kakek memapah pembicaraan, sehingga suasana menjadi cair. Sedikit demi sedikit kecanggunganku berkurang. Dari pembicaraan inilah aku mengetahui kakek itu bernama Yiu Wai Ip.
Pelayan datang dengan beberapa makanan di tangannya. Empat bamboo steamer berisi dim sum yang masih mengepul asapnya. Sekeranjang Xiaolongbao(7), tiga piring nasi goreng oriental, dan empat mangkok kecil dong yhun(8).
***
Kakek hidup bersama istri dan perawatnya. Namun nenek lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Tidak ada komunikasi secara intens diantara keduanya. Mereka seolah-olah saling memberi jarak dan jeda. Aku tidak begitu memusingkan perkara ini, karena aku hanya orang yang singgah di rumah ini dan sekejap aku pergi. Aku lebih memusatkan perhatianku menjaga kakek.
Pada hari keempat aku di rumahnya, kudapati kakek tidak seperti biasanya. Dia amat lesu dan lebih banyak diam. Dia duduk di sebuah kursi di tepi jendela, sementara televisi yang menyala dibiarkan saja.
“Kungkung, bolehkan aku memijat kakimu?” aku memancing suasana.
“Tidak perlu. Kau yakin akan pulang? Kau tidak ingin menuntut hakmu atas majikanmu?” tanyanya kemudian.
“Suamiku bersikeras menyuruhku pulang, Kek. Tanpa memberi alasan. Aku harus melupakan segalanya, dia memintaku.”
“Aku sedih kau hanya memiliki waktu lima hari di sini. Besok kau akan pulang. Aku seperti menemukan sesosok anak pada dirimu,” kakek berbicara dengan kekenesan yang berlebihan.
“Kau sungguh memiliki kemiripan dengan anakku, Yani,” kakek merogoh potret ukuran kecil dari dompet. Disodorkannya potret itu kepadaku. Sesosok gadis kecil berkepang, dengan kulitnya berwarna tembaga. Kulirik kulitku. Sama. Ah, ini hanya kebetulan.
“Aku harus berpisah darinya ketika ibunya memutuskan untuk pulang ke Indonesia, selamanya. Saat itu dia berusia 4 tahun. Namanya Yani Yiu Ip,” Kakek menggaruk lengan, aku segera mengambil cream gatal lalu kuoleskan ke lengannya. “Sama seperti namamu, kan?” kedua matanya menatapku.
“Namaku Yani Lestari, Kek.”
Dia diam cukup lama. Matanya berkaca-kaca lalu tangan kanannya mengibas, “Sudah tidak usah dipikirkan!”
Dia diam cukup lama. Matanya berkaca-kaca lalu tangan kanannya mengibas, “Sudah tidak usah dipikirkan!”
Aku langsung mengaitkan ketidakacuhan nenek kepada kakek. Apakah ini sebabnya? Pikiranku dipenuhi segala kemungkinan-kemungkinan.
“Jadi, kau memiliki dua istri, Kek?” tanyaku berusaha memancing jawaban untuk memastikan kemungkinan-kemunginan di kepalaku.
“Kau mengintrogasiku, Yani?” Kakek terkekeh, “Yah, memang. Perempuan Indonesia itu juga istriku.”
***
Pagi itu tepat pukul 4 aku bersiap-siap untuk meninggalkan rumah Kakek. Kakek masih di kamar, mungkin dia masih tidur. Neneklah yang menemaniku. Sampai pada akhirnya, kakek berjalan gontai mendekatiku. Kulihat dia sesenggukkan. Bening air matanya membanjiri pipi, ia serupa anak kecil yang hendak ditinggal ibunya. Nenek entah mengomel apa melihat tingkah kakek. Karena suaranya yang cedal sulit bagiku untuk memahami pembicarannya, terlebih kantonisku sangat minim.
Kakek mengulurkan sejumlah uang. Aku hanya mematung.
“Ambil! Aku tahu kau tidak membawa uang. Apa yang akan kau katakan kepada anakmu jika kau kembali tanpa coklat, permen, atau mainan?” Kakek mengusap ingusnya.
Aku menatap ke arah nenek. Kulihat mulutnya merucut dan ia mulai menyadari aku menatapnya, “Ambilah, Yani! Untuk anakmu.” begitu ucap nenek akhirnya. Entah karena merasa tidak enak denganku atau memang dia menimbang-nimbang perkataan kakek.
***
Aku memutuskan mencari penerbangan tujuan Hong Kong. Aku hanya ingin menyambangi kakek, setelah mengantongi izin dari majikanku di Singapore.
Mataku nanar ketika aku telah berada di Queen Elizabet Hospital, kakek dirawat di sana. Terakhir Atin mengabarkan, jika kakek masih dalam keadaan kritis, tidak kunjung membaik dan masih sering mencariku.
Aku melangkah masuk melewati security yang berjaga, ia segera menghadangku, meminta ID Cardku(9) dan kartu pengunjung. Aku mengambil ID Card tanpa bisa menunjukkan kartu pengunjung. Dia menolak. Aku meyakinkan jika aku ingin menjenguk salah satu pasien yang kukenali. Namun sayang, security itu membuktikan kapasitasnya sebagai pekerja yang baik. Hingga akhirnya aku mengirimkan pesan ke Atin untuk menjemputku.
Begitu aku memasuki ruangan kakek, mataku memutari kamar di mana kakek dirawat, hingga akhirnya pandangku jatuh ke tubuhnya yang terbaring ringkih. Di sampingnya, kudapati nenek dan seorang perempuan yang kutaksir itu adalah anaknya.
“Yani,” Wajah kakek tak lagi bersinar seperti saat bertemu dengannya di stasiun dulu. Aku mendekatinya.
“Oh, kamu ternyata yang namanya, Yani,” suara perempuan itu tidak bertanya juga tidak memastikan.
“Aku ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja dalam perjalanan?” Aku mengangguk, sikap simpatinya tetap konsisten, “Aku tidak ingin kau seperti saat di stasiun.” Kakek menyunggingkan senyum.
Matanya mengerling ke arah Atin, seperti memberi suatu isyarat. Atin mengangguk. Lalu ia memberikan sebuah buku kecil. Semacam buku rekening. Namun, nenek segera menyambar buku tersebut.
“Kamu sebenarnya siapa?” Kedua bola mata nenek menganak sungai.
Mulutku mendadak kelu ketika hendak kubuka, dan kerongkonganku seperti tersumpal. Aku baru tersadar jika aku berada di tempat yang salah.(*)
Keterangan:
1. Kungkung: kakek
2. One Month Notice: Surat sebulan pemberitahuan. Peraturan Hongkong mengharuskan jika pekerja akan mengakhiri kontrak kerjanya, harus menggunakan one month notice. Jika majikan tidak bisa mempekerjakannya sampai sebulan kedepan, dia harus membayar uang sebulan gaji.
3.Interminit: pemberhentian kerja secara sepihak tanpa pemberitahuan. Jika hal ini dilakukan majikan, maka majikan harus membayar satu bulan gaji dan gaji yang belum dibayar.
4. Boarding house: kos-kosan dan agency harus memilikinya.
5.MTR: Mass Transit Railway, kereta cepat.
6. Patadong: Kartu untuk naik MTR, bus, dan bisa digunakan untuk berbelanja di beberapa toko.
7. Xiaolongbao: Pangsit isi
8. Dong Yhun: semacam wedang ronde
9. ID Card: Kartu Identitas
2 Responses
Maaf sedikit koreksi: “Coesway Bay” seharusnya “Causeway Bay”
Terimah kasih atas koreksiannya terimah kasih telah membaca.