Mengamini Rintik Hujan yang Jatuh Hari Ini

Gemuruh dari Timur

Dari timur, gemuruh yang kau Esakan tak sampai ke kepalaku, hanya rintik air matamu perlahan menetas di ceruk mataku dan hujan yang kau sebut itu telah bercakap dengan dedaunan, pohon-pohon besar, melinting diatas genting dan seringkali menyebut namamu

Hujan juga mengecup aspal, menggelinding ke selokan kemudian memercik dan beriak mengalirkan rinduku padamu, padahal aku t’lah menelponmu beberapa kali dan kita bercakap puas.

Seperti daun-daun yang mengarah ke langit ketika gelap kian runtuh dan doa-doa ditanggalkan lisan, yang kau Esakan telah sempurna merajut bianglala dan matamu adalah muara menuju debur ombak

Aku menabung rindu pada celengan musim itu, di bawah pohon selepas hujan kau mengecup dan kita adalah dua tubuh terpisah yang kembali bersatu.

2020


Seorang Peramal

Ia meramal banyak sekali, daun-daun di samping rumahnya kapan jatuh, pohon-pohon menjulang di belantara itu kapan rubuh, buah-buah apel kapan bisa dipanen dan bahkan air mata kapan akan menetas

Ia juga meramal sekian banyak orang, kapan seseorang akan lahir dengan anak lelaki, kapan seorang ibu akan mendapatkan rezeki, kapan sesuatu akan terjadi, bahkan ketika subuh ia menebak kokok ayam di waktu pagi

Ia meramal orang-orang yang datang kepadanya, memohon doa dan ramalan yang baik
Namun ia sendiri tak pernah sesekali meramal dirinya.

2020


Sujud Batu, 2

Tak ada yang mesti kutanyakan perihal rindu dan kata-kata
Seperti ihwal batu, diam dan bisu
Dan kau mengeram disana memilin biji-biji musim

Batu itu berzikir, tuan!” katamu
Sambil lalu dengan selendang bianglala kau mendahuluiku
membuka pintu pintu doa kemudian melemparkannya ke langit

Gigil daun di luar selepas hujan dan gemericik air di selokan adalah isyarat tuhan yang merindukan kita sebagai hamba, ketika kau mengutuk sendiri matamu sambil lalu mengumpat “Aku berdosa, wahai tuhan!”

“Batu juga bersujud, tuan! ” katamu kembali

Kau seperti membaca arah angin dari segala penjuru, kemudian diletakkannya batu itu di bawah ranjangmu seperti dahulu ibumu meletakkannya di atas nisan ayahmu

Batu yang kau sebut benda mati itu kini t’lah berdiam dalam diriku” ucapmu lirih.

2020


Sehabis Hujan

Kantuk dan zikir terbayarkan
Matahari mengembun, daun daun berkaca, batu kemudian bicara
Dalam diam paling nyeri dengan sepenggal puisi

Ombak yang mengasuh karang
Melepas segala resah dan kemudian gugurlah reranting cemara itu
Sampan dan lenguh nelayan
Adalah ihwal laut temaram

Sehabis hujan
Jalanan basah dan gigil lalu lalang
Di selokan  mengalir beribu doa dari hulu
Juga air mata telah layu

Bahkan setelah hujan hari ini
Semangkuk mie instan dengan cabai merah
Lebih hangat ketimbang rekah bibirmu yang membekas di bibirku

2020


Uji Coba Menulis Puisi

Awal januari tahun ini, hujan tak henti hentinya merubuhkan matahari dan malam tiba dengan sisa senja yang abadi dalam hangat bibirmu

di bibirku. Ranting patah yang jatuh ke hitam matamu seperti luruh daun pada muara yang dipinggirnya ilalang berdoa pada angin, pada

awan, pada segala yang diaminkan tuhan untuk kita

Aku mencoba menulis kembali nara, setiap yang berjuntai dari hitam rambutmu, juga yang dimatangkan hitam matamu, dan setiap kata-kata dari mulutmu dan mungkin juga pandangan waktu itu.

Sambil mengamini rintik hujan yang jatuh hari ini
Di depan rumah-Mu
Begitu juga diatas sajadah zikirku
Aku memohon
Berdoa

2020


1999

Di tugu kota, kepalamu meleleh mengalir ke hitam matamu namun kau tetap tak beranjak menunggui musim lalu yang datang dengan setangkai bunga

Kau tak pandai berkata-kata, sebuah doa yang tersusun rapi di lemari kamarmu begitu juga lipatan zikirmu yang biru dan ada juga yang merah

Dari matamu, kau meneguk api, menelan biji-biji kemarau Panjang dan di tahun ini kau tak lagi seperti manusia dan entah kau siapa

Tapi aku tetap mengenalimu berjalan di trotoar dan sesekali berhenti memperbaiki letak topengmu yang sewaktu-waktu berubah menjadi sepasang wajah manusia yang tidur, yang bercerai dan yang tertawa.

Kau bahkan tak pandai menghitung, jari-jarimu patah ketika menunjuk kapal di tengah laut, sesekali debur ombak akan menelan resahmu dan kau tertidur

Di tugu kota, yang sesak dengan kata-kata
Segala tubuhmu meleleh dan kusediakan mangkuk besar
Agar tubuhmu tak terbuang percuma

2020


22 Oktober 2002

Dimana kau dilahirkan sebagai perempuan dan manusia memujamu

Kau yang bisu dan tak mendengar apapun selain kidung purnama ibumu dan lantun zikir ayahmu ketika kau tertidur di Pundak mereka

Sesekali dahaga melecutmu seperti kerapan di tanah kerontang yang lenguhnya bergetar sampai ke dada, yang matanya merah memecah angin

Dimana kau dilahirkan sebagai perempuan, dan dedaunan merestui itu

Kau menerjemahkan debur ombak, celah-celah karang, beberapa kenangan, dan lagu sumbang nelayan begitu juga lumut di sampan-sampan gelombang

Barangkali kau juga menafsirkan bunga-bunga laut, menakwil angka musim, merujuk asin pada setiap peluh ayahmu

Dimana kau dilahirkan sebagai perempuan, dan aku mencintaimu

2020


Hikayat Orang Gila

Bahkan aku lebih gila, mama
Ketimbang orang-orang yang berjalan dan mengucapkan serapah sebuah nama
Tanpa sepenggal kain dan hitam kulitnya membunuh matahari

ia memakan bekas-bekas gigitan dan ciuman
memaksa rindunya habis dimakan sepi

aku dan dia sama saja
hanya aku kurang berhati-hati menjalani hidup

2020

Bagikan:

Penulis →

Baidi Narayana

adalah nama pena dari Ahmad Zubaidi. Alumnus MA Nasy’atul Muta’allimin dan MTs. Al-Ma’arif Manding. Aktif di komunitas ASAP dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Pemenang lomba cipta puisi nasional Fam Publishing tahun 2018.  Karyanya tercatat dalam antologi Bulu Waktu (Sastra Reboan, 2018), Sua Raya (Malam perayaan puisi ponorogo, 2019), Rumah Kayu (Oase Pubhlishing, 2019), Segara Sakti Rantau Bertuah (Festival Gunung Bintan, 2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *