Musafir dan Kisah Tresna yang Kekal


Menuju Fana

/1/
selalu saja ada yang terbang. lepas dan melenggang begitu saja.
seperti laron yang memburu pagi. memburu arah utara

/2/
dipanggilnya nama-nama itu, segenap nama yang dihafalnya
namun semuanya berkelebat dengan diam.
dia mendengar lonceng-lonceng bergemerincing. seolah berbisik
: mungkin ini malam terakhir. melambailah!

gemerincing lonceng itu mengguncang pelan

/3/
terburu-buru, ia akhiri doa yang mestinya panjang itu.
: ini musim penghujan. mendung meratapi bulir-bulir airnya
sekejap lagi menetes diserap tanah atau ditelan laut dahaga

/4/
antara ranting cemara dan gugur daun akasia
manakah yang lebih dicintai bumi?

2018



Surah Cinta (8)

Guru, apakah kematian selalu tiba dengan membawa tresna yang kekal?
jika maut datang dengan rahasia kekekalan tresna maka aku akan bersolek
menyambutnya dengan segenap kidung yang pernah kau ajarkan!

2018



Surah Cinta (9)

/*/
Seperti para musafir lainnya kalian turut mendongengkan
kisah-kisah tresna yang kekal
di lorong-lorong kematian: jalan pendek menuju abadi!

tapi apakah tresna kekal hanya dalam riwayat atau justru tersimpan dalam biji sawi semenjak jasad hancur digerogoti belatung-belatung api?

/**/
kalian para musafir akankah mati di bukit yang sunyi atau di kamar kerjamu
sebelum kalian sempat menakwil kitab sejarah kematian yang gagal menemu rumah tuhan?

kalian para musafir akankah bahagia dengan harapan ataukah merana saat bilangan-bilangan berdusta?
tapi apakah kalian bisa menerka nujum yang sungguh-sungguh mewartakan kekekalan tresna?

/***/
kalian para musafir akankah tetap bahagia dengan perjalanan-perjalanan tanpa paspor dan pulpen di saku kemeja?

2018


Surah Cinta (10)

di mana alamat tresna?

perempuan itu membisikkan sebuah alamat di telinganya
namun, lelaki itu tak mampu menghafalnya

kun, lelaki itu tambah menua serupa rahasia
yang selama ini digembolnya kesana-kemari
tak ingat lagi pada masa silamnya, tak tahu masa depannya

kun, di mana alamat tresna?

2018



Surah Cinta (11)

Guru, biarkan aku jadi penujum pengembara dari gunung hingga ke ceruk lembah
mencari sisa tresna yang terlanjur jadi sabda-sabda yang harus ditakwil dan ditafsir

Guru, bagaimana kusyahwatkan tresna, saat masa silam pulang dengan lelah
sedang masa kini menjadi cuaca sarat dengan hujan halilintar
adapun masa depan kehilangan wajah ibu bersama riwayat tuhan yang ditanam di kubur

Guru, bagaimana kusiasati tak berdayaku melacak tresna
sedang dunia telah terlanjur menjadi meja perjamuan memuja kuasa
adapun surga adalah kamus yang gagal mencatat makna-makna

Guru, aku ingin patuh mendekap tresna, tapi dadu dan angka-angka telah dilempar
membuat segala perempatan jalan menuju lorong hasrat yang menjejalkan dusta

duh, guru! 

2018-2019


Megatruh

sama dengan bangkai ia sekejap akan sirna mungkin melesak
dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis

seperti juga sama dengan semua mayat yang tak pernah tahu dalamnya neraka
ia tak akan lagi merapal ayat-ayat. segenap mantra dan jampi-jampi kidung suci
berubah menjadi serabut-serabut yang ringkih seperti putik merambat menuju layu

“hai, tak perlu kau menoleh ke belakang untuk mengingat-ingat
apapun. campakkan ingatan
bergegaslah kau telah ditunggu kereta
dihela delapan lembu melenguh tanpa henti!”

maka, engkau pun berjalan sendiri dengan berdebar-debar
mendengar lenguh itu.
cemas sendiri tanpa siapa-siapa, bahkan tanpa nama

Ngawi, 2018-2019



Aku Tahu

Akhirnya apakah aku harus pasrah dalam rayuan malaikat maut?
: “Tak perlu kau bertanya-tanya lagi!” bisiknya dengan bengis
“Sebentar, biar kucari catatan-catatan harian yang tercecer di kamar tidurku!”

Aku tahu kalender cuma bilangan ganjil dan genap
dan arah hanya dua, lurus atau belok
nasib pun cuma dua, meninggalkan atau ditinggalkan

Aku tahu jarum jam tak pernah berjalan mundur
laju detiknya selalu mendorong-dorong ke arah peti gelap
yang di dalamnya cuma koper-koper doa yang usang.

2019




Wajah Langit Ompong

Malam tanpa bulan
langit ompong tanpa gigi abu-abu
pohon-pohon berjalan menuju kelam
gagak dan burung hantu berlomba menjerit-jerit

Ruh-ruh kita berlompatan dengan riuh
berlomba berlari menuju perempatan-perempatan
melesat belingsatan melejit di ujung-ujung dahan
gonggong anjing memburunya sampai jauh di ujung sepi

Tak ada kapal yang datang
tak ada mercusuar yang menyala
tak ada syahbandar berdiri di dermaga
air laut memantulkan wajah langit ompong
sibuk menghisap ruh-ruh yang berlompatan

2019         


                                                    


Riwayat

Setiap kisah selalu mengundang dikenang
pun riwayat ini seperti biografi tubuh
melayang-layang di ombak-ombak riuh
sambil meneriakkan nama-nama.

masa lalu kelak menjadi sulur-sulur
merambati bilangan-bilangan dan susuri ramalan-ramalan

percayalah, tak hanya kecewa dan muram
yang sering menyapa atau harapan yang sekejap padam
namun, juga ruang-ruang pesta dan musik mempesona
dan kita  menuang anggur dalam piala lantas berdansa
menari seperti kaum sufi yang mencari teka-teki
: mengapa cinta tak dapat diurai dengan cium dan kata-kata?

Setiap kisah selalu mengundang untuk dikenang
segenap riwayat adalah biografi tubuh yang disumpali jejak sedih maupun gembira
pun setiap gagap dan bodoh yang berulang gagal menghafal dan mengkhatam kitab

riwayat panjang ini adalah perjalanan musafir yang tersaruk-saruk dengan cemas
sekaligus harapan-harapan yang sekejap menjadi berbait-bait puisi
: mencatat semuanya jadi kitab dongeng legenda cinta para darwis yang majnun! 

Ngawi, 2019



Suara Lain

Mimpi buruk melindap bersama datangnya cahaya dini. Khianat yang sempurna. Licik, licin hingga cerdik. “Kita ternyata menuju punah!” bisikmu gelisah dan tergesa.

Sejarah mengarus dan berayun-ayun pergi. Segenap manusia akan selesai dikubur dalam jurang-jurang  berapi. Kita terlanjur terengah-engah, lengah kompromi pada takdir, pasrah pada nalar yang mencekik pelan-pelan. Syahdu dan penuh rasa hormat pada setiap rasa sakit.

Tertinggal hanyalah yang paling lembut melampaui hasrat khusuk bercumbu. Itulah kenangan! Warisan tinggalan leluhur yang menggetarkan. Lahir melalui mulut-mulut
penyair  tragis: itulah suara yang lain!.

Mendengar gumamnya adalah menyimak waktu yang sekejap berlalu namun datang kembali dalam frase dan kata.

2019

Bagikan:

Penulis →

Tjahjono Widarmanto

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar pascasarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) tahun 2006 di bidang Linguistik dan Kesusastraan. Beberapa buku puisinya antara lain  Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja sajak (Salah satu lima buku puisi terbaik versi HPI 2016), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018), dan Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *