Cerita Gudang di Belakang Rumah


Bapak tidak pernah memperbolehkanku membuka gudang di belakang rumah. Aku tidak pernah tahu mengapa bapak tidak memperbolehkanku, yang jelas bapak menyimpan sesuatu yang memang sangat rahasia dan mungkin hanya dia saja yang berhak tahu.

Beribu pertanyaan memenuhi kepalaku. Pertanyaan yang tidak akan pernah menemukan jawabannya apabila gudang itu belum bisa aku buka.

Dugaan-dugaan juga mulai mengaliri hari-hariku. Dugaan yang paling kuat tentang isi gudang yang sangat dirahasiakan bapak adalah burung-burung kecintaannya yang bernilai mahal dan hanya dia yang boleh memegang atau melihat atau merawatnya. Maka dengan itu, ia menyimpannya di gudang belakang rumah. Mungkin bapak menyulap gudang itu menjadi sangkar burung—untuk burung-burung kesayangannya.

Bapak memang gemar burung sejak aku kecil. Ia sering mengikuti perlombaan dan sayembara burung-burung. Baik yang diadakan di kampung sendiri atau di kampung lainnya. Bahkan pernah juga bapak ke luar provinsi hanya untuk melombakan burung-burungnya itu.

Pernah suatu kali aku diajak pergi ke luar kota untuk mengikuti perlombaan burung. Bapak bilang, bila burung yang dibawa bapak ini menang, maka nilai jualnya akan berlipat-lipat ganda naiknya.

Waktu itu bapak mengajakku naik kereta. Aku lupa di mana tepatnya, yang jelas kota itu lebih mewah dari tempat tinggal kita. Bangunan-bangunan menjulang tinggi ke atas, banyak juga kendaraan dan mobil-mobil. Jalanan yang biasa aku lihat lengang saat di rumah, kini terlihat padat seolah jalan itu begitu sempit.

Bapak membawa dua sangkar burung yang tentu di dalamnya berisikan burung. Katanya, bapak ingin melombakan keduanya. Bapak telah melatih dua burung itu selama tiga bulan lebih. Aku yang menyaksikan bapak hampir setiap malam memutarkan suara burung melalui HP dan mendekatkan hp itu ke kedua burung itu merasa aneh juga. Bukannya lagu-lagu malah suara burung yang memenuhi list lagu di HP bapak.

Namun namanya kesukaan, mau bagaimana pun tetap akan dilakukan. Sempat aku juga iri dengan burung-burung bapak, karena waktu untuk burung lebih banyak ketimbang waktu denganku. Kecintaannya pada burung tidak ada yang bisa menandinginya.

Hampir setiap hari kesibukan bapak berkutat pada burung-burung kesukaannya itu. percaya atau tidak, kehidupan sehari-hari kami juga bergantung dari perlombaan burung dan penjualan burung yang bapak menangkan.

Bapak pandai dalam hal ini seolah memiliki trik jitu agar burung-burungnya terus berkembang dan bisa menghasilkan uang yang melimpah. Sepertinya dulu sekali bapak membeli indukan burung itu dengan harga mahal, sehingga indukan itu selalu menghasilkan burung-burung yang berkualitas. Bapak pandai, ia tidak menjual induk itu, bahkan bapak juga berhasil menghasilkan induk-induk lainnya dan yang untuk diperlombakan biasanya anak-anak yang lahir dari induk berkualitas itu, tentu dengan latihan yang senantiasa bapak berikan.

Jika dari induknya sudah berkualitas, kata bapak, melatih anak-anaknya itu sangat mudah dilatih. Pantas saja bapak selalu menang di setiap perlombaan. Namanya juga roda kehidupan, pasti tidak selalu di atas, bapak juga pernah kalah dalam perlombaan. Dan burung-burung bapak juga pernah terserang penyakit sehingga hampir semua ternaknya mati. Musibah itu sempat membuat bapak sakit keras, namun bapak bangkit lagi guna menghidupiku.

Selain merawat burung-burungnya, bapak juga sering mendatangi gudang belakang rumah setiap pagi dan sore. Anehnya bapak mendatanginya ketika hendak mandi. Aku sempat mengikuti bapak, namun aku selalu ketahuan. Bapak memarahiku habis-habisan bahkan dulu bapak pernah memukuliku dengan rotan karena ulahku ini.

Semenjak itu aku tidak berani lagi membuntuti bapak dari belakang ketika hendak mendatangi gudang belakang rumah. Aku hanya mampu menduga-duga saja dan tidak pernah mengetahui apa sebenarnya isi dari gudang tersebut.

Gudang itu juga sudah dilengkapi bapak dengan duri-duri yang bapak buat sendiri dari besi. Selain itu bapak juga menutup rapat gudang itu sehingga tidak ada sedikit pun celah untukku mengintip isi dari gudang itu.

Aku pernah mencoba mengintipnya, tetapi yang terjadi malahan tanganku tergores duri itu. Aku meringis kesakitan sepanjang malam dan esoknya aku sembunyikan luka itu dari bapak. Aku tidak ingin bapak mengetahui luka akibat ulahku yang hendak mengintip isi gudang tersebut, bisa-bisa rotan andalan bapak mendarat lagi di tubuhku. Aku tidak ingin menderita sakitnya lagi.

Rasa penasaranku perlahan sirna. Meskipun masih ada sedikit di benakku, tetapi tidak sehebat dulu. Hari berganti hari, usia bapak semakin tua, begitu juga denganku. Aku sudah tumbuh menjadi dewasa yang menurut bapak berhasil. Aku bekerja di Bank bagian keuangan.

Tentu keberhasilanku ini tidak luput dari usaha bapak dan burung-burungnya. Untuk mengungkapkan rasa terima kasihku, aku yang menggantikan merawat burung-burungnya ketika bapak sakit. Bapak mengajariku banyak hal tentang burung. Ajaran itu menumbuhkan rasa suka padaku. Dunia perburungan aku tekuni. Setiap pulang dari kerja, aku langsung menuju kandang-kandang bapak yang tepatnya di samping gudang belakang rumah.

Namun bapak juga belum memperbolehkanku masuk ke gudang itu. Hanya bapak yang akan mengurus sendiri isi di dalam gudang itu. meskipun tubuhnya sudah tidak setegak dulu untuk berdiri, tetapi tetap saja bapak akan memaksakan diri untuk mengurus isi gudang itu setiap pagi dan sore.

Aku sudah tidak terlalu memusingkan lagi masalah itu. Toh aku juga senang bisa mengelola burung-burungnya sendiri yang mulai memberiku kebahagiaan dan hiburan baru untukku saat ini.

Mungkin andaikan di dalam gudang itu burung, maka suatu saat pasti bapak akan memberiku kesempatan untuk mengelola dan merawatnya, karena bapak mengatakan padaku cara merawat sama dengan cara merawat bapak. Katanya aku mengibaratkan burung-burung itu kekasih sehingga ketika memegangnya aku seperti sedang mengelus-elus punggung kekasihku. Sangat pelan, sangat teliti dan hati-hati.

Keanehan yang pernah aku ungkapkan, kini malah aku rasakan menjadi kebahagiaan yang selalu menuntunku agar tidak jauh-jauh dari burung-burung ini. “Jadi begini rasanya kebiasaan bapak dulu” batinku sembari tertawa-tawa sendiri karena geli membayangkan diriku menjadi seperti bapak.

Suatu waktu, sakit bapak semakin parah. Aku yang khawatir, langsung membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit bapak mendapatkan perawatan intens di UGD. Sakitnya sudah bukan sakit biasa lagi, begitulah kata dokter ketika aku sampai di rumah sakit dan bapak di bawa langsung ke UGD.

Tiga puluh menit aku menunggu. Akhirnya dokter keluar. Katanya bapak memintaku untuk masuk ke ruangan. Aku mengangguk, mengekor dokter masuk ke ruangan UGD.

“Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, Nak.” Bapak berkata serius sambil terbatuk-batuk.

“Ada apa, Pak?” Tanyaku dengan penuh hati-hati. Apakah bapak ingin memberiku wasiat? Atau semacam pesan terakhir? Tidak, aku tidak ingin itu terjadi. Aku berharap bapak sembuh dan menemani hari-hariku lagi.

“Bapak sudah mengajarkanmu cara merawat burung-burung itu kan, Nak?” bapak terbatuk lagi setelah mengucapkan kalimat itu. Namun kali ini batuknya agak parah, suster yang mengetahui itu segera mengambilkan segelas air putih.

“Iya, Pak, aku tahu.” Kesedihan mulai menyelimutiku ketika melihat bapak seperti itu. tanganku mengggenggam tangan bapak secara erat.

Sebelum bapak melanjutkan lagi. dokter meminta agar bapak beristirahat sejenak, baru diperbolehkan berbicara lagi. bapak menyetujui. Aku masih berada di ruangan itu dengan pakaian khusus.

Dokter dan suster meninggalkan kami. Katanya kalau ada apa-apa tinggal pencet bel saja. Dokter tidak keluar ruangan, hanya saja di kantor kecil yang ada di dekat pintu ruangan UGD.

“Tolong jaga burung-burung bapak. Jangan sampai burung-burung itu mati, Nak.” Bapak berujar lagi setelah merasa agak enakkan.

“Dan bapak ingin memberitahumu rahasia yang selama ini bapak sembunyikan darimu. Bapak merahasiakan ini bukan karena kamu tidak boleh tahu, tetapi karena waktunya saja belum tepat.” Bapak menambahi lagi, namun kali ini dengan derai air mata.

“Tentang isi gudang di belakang rumah, Pak?” Aku langsung bisa menebak.

Bapak mengangguk, “Sebenarnya isi gudang itu bukanlah burung-burung kesayangan bapak atau burung-burung istimewa yang hanya bapak ketahui. Tetapi di dalam gudang itu ada mayat ibumu yang bapak awetkan.” Tangisan bapak menjadi-jadi disaat aku terperangah mendengar penjelasan itu.

“Kenapa bapak melakukan itu?”

“Selama ini aku selalu membohongimu perihal ibumu Nak. Ibumu meninggal sejak usiamu dua tahun. Bapak tidak ingin menguburkannya karena bapak masih mencintai ibumu dan tak mau kehilangan ibumu. Bapak ingin ibumu dimakamkan bersamaan dengan dimakamnya bapak, Nak. Setiap pagi dan sore kenapa bapak masuk ke gudang itu? Karena bapak memandikan ibumu agar tubuh ibumu tetap utuh dan tidak menimbulkan bau.” Setelah mengucap itu bapak batuk hingga muntah darah. Aku menjerit, lalu memencet bel. Dokter dan suster datang menangani bapak.

Aku menangis, antara sedih, bingung, menyesal atau apalah bercampur menjadi satu di pikiranku saat ini. Tangisku semakin pecah ketika kondisi bapak semakin parah.

“Nak, mungkin sudah saatnya bapak dan ibumu dimakamkan bersamaan.” Bapak tersenyum lalu tiba-tiba tersedak, aku menangis karena dokter mengatakan kalau bapak telah meninggal.

***

Aku membuka gudang itu dan menemukan sebuah kamar dengan tempat tidur dan penghiasan seperti kamar pengantin. Dengan dibantu tetangga aku membopong jenazah ibu sambil terus-terusan menangis.

Prosesi pemakaman berlangsung. Bapak dan ibu dimakamkan berjejer di sebuah pemakaman yang tak jauh dari rumah. Tidak ada yang bisa aku perbuat lagi, selain menangis. (*)

Solo, 9 Februari 2020


Bagikan:

Penulis →

Khairul Anam

Nama panggilan dari Muhammad Khairul Anam. Lahir di Surakarta, 14 Februari 1998. Mahasiswa IAIN Surakarta. Aktif menulis Cerpen, puisi, dan resensi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media. Novel yang pernah di terbitkan: Cahaya-Nya(Oase Pustaka, 2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *