Judul Buku : Asteroid dari Namamu Penulis : Galeh Pramudianto Penerbit : Basabasi Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2019 Halaman : 128 ISBN : 978-602-5783-65-4
Sebuah realitas di mana alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos bertemu, dan menyatu, lantas hadir dalam sebentuk simultanitas. Sebuah realitas di mana teknologi sebagai citraan masa depan yang digital dan permenungan sebagai aktivitas masa kini yang analog bertemu, berbenturan, atau berkelindan satu sama lain. Sebuah realitas di mana realitas itu sendiri digugat, dipertanyakan-ulang, dicoba-lampaui, dalam upaya menuju sebuah realitas baru yang dijalani oleh entitas-entitas pasca-manusia. Itulah kiranya yang coba ditawarkan puisi-puisi Galeh Pramudianto dalam Asteroid dari Namamu (BasaBasi, 2019), khususnya di bagian pertamanya—Setelah Dentuman Besar.
Yang menarik dari apa yang ditawarkan Galeh ini, tentu saja, adalah hadir dan terasanya sebuah situasi tarik-menarik, sebentuk tegangan, dan kita selaku pembaca dibuat terjebak di dalam situasi ini, terombang-ambing, seperti gamang akan dibawa ke mana dan menjadi (si)apa di sana. Sewaktu-waktu kita diajak untuk berpikir bahwa realitas analog yang sampai saat ini masih kita jalani akan terlewati, akan terlampaui sebagai sesuatu yang silam, namun di waktu-waktu lain kita didorong untuk beranggapan bahwa realitas digital yang serba-mudah dan serba-praktis yang akan menggantikannya itu bukanlah sesuatu yang baik bagi kita; sebab ada sejumlah banyak kegelapan yang menyertainya dan mereka pada akhirnya bisa saja akan menghancurkan kita. Umat manusia di ambang menuju kehancuran tersebut dan seperti tak punya cukup daya dan kuasa untuk mencegahnya terjadi, dan si pemeran utama dalam membayangnya ancaman ini tak lain dan tak bukan adalah mereka sendiri. Homo sapiens membentuk masa depan mereka, di planet ini, di alam semesta ini, dan masa depan itulah yang kelak akan menyingkirkan mereka, membuat mereka punah.
Akan tetapi realitas yang dihadirkan Galeh dalam puisi-puisinya tidak semuram dan segelap itu. Masih ada sebentuk optimisme, meski sekilas kadang tak terasa seperti optimisme. Ia hadir dalam wujud perayaan-perayaan atas realitas yang saat ini tengah berjalan, yang cenderung sangat individual dan personal, yang sebagian berasal dari permenungan sebagai aktivitas analog tadi. Adapun wujud konkretnya bisa berupa kesedihan, atau kerinduan, atau harapan, atau perasaan yang membuai; hal-hal yang akan lekas mengingatkan kita bahwa kita masih manusia dan bahwa realitas analog yang tengah kita jalani inilah yang paling nyata, yang secara konkret benar-benar ada—kita indrai dan rasakan dengan tubuh dan diri kita. Kita mungkin memang dihadapkan pada akan datangnya realitas pasca-manusia yang muram dan gelap itu, tetapi bukan berarti kita lantas akan melupakan realitas yang tengah kita jalani saat ini. Kita bisa menikmatinya, atau paling tidak menenggelamkan diri kita di dalamnya.
Simak, misalnya, satu bait dari puisi berjudul “Partikel Hantu” ini—efek cetak miring dari saya: di hadapan cinta/ bunuh diri terjadi/ berulang kali. Sesuatu yang sentimental. Sebuah permenungan yang memaksa kita menjejak di saat ini. Bait ini diletakkan tepat sebelum bait terakhir yang benar-benar jauh dari sentimentalitas itu, yang juga menjauhkan kita dari diri personal kita: di hadapan neutrino/ massa tak kasatmata/ dan lesap di kerak bumi. Sedangkan situasi yang adalah paduan dari keduanya kita dapati saat membaca satu bait panjang tepat sebelumnya, yang menguatkan efek terombang-ambing yang kita rasakan itu: sesuatu telah datang/ dan aku melihatmu bergantungan/ dari selubung ke selubung/ dan materi bergelayut tak pasti/ seperti parafrenia/ di atas bukit/ atau gema tak berujung/ menggelepar di ekor/ dan memantul di dinding detektor. Bisa kita lihat, yang saintifik dan yang personal bertemu, mungkin berusaha menyatu, atau justru saling menghantam satu sama lain. Sebuah realitas yang kita singgung di awal tadi. Sebuah realitas yang menjebak kita di dalam kegamangan dan keterombang-ambingan. Dan kita, Homo sapiens, bisa memilih untuk menenggelamkan diri kita di dalamnya; mencoba menikmatinya.
Hal serupa kita dapati di puisi berjudul “Setelah Dentuman Besar”. Simak salah satu baitnya ini: Setelahnya/ yang terjadi adalah/ daun-daun gugur/ pohon trembesi menjadi besi/ bangku taman punah/ bersama tanah-tanah terjajah. Lagi-lagi sebuah sentimentalitas, meski kali ini sifatnya cenderung komunal alih-alih individual, politis alih-alih personal. Dan berikut bait setelahnya: Semesta kian meluber/ membeberkan ihwal nasab/ di tikungan nasib/ menggarami udara kian muhal/ menjelma teriakan penuh sesal. Dan berikut bait sebelumnya: Gugusan galaksi mewarnai/ kelahiran bintang menerjang cahaya/ tirai kosmik telah terbuka/ pada horison suatu masa/ telah menjadi kalender abadi/ dihadirkan Tuhan ataupun entah. Dua bentangan makrokosmos. Keduanya mengapit mikrokosmos tadi. Sebagai akibatnya keterombang-ambingan pun jadi sesuatu yang niscaya. Kita sebagai pembaca dibawa untuk mengalami keduanya secara bergantian, dalam sebuah pengalaman yang dari dekat mungkin terasa temporal namun dari jauh terasa spasial; seakan-akan ada sebentuk simultanitas jika kita melihat si puisi secara keseluruhan. Dan apa yang kemudian kita rasakan, selain keterombang-ambingan itu? Tentu saja kegamangan yang kita singgung di awal tadi. Kita tidak tahu akan dibawa ke mana atau menuju ke mana. Dan kita pun tidak tahu di sana kita akan menjadi (si)apa. Dan dari kegamangan ini muncul permenungan-permenungan lain, pertanyaan-pertanyaan eksistensial lain, seperti tergambarkan di sebuah bait puisi berjudul “Setelah Data” ini: aku seperti ikan di sebuah hologram/ diproyeksikan ke permukaan bak air/ tenggelam dalam enigma kaca/ dan dinding-dinding kolaps di sekelilingmu/ menembus ruang dan menguliti waktu.
___
Kegamangan, keterombang-ambingan; dua hal ini senantiasa membayang-bayangi kehidupan kita, sejak dulu, sedari si “manusia pertama” ada. Kita seperti “bermukim/ pada geliat cemas/ yang tak pernah padam”, sedangkan “waktu terus menderu/ bersama kidung antariksa”—dari puisi berjudul “Bintang Jatuh”. Kita seperti “datang untuk sehelai jawaban”, namun malah “pergi dengan berlembar-lembar/ pertanyaan”—dari puisi berjudul “Hibernasi”. Namun ada satu kabar baik: kegamangan dan keterombang-ambingan ini mendorong kita untuk bergerak maju, membangun peradaban demi peradaban, mengembangkan sains dan teknologi untuk membentuk masa depan kita sendiri; sebuah masa depan yang, dalam bayangan kita, akan bisa kita kendalikan, akan bisa memberi kita kebaikan-kebaikan. Sayangnya, ada juga kabar buruknya. Dalam upaya membentuk masa depan yang kita bayangkan tersebut kita melakukan kesalahan demi kesalahan, kita berbuat kerusakan demi kerusakan, dan pada akhirnya yang dilahirkannya kemudian adalah kegamangan dan keterombang-ambingan itu, sehingga kita seperti terjebak dalam semacam siklus penderitaan yang mungkin kekal. Semula kita mengira kita “lebih dekat dengan bintang”, bahwa pencarian yang kita lakukan adalah “pencarian cahaya”, namun ternyata yang sebenarnya kita lakukan adalah “pencarian kegelapan”, dan kita pun kembali “terpental dari surga”, “jatuh ke bumi karena dosa”—dari puisi berjudul “Hibernasi”. Dan dengan “dosa” yang kita tanggung inilah kita kembali memulai perjalanan kita di dunia ini, sebagai manusia.
Dan itu artinya kita akan kembali berhadapan dengan momen-momen sentimental tadi, dengan saat-saat di mana diri personal kita muncul, seperti tergambarkan di puisi berjudul “Multisemesta”. Dua barisnya ini, misalnya: Aku mendengar suaramu jauh dari sini/ pantulan gemanya memanggil-manggil namaku. Membiarkan diri kita tenggelam dalam sentimentalitas ini, kita lantas “mengembung menjadi gelembung tak terhitung/ serupa air yang dididihkan dalam panci”. Namun ingat, sebab kita bisa memilih untuk menikmatinya, kita bisa mencoba untuk merangkul sedikit optimisme: bicaralah padaku kasih/ meski kau jauh dan dikerubungi pilu/ suaramu masih terdengar nyaring. Dan sekali lagi kita pun menjejak di saat ini, mencoba menikmati realitas yang tengah kita jalani ini. Memang kita masih merasa gamang dan terombang-ambing, dan dari situ permenungan-permenungan muncul, dan yang kita dapati setelahnya hanyalah pertanyaan-pertanyaan eksistensial lainnya, tetapi kita tak perlu terpuruk, sebab kita bisa mencoba meyakini bahwa jawaban untuk pertanyaaan-pertanyaan tersebut akan kita temukan suatu hari nanti, meski mungkin bukan oleh kita tetapi oleh orang-orang setelah kita, seperti tergambarkan di bait ini: Apakah kita sendirian?/ pertanyaanmu tertanam/ di benih waktu/ dan bisa kita tuai/ setelah kepunahan kesekian.
Kita, dengan kata lain, bisa memilih untuk tidak menjalani kehidupan ini dalam kemurungan yang tak habis-habis, yang pada akhirnya bisa membuat kita putus asa. Caranya sekali lagi adalah dengan menikmati momen-momen sentimental itu, dengan menenggelamkan diri kita di dalamnya, lantas mencoba-leburkan yang sentimental dan personal itu dengan yang rasional dan saintifik. Bisa jadi kemurungan itu masih ada, masih benar-benar ada, namun ia justru bisa membuat kita jadi kuat, dan optimis. Dan kepada seseorang yang kita cintai kita pun mengatakan sesuatu seperti ini: cintaku padamu seperti kehancuran dunia/ akan tiba pada suatu masa/ semesta membeku dan lenyap/ dan kita masih bebal pada suatu harap. Atau sesuatu lainnya seperti ini: kita melipat jarak dengan sebuah pertanyaan/ di mana waktu berhenti oleh hangatnya ketidakpastian.
___
Makrokosmos dan mikrokosmos, ketika keduanya bertemu, pada akhirnya tak saling menghilangkan satu sama lain. Justru keduanya saling melengkapi, memperkaya realitas yang tengah kita jalani. Dan kita tentulah masih menjalaninya sebagai manusia, sebagai bagian dari satu-satunya spesies Homo yang tersisa di planet ini. Dan sebab melakukan permenungan demi permenungan adalah sesuatu yang natural bagi kita, kita pun terus melakukannya, dari waktu ke waktu. Kita, misalnya, untuk kesekian kalinya bertanya-tanya apa itu surga, seperti apa itu kehidupan setelah kehidupan ini. Dan, sebagaimana yang kita dapati di salah satu bait puisi berjudul “The Conquest of the Pole”, kita pun menyimpulkan seperti ini: atau barangkali/ surga sudah abadi/ dalam petualang kepala/ dan tubuh yang terpenggal/ mengerucut di arus komikal/ hingga/ kamera telah berpindah/ dan penonton tenggelam/ dengan indah.
Permenungan-permenungan seperti inilah yang membuat kita tetap manusia. Dan di tengah ancaman akan datangnya masa depan yang didominasi oleh entitas-entitas pasca-manusia, permenungan-permenungan tersebut jadi terasa begitu penting, sebab dengan melakukannya kita seperti melakukan perlawanan terhadap realitas pasca-manusia yang tengah menanti dan mengancam kita itu. Tidak apa menjadi sentimental. Tidak apa sesekali tenggelam di dalam sentimentalitas dan kembali mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya telah berulangkali dipertanyakan. Itu bagian dari meng-ada di kehidupan ini sebagai manusia. Itu sesuatu yang sewajarnya kita lakukan sebagai manusia. Terkait hubungan personal dengan seseorang yang kita cintai, misalnya, seperti tercantum di puisi berjudul “Kucing Schrödinger”, kita bisa bertanya seperti ini: Jika kucing Schrödinger/ dapat hidup dan mati/ di waktu bersamaan/ mengapa aku tidak bisa/ memilikimu/ di saat aku/ kehilanganmu? Atau, sebagaimana tercantum di puisi berjudul “Saturnus”, kita bisa berkata seperti ini: Aku ingin berjalan/ dalam lengkung cincinmu/ atau terbang menuju bulan/ Di haribaan Titan/ tanpa majal ataupun ajal.
Sentimentalitas. Permenungan-permenungan yang mengarahkan kita ke sentimentalitas. Rupa-rupanya bagi kita hal ini begitu penting sampai-sampai kita tak bisa menjalani hidup tanpa melakukannya, tanpa berhadapan dengannya, tanpa menenggelamkan diri kita di dalamnya. Jika masa depan berupa realitas pasca-manusia itu kita posisikan sebagai sesuatu yang mengancam eksistensi kita, yang pada akhirnya akan membuat kita punah dengan sendirinya, melakukan permenungan-permenungan itu bisa jadi sebuah coping mechanism, sebuah coping strategy, agar kita bisa bertahan dan bertahan, agar kita bisa mencoba sedikit optimis dan bergerak maju. Sebab hidup ini, sebagaimana dikatakan si aku-lirik dalam puisi berjudul “Fragmen Nördlingen”, “bisa jadi anugerah/ bisa jadi keluh kesah”, namun kita bisa mencoba untuk “percaya bahwa hantaman/ ialah halaman panjang masa depan”. Kita umat manusia masih punya masa depan, dengan kata lain. Atau paling tidak kita bisa berharap masa depan itu ada, yakni sebuah masa depan yang, dalam bayangan kita, akan bisa kita kendalikan dan memberi kita kebaikan-kebaikan.
Namun tidakkah itu berarti kita menipu diri kita sendiri, sebab itu tak ubahnya kita membayangkan sesuatu yang baik akan menyambut kita padahal kita sesungguhnya yakin betul bahwa yang akan menyambut kita itu adalah sesuatu yang buruk—bagi kita? Itu pertanyaan bagus. Benar-benar pertanyaan bagus. Kerusakan-kerusakan yang telah diperbuat umat manusia di planet ini, kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan sejauh ini, memang lebih berpeluang membuat planet ini kelak tak akan lagi bisa kita huni. Dan realitas pasca-manusia yang menanti kita itu, kiranya, tak akan seramah dan sebaik yang kita harapkan. Tetapi ia, masa depan tersebut, sejatinya masihlah sesuatu yang belum konkret, yang belum benar-benar ada, yang masih hanya ada di dalam bayangan kita. Dan kalaupun memang ia seburuk itu, kita toh tidak tahu pasti akan menjadi seperti apa kita di saat itu, ketika ia akhirnya menjadi konkret dan benar-benar ada. Kita, dengan kata lain, mungkin tak perlu juga terpuruk memikirkannya. Dan sebagai gantinya kita bisa menikmati apa yang ada saat ini, realitas yang tengah kita jalani ini, hal-hal yang benar-benar konkret dan kita tahu pasti itu apa. Mengutip pernyataan si aku-lirik di puisi berjudul “Lubang Hitam”: hitam bukanlah warna/ ia hanyalah kisah-kisah peragu/ yang tak tahu ke mana/ akhirnya akan dibawa.(*)
—Cianjur, 22 Maret 2020