Dongeng-dongeng Sebelum Lelap


MATA PENYAIR

PENYAIR yang menyepi di dalam gua itu sebenarnya betah dengan hidupnya. Tapi semakin lama semakin tumbuh suatu keyakinan di dalam hatinya. Keyakinan bahwa ada yang lebih indah selain di dalam gua. Makanya dia selalu berdoa seperti ini: “Tuhan, tunjukkanlah kepadaku pemandangan terindahMu. Aku yakin, semua pemandangan yang ada di sini bukanlah pemandangan terindahMu.”

Penyair itu pun lalu berdiri di mulut gua. Angin semilir menebarkan sejuk-segar. Matahari mulai terbit di ufuk timur. Cahayanya memendar di awan-awan di barisan pegunungan dipantulkan dedaunan dan danau yang terhampar luas. Tapi penyair itu yakin, bukan itu pemandangan terindah.

Suatu sepertiga malam saat penyair itu khusuk berdoa, dia mendapat bisikan untuk turun gunung menuju ke keramaian. Pagi masih sunyi ketika penyair itu memasuki gerbang perkampungan. Orang pertama yang melihatnya, tidak berkedip matanya. Orang kedua dan selanjutnya masih sama saja. Mereka terpesona dengan penyair itu. Terpesona dengan indah dan cemerlangnya mata penyair itu.

Penyair itu semakin masuk ke perkampungan. Semakin banyak orang yang tidak bisa mengedipkan matanya. Mereka diam-diam mengikuti ke mana penyair itu melangkah. Semakin jauh mereka mengikuti semakin tumbuh keyakinan di dalam hati mereka. Keyakinan bahwa dengan mata seindah itu mereka pasti bisa melihat keindahan dunia. Keindahan dunia yang sudah lama hilang dari hidup mereka.

Ketika sampai ke sebuah lapangan, tiba-tiba orang-orang kampung itu menyerbu sang penyair. Mereka menangkap, menjatuhkan, memiting dan mencongkel dua mata sang penyair dengan sendok. Sepasang mata indah itu seperti bola, jatuh ke tanah lalu memantul tinggi dan jatuh di tempat jauh. Orang-orang mengejarnya. Berebutan. Dan lapangan itu pun sepi kembali.

Penyair itu berdiri. Dia terpesona, sehingga memar dan nyeri sekujur tubuhnya tidak dirasakannya. “Tuhan,” katanya dengan suara bergetar. “Keindahan hakiki itu, keindahan abadi itu, terasa sampai ke seluruh pori terkecil tubuh ini. Keindahan terindah itu, keindahan menggetarkan itu, ternyata terlihat begitu nyata, setelah tidak punya mata.”



MONYET BERTAPA

SEEKOR monyet bertapa di tengah hutan. Dia berdoa dan berdoa, kepada Tuhan, agar dijadikan seekor kupu-kupu. Ya, monyet itu sangat terpesona dengan keindahan kupu-kupu. Saat itu musim bunga tiba. Di pinggiran dan lembah hutan bunga-bunga bermekaran. Monyet itu terpana melihat kupu-kupu terbang dari bunga ke bunga. Warna-warni tubuhnya begitu indah. Gemulai terbangnya begitu mempesona.

“Ya, Tuhan, betapa indahnya kupu-kupu yang terbang di taman-taman bebungaan. Betapa saya baru sadar, tubuh ini begitu buruk rupanya. Sekali dalam hidup yang singkat ini, ya Tuhan, jadikanlah saya seekor kupu-kupu yang indah,” doa monyet itu.

Karena doanya terus diulang dan begitu khusuk, lambat laun tubuh monyet yang bertapa itu berubah. Siang dan malam perubahan itu terjadi, perlahan, dan semakin nyata. Monyet itu tidak menyadarinya karena khusuk berdoa. Dan saat perasaannya menjadi lain, monyet itu bahagia. Dia merasa tubuhnya sudah berubah. Dia berlari ke sana ke mari mencari cermin.

Di tepi sebuah danau berair bening, monyet itu terkejut. Hatinya begitu sakit. Tubuhnya menggigil. Perasaannya hancur. Ya, karena monyet itu sekarang sudah berubah menjadi seekor ulat bulu. “Engkau begitu kejam, ya Tuhan. Engkau begitu kejam!” teriaknya. “Aku berdoa minta sesuatu yang indah malah dijadikan yang buruk rupa.”  

Sejak itu, monyet yang sudah berubah jadi ulat bulu itu, tidak mau lagi berdoa. Dia marah kepada Tuhan.




DUA PEMBURU

Dua orang pemburu sedang di tengah hutan. Senapan laras panjang terikat di punggungnya. Pistol terselip di pinggangnya. Tidak lupa golok untuk mencincang hewan buruan dan belati kecil untuk menguliti. Ransel isi perbekalan juga mereka bawa.

Sejak memasuki hutan lebat itu, dua orang pemburu yang bersahabat itu tidak berhenti saling cerita.

“Bila nanti kita mendapatkan seekor harimau, untuk saya saja kulitnya,” kata pemburu satu. “Katanya harganya mahal di kota. Saya butuh buat biaya membetulkan rumah yang sudah bocor-bocor. Takut rubuh duluan.”

“Bukannya menghalangi, saya juga sedang butuh buat modal menanam padi di sawah. Kita berangkat bareng saja ke kota, kita jual juga dagingnya, katanya daging harimau itu mahal juga,” kata pemburu dua.

“Begitu juga bagus.”

Dua pemburu itu tidak menyadari, tidak jauh dari mereka ada seekor harimau Jawa yang mencium adanya manusia. Harimau itu mengintip. Dua pemburu itu terkejut ketika ada harimau sebesar anak sapi meloncat ke hadapan mereka. Pemburu satu berlari menubruk apapun di sekitarnya. Dia menjatuhkan ransel dan senapannya, lalu naik ke pohon besar. Pemburu dua yang tidak sempat kabur, terduduk lemas. Celananya basah. Dia memejamkan mata saking takutnya. Pasrah kepada nasib. Harimau itu berjalan perlahan mendekat pemburu dua. Suara auuummm-nya menggetarkan hutan. Tapi dia tidak menerkam. Harimau itu hanya berbisik, lalu berlalu.

Setelah sadar dari ketakutannya, pemburu dua wajahnya berdarah lagi. Pemburu satu juga turun dari pohon.

“Alhamdulillah kita selamat. Tapi saya heran, harimau itu tidak menerkam, malah hanya berbisik kepadamu. Apa sebenarnya yang dibisikkannya?” tanya pemburu satu.

“Kata harimau, jangan banyak omong tentang kulit dan daging harimau sebelum menangkap harimau!”

(Kisah ini ditulis sambil membayangkan salah satu cerita Jalaludin Rumi)




TAMAN TERINDAH

SAMPAI ke taman terindah itu saat senja memancarkan pesonanya. Lembayung kuning menyebar di langit barat. Memantul di bebungaan. Mawar, aster, melati, bakung, dahlia, menyerap pesona lembayung, memantulkan cahaya jingga yang menggetarkan semua jiwa. Melati, sedap malam, kemuning, menebarkan harum  ke setiap tarikan napas membuat mata terpejam, mengalir di dalam darah di dalam tulang di dalam daging di dalam pori-pori terkecil dari tubuh.

Kupu-kupu warna-warni beterbangan lalu hinggap di bebungaan menyerap madu nektar yang manis yang harum yang menyehatkan jiwa dan raga. Air telaga yang bening beriak ketika selembar daun jatuh. Sepasang semut yang hinggap di daun kuning terkejut cemas tapi kemudian merasa sedang berbulan madu di lautan luas yang tenang. Ikan mas warna-warni merah kuning hitam menari di permukaan menyambut lembayung kuning dan menunggu cahaya rembulan. Sepasang burung dalam perjalanan pulang masih sempat hinggap di reranting pohon dan bernyanyi riang sebelum melanjutkan pulang ke sarang.

“Taman apa ini, begitu indah dan mempesona,” bisik saya dengan suara bergetar.

Bidadari yang memandu perjalanan ini tersenyum lembut. “Taman ini, taman yang selalu indah ini, ada di dalam hatimu yang paling rahasia, di dalam perasaan terdalammu, di dalam kebijaksanaan paling menggetarkanmu, yang sepanjang usiamu belum pernah kamu kunjungi,” katanya merdu.

Saya menunduk dan menangis, tanpa airmata, tanpa suara. Begitu indah.

Bagikan:

Penulis →

Yus R. Ismail

Menulis cerpen, novel dan puisi, dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Buku terbarunya In The Small Hours of The Night terjemahan C.W. Watson (Lontar, 2019) memuat 5 carpon-nya. Novel Tragedi Buah Apel terpilih sebagai Pemenang Pertama Lomba Novel Anak penerbit Indiva 2019. Cerpen dan puisinya pernah dipublikasikan Media Indonesia, Jawa Pos, detik.com, Kompas.id, Magrib.id, Koran Tempo, Kompas, Femina, Nova, basabasi.com, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Lampung Pos, Padang Ekspress, Republika, dsb.
Sekarang tinggal di kampung Rancakalong, menanam bebungaan dan menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *