INI masih senja, ketika aku berbincang dengan Tom di beranda rumah. Lelaki itu kutemukan dengan segelas kopi hitamnya, berwajah sedikit suram dan kepala yang tertunduk. Mujur aku datang, dengan senyum terkulum ia seperti sudah menanti-nanti kedatanganku dalam hitungan jamnya yang kesekian.
Tom memakai topinya. Ia bilang seperti hendak menuntaskan harinya petang itu, entah bagaimana. Ada semacam gelisah terbenam di bola matanya yang sedikit merah. Ia bilang kesal pada malam. Sebab dalam gelap ia harus menyusuri jalanan, mencari-cari sesuatu yang orang lain belum terpikirkan.
Pekerjaan itu benar-benar merampas kebahagiaannya. Dia bilang begitu. Bukankah meneguk kopi akan lebih nikmat jika diteguk sedikit demi sedikit, lalu menyentuh hujung lidah? Bukan menuntaskannya begitu saja dalam hitungan satu cawan? Itulah yang membuat Tom muak. Ia rindu menikmati kopi dengan santai di teras itu.
Tom, dia bilang jenuh jadi wartawan. Dia ingin pulang ke kampung jadi petani gandum saja. Bukankah itu lebih manusiawi? Ketika kita bisa tersenyum di pagi hari tanpa harus takut dengan pahitnya kopi yang terburu-buru diteguk dalam suhu yang panas?
Kadang Tom tertawa. Ia menertawakan nasibnya. Sudah puluhan tahun menjadi budak malam, tetapi hanya sekedar sepatu kulit baru pun sulit ia ganti setiap awal bulan. Tom sebenarnya rajin, teramat rajin. Bahkan di antara pria-pria beruntung di kota ini, Tom lah yang paling beruntung. Suatu malam ia dijemput seorang redaktur ternama sebuah koran di kota ini. Ia dilamar dengan rayuan paling jalang untuk bekerja di media itu. Bukan tanpa pertimbangan, Tom terpaksa menerimanya karena ia ingat dulu pernah memiliki semacam kamera mirror di kampung. Ia jaga dan simpan kamera itu, hingga 10 tahun kemudian ibunya berpulang. Dan di tengah kata-kata ibunya yang terakhir, Tom diminta menjaga kamera itu, dengan cara apapun.
Tom pun tak ada pilihan. Permintaan redaktur itu terlalu sulit ditolak. Tom bilang ia tersanjung. Satu hal langka yang tak pernah dialami pemuda seusianya. Ya, saat itu Tom baru berusia 18 tahun.
Bertahun-tahun Tom menikmati pekerjaannya. Ia senang, bahagia, suka, ceria. Hingga tibalah kabar buruk, paling buruk dalam sejarah yang pernah kudengar. Bukan Tom yang dipecat, bukan pula redaktur itu mengkhianatinya. Entah kenapa, Tom seolah-olah dikhianati para pembacanya. Koran-koran yang ia tulis dalam malam-malamnya tak lagi disukai orang. Sebenarnya terlalu tak pantas mengatakan orang-orang kehabisan uang membeli lembar-lembar berita itu. Sebab rupanya mereka punya benda-benda baru dengan layar bergerak yang menyambut pagi mereka dengan senyuman, suara indah dan musik-musik yang mengalun. Orang-orang tak lagi tertarik membaca tulisan-tulisan Tom.
“Aku tak putus asa, aku masih menjaga kameraku, kamera titipan ibuku,” ujar Tom dengan suara paraunya.
“Kau jadi fotografer?”
“Terlalu indah,”
“Lalu?”
“Lebih tepatnya memotret setiap kabar buruk manusia. Mereka yang terbangun akan terkejut melihat foto-fotoku, bahkan mereka menangis.”
“Tapi kau dapat uang kan?”
“Mungkin kau berpikir uang segalanya, tapi kau akan tahu pekerjaan yang kujalani itu demikian buruknya saat kau melihat orang-orang menangis melihat apa yang kutampilkan dalam pekerjaan itu.”
“Aku tak mengerti, tapi kau bilang ingin menyelamatkan kameramu.”
“Entahlah, aku seperti tak sanggup lagi bekerja di malam hari.”
“Kau ingin pulang? Aku ada uang untuk sekedar beli tiket. Kereta ke Minneapolis untuk minggu depan bisa kupesan.”
“Kau terlalu baik, nanti sajalah. Aku ingin menuntaskan malamku dulu.”
“Ya setidaknya mungkin bisa untuk menjernihkan pikiran. Aku ingat kolam di belakang rumahmu itu airnya hijau dengan ikan-ikan merah yang mungkin sekarang sudah berkembang biak.”
Tom tersenyum geli. Untuk pertama kalinya sejak tiga bulan terakhir Tom tertawa lepas. Ia senang. Tetapi kembali matanya meredup.
“Sudah mulai malam, aku harus pergi.”
“Sampai kapan kau akan menjaga kameramu itu?”
“Setidaknya malam ini, kau simpankan satu buah tiket untukku. Besok pagi aku akan pulang. Jangan lupa kau buatkan kopi hitam paling pahit untukku, pertanda aku sudah menuntaskan malam.”
“Hanya itu?”
“Satu lagi, satu gelas bir.”
“Kau masih berpikir menyambut kemenangan dengan minuman itu?”
“Dan kau masih selalu jadi ustadz kampung dari negaramu.”
“Oh no,”
“Sudahlah, aku pergi.”
Tom pun pergi. Sebuah ransel yang jarang dibawanya ia bawa. Apa benar ia ingin menuntaskan malam terakhirnya dengan benda-benda itu. Pikiran di kepalaku terasa rumit
***
Seperti permintaan Tom, aku tinggal di flat ini untuk menghabiskan malam. Menunggu Tom pulang di pagi hari lalu mungkin akan benar-benar membelikannya tiket kereta ke Minneapolis. Menikmati malam di atas bangunan setinggi enam meter ini memang istimewa. Patutlah Tom sangat bahagia jika satu malam saja tak ada panggilan di telponnya. Ia biasa menikmati bulan separuh di teras kamar. Kadang-kadang ia mengundang Kris dan kadang juga aku. Tom bilang malam itu indah. Malam itu kehidupan dan kebahagiaan. Mungkin suatu hari ia ingin bersahabat dengan malam lebih akrab lagi, tak seperti sekarang.
Malam itu aku menggantikan posisi Tom. Duduk menyendiri di teras sambil memandang terang benderang kota yang bersinar. Aku merasakan waktu yang begitu panjang. Mungkin itulah yang namanya kesendirian, sesuatu yang sebenarnya nama lain dari kejenuhan.
Ini pekerjaan membosankan. Menunggui sahabatmu pulang di pagi hari lalu tidur di tempat yang sedikit kotor. Tom tak punya alasan untuk membersihkan kamar itu. Bahkan ia pun sebenarnya membencinya. Tom ingin bersih-bersih, tetapi panggilan dari redaktur itu selalu membuat wajahnya suram.
“Kadang aku berpikir kerapihan itu tak penting, nyatanya aku tetap sehat dengan kamarku yang begini.”
Sebenarnya itu bahasa halus Tom agar akulah yang merapikan kamarnya. Kadang-kadang karena tak tahan melihatnya, aku memilih membantunya.
“Kau orang Indonesia yang baik, kenapa kau bisa berbenah di kamar orang asing sepertiku? Atau karena, ya karena pekerjaan rutinmu itu ya? Maksudnya lima waktu itu. Aku pernah membacanya dalam sebuah jurnal dosen di kampusku dulu. Katanya begitu, kau bisa jadi disiplin dari rapi dengan pekerjaanmu itu. Lima waktu? Apa ya, aku benar-benar lupa namanya.”
Tak pernah tuntas memang menceritakan Tom. Kufokuskan saja suasana hatiku pada malam. Entah sudah berpuluh kali jarum jam berputar di jam weker hitam sudut kamar. Aku mengusap-usap mata. Benarkah? Atau benda itu benar-benar sudah kehabisan baterai sehingga ia melaju begitu cepat. Jarum pendeknya menepati angka delapan. Tetap suasana di balik jendela masih hitam. Malam belum pergi. Jam itu benar-benar sudah gila. Lalu aku berlari menatap ponsel. Rupanya ponselku sama gilanya, angkanya pun sudah delapan di sana. Kuputuskan turun ke bawah, menyapa pedagang roti di bawah yang rupanya juga sama sepertiku.
“Jam kami semua gila. Ada apa?”
Lelaki itu pun tampak panik. Ia menutup kedua matanya, entah masih mengantuk atau benar-benar pusing dengan keadaan. Lalu aku berjalan ke halte bus. Ternyata banyak orang-orang yang kebingungan sepertiku.
“Apakah telah terjadi kerusakan bersama semua jam di rumah-rumah kita?”
“Aku tak tahu, cobalah melihat televisi. Apa yang terjadi?”
Sesuatu telah terjadi. Mungkin Tuhan sedang menghukum Tom yang begitu benci dengan malam. Atau mungkin ingin memberi hadiah cinta pada Tom yang suka menikmati malam di kamar kotornya itu. Tetapi ini musibah buruk bagiku. Aku tak punya waktu kembali ke flatku. Tugas menjaga kamar Tom belum selesai, hingga ia benar-benar datang.
Aku tak peduli lagi, entah sudah berapa kali jarum jam itu berputar-putar berubah posisi. Dan Tom tak kunjung pulang.
“Kau dimana? Kenapa kau tak pulang? Apa kau masih terus bekerja? Bodoh sekali redakturmu itu.”
“Aku akan pulang, tak lama lagi.”
“Ya setelah aku bosan di kamarmu ini.”
“Tunggulah sekejap lagi, bus akan segera sampai.”
Tom menepati janjinya. Ia memang pulang dalam malam yang masih gulita. Ia mendapati kamarnya yang sama kotornya dengan saat ia pergi. Sebab beberapa makanan yang kumakan berhari-hari masih belum dibuang.
“Kau? Tak biasa begini?”
“Kau pikir ini malam yang biasa? Dan kau pikir apa aku sekotor ini? Tukang sampah di bawah memilih tidur sepanjang malam.”
“Martin, aku pulang. Aku telah menuntaskan malamku.”
“Kau resign?”
“Tidak, lihatlah di balik jendela itu, matahari mulai muncul.”
“Oh ya,”
“Dan aku membawa sesuatu.”
“Apa?”
Tom mengeluarkan sebuah buku biru dari dalam tas ranselnya. Aku tersentak. Itu Al Quran, kenapa dia bisa membawanya?
“Kau bertemu dengan mahasiswa Indonesia?”
“Tidak, kitab ini kutemukan di kantor. Seorang wartawan baru asal Turki memberiku kitab itu.”
“Lalu?”
“Ajarkan aku membacanya.”
“Kau yakin?”
“Ya..”
“Bukalah!”
Tom membuka kitab itu. Satu, dua, tiga hingga sepuluh halaman tak kunjung ia temukan satu huruf pun.
“Kitab ini terlalu tebal.”
“Teruskan.”
Tom terus membukanya, hingga ke lembaran ke seratus tetapi kitab itu masih terus kosong. Tom meneteskan air mata. Dan aku pun merapat ke dinding memandang matahari marun jingga yang sangat besar pagi itu.
=============
Nafi’ah al-Ma’rab merupakan nama pena dari Sugiarti. Berdomisili di Pekanbaru, Riau. Cerpen-cerpennya dimuat di Riau Pos, Batam Pos, Tanjung Pinang Pos, Padang Express dan sebagainya. Cerpennya berjudul Lanai memenangi lomba nasional seperti Green Pen Award 2019 oleh Raya Kultura, Cerpen Tandan Sawit sebagai naskah pemenang Lomba Cerpen Nulisbuku dan Kemenegpora tahun 2012, Cerpen Lelaki Pohon menjadi salah satu naskah pemenang LCMR Rayakultura 2013. Selain cerpen, ia juga menulis novel, di antaranya Lelaki Pembawa Mushaf (Tinta Medina 2016), Jodohku dalam Proposal (Tinta Medina 2016), Suraya (Bhuana Ilmu Populer, 2018), Luka Perempuan Asap (Tinta Medina, 2016).