TERBUAT dari apakah kesunyian? Apakah dari hembusan angin malam yang menggerakkan dedaun di saat termenung sendiri? Atau dari adonan bayang kenangan masa lalu menjemukan, yang tersusun dari kerumitan lipatan peristiwa yang menimbuni hidup? Ataukah mungkin dari ingatanku tentang seorang perempuan yang berjalan sendirian di gerimis hujan, ketika sepi masih menjalari pagi. Sejak kepulanganku sebulan lalu, hujan dan kenangan membuatku selalu tak berjarak dengan sunyi, menyeretku pada seutas senyum ganjil yang lekat di ingatan.
Ia datang saat fajar baru saja selesai. Angin belum berhembus, langit berwarna lembayung, hujan baru saja turun. Ada aroma basah tanah yang menyegarkan hidung. Ia berjalan ke arahku, saya curiga. Kukira setan kesasar yang iseng menakutiku dengan menjelma gadis manis. Bedanya, ia rapi. Seperti gadis-gadis yang akan berangkat ke gereja. Ia tersenyum, saya tersenyum. Sepagi ini.
Cepat ia seperti mengurungkan niat. Lalu berdiri seperti patung, ragu. Aneh sekali. Ia mengedarkan pandangan ke bawah, barangkali menahan sesuatu, malu. Tetapi tetap saja sepi, tak sepatah kata pun keluar dimulutnya. Pelan ia melangkah mendekat, mengatur nafas yang mendadak sengal, lalu mengulungkan senyumnya dengan manis.
“Pak Guru kan? Yang dari Kota M itu?”
Saya terheran. Rupanya telah mengenaliku.
“Iya, kenapa, dek?” kataku dengan tidak biasa.
“Mohon bantuannya pak guru, ibuku jatuh di tangga. Butuh bantuan laki-laki.”
Lalu kami pun tergopoh menembus pagi yang sepi. Pagi belum selesai saat saya sampai di rumahnya. Telah ada seorang lelaki paruh baya yang berusaha menyadarkan ibu tersebut yang pingsan. Saya membantu mengangkat, dan membopongnya ke puskesmas pembantu kampung.
Saya pulang jam 7 pagi, diantar perempuan itu. Beribu terimakasih ia haturkan atas kesediaanku membantu. Ia lalu mengenalkan dirinya dengan nama M, merupakan guru honorer di sebuah sekolah. Astaga, saya belum mengenalnya. Semenjak kedatanganku sepekan lalu, saya memang belum banyak mengenal orang luar. Hanya Pak Kepala Sekolah, beberapa teman guru, dan beberapa teman di masjid yang baru sempat lekat di ingatan.
Saya menyampaikan penyesalanku karena sepekan ini tak berusaha membuka diri pada lingkungan baruku. Dan dia, adalah orang kesekian dari sedikit orang yang kukenali namanya di sini. Semenjak kedatanganku sepekan lalu, waktuku kuhabiskan beradaptasi dengan lingkungan sekitar, tapi kebanyakan baru kenal muka. Tak sempat melekat-lekatkan nama di ingatan.
Ya, saya adalah seorang guru, pengajar di pedalaman. Memenuhi keinginan nurani menjauh dari kampung sendiri, belajar hidup di kampung orang. Dan di sinilah saya, sebuah kampung kecil yang terletak di pedalaman Papua. Desa yang sepi memang membuatku telah dikenal seantero kampung. Di sini guru sangat dihargai, dianggap berharga sebagai orang pintar, seorang ahli, pembawa pencerahan.
***
Usianya masih muda. 23 tahun ia bilang, memperkenalkan dirinya sebagai perantau dari kota A, mengikuti orang tuanya sejak ia masih kecil. Setamat SMA ia langsung mengabdikan dirinya pada satu-satunya sekolah di kampung ini. Ekonomi yang mencekik leher merupakan satu-satunya alasannya tidak melanjutkan sekolah dan memilih mengabdi pada sekolah ini. Dan saya sungguh bangga padanya, bahwa dia memiliki kebesaran jiwa untuk mencerdaskan anak-anak di kampung, meski harus mengorbankan dirinya, impiannya untuk kuliah.
Saya mengajar di sebuah SMP, sekolah kecil yang sederhana, lumayan untuk seukuran pedalaman. Ruang kelas berlantaikan keramik, meski telah berlubang dan dinding yang retak, juga guru yang hanya 6 orang. Tapi itu bukan soal, dibalik kesederhanaan itu tersimpan potensi lain yang unik dan tidak dimiliki sekolah lain. Lingkungan sekolah tak pernah dibatasi oleh apapun, tak pernah ada pagar yang mengeliingi sekolah. Pekarangan sekolah adalah sepanjang hutan dan rimba-rimba, jalan yang menghubungkan antarkampung, sungai-sungai yang besar, serta padang yang membentang panjang di hadapan dan disamping sekolah. Kalau sore tempat itu biasa dijadikan tempat bermain bola dan layang-layang bersama siswa-siswa.
Saat jam pembelajaran, saya juga sering mengajak siswa untuk belajar di bawah pepohon Mahoni rindang yang tumbuh satu-satu di samping sekolah, meminta mereka menulis puisi sambil melihati gunung yang jauh, atau padang yang membentang, atau tentang burung-burung yang sering singgah. Apa saja. Di sana juga pernah mereka belajar bermain drama, membedakan kalimat langsung dan tak langsung, juga mengajari mereka membuat kalimat sampiran pantun berdasarkan identifikasi langsung pada alam sekitar.
Dan mereka, siswa-siswa yang bahagia. Hari-hari di sekolah mereka habiskan dengan ceria. Keakraban kami berjarak, terbatas penghargaan mereka kepada gurunya, sekeras apapun berupaya akrab. Kalau sore mereka sering datang ke rumah, membawa sayur dan buah hasil kebun.
***
Malam yang selalu memanggil kenangan, pagi yang selalu bersama lengang. Sejak pertama, telah ada kebisuan yang menggantung di pelupuk mata. Sunyi, sunyi sekali. Selalu, setelah masa kuliah selesai, setelah menjauh dari kota sendiri dan menyepi di pedalaman, dan tak ada lagi panggilan-panggilan ngumpul dari teman-teman, dan perasaan sudah saatnya menikah muncul, saya sering berpikir, hanya untuk satu nama. Sebuah judul cerpen yang pernah saya baca, sebuah karya sahabat. Saya menyukainya.
Minggu pagi, biasanya sepi terusir. Anak-anak sekolah minggu baru saja usai ramai terdengar menyanyi di gereja. Tak ada gerimis hujan, tak ada langit lembayung, dan tak ada angin yang berhembus seperti pertama melihatnya. Perempuan itu datang dengan tak lupa menyapa ‘selamat pagi’. Terus terang senyumnya manis sekali, pakaiannya rapi, sepertinya baru pulang dari gereja.
Diajaknya saya jalan-jalan bersama beberapa siswa, mengunjungi tulip yang tumbuh di pinggiran sungai. Saya tertarik, atas nama penasaran dan atas nama ingatanku pada cerpen “Hanya untuk satu nama” itu yang berlatar cerita tulip dan Belanda.
Setelah bersiap, kami berangkat. Tempatnya agak jauh, dijangkau dengan perahu kecil, menyusur sungai hingga ke hulu, ke kapala air mereka bilang. Di perjalanan, ia bercerita banyak sekali, panjang dan mengembang, dan memaksaku tersenyum. Saya menghargainya. Dan saya tahu dia sering melirikku. Kami menemui lapangan yang luas, angin yang berhembus dari jauh, buaya-buaya, berbagai jenis burung langka, dan pepohon menjulang. Hampir tak percayaku, bahwa, daerah di timur Indonesia ini betul-betul terdapat tulip. Asri dan tak terjamah.
Kami pulang menjelang dhuhur, berkali kuucap terimakasih dan berkali dia tersenyum.
***
“Itu si M, Pak Guru, anak si G, cantik” seru Pak T, teman guru di sekolah tempatku mengajar yang menjumpaiku suatu pagi. “Baru 23 tahun…” sambungnya, entah apa maksudnya.
Ini hal yang tidak mungkin. Tiba-tiba serasa ada yang datang menyerbu, mengepungku. Sungguh dia cobaan hidup anak muda yang sudah merasa ingin menikah, sekaligus ingin hidup baik-baik. Laki-laki memang mahluk yang suka tergoda, yang kalau tergoda butuh tempat pulang dan mengadu. Dia menyukaiku, dikatakan terang-terangan suatu hari, dan saya seperti mendengar tabuhan benderang di hatiku. Saya tentu saja menolak, dibawah langit lembayung, dan angin yang bertiup dari utara, kukatakan itu dengan benderang.
Saya meminta maaf, dia tersenyum. Saya tersenyum, dia menangis. Saya ingin menangis dia meminta maaf, kemudian berlalu dengan sopan. Sejak saat itu, tak pernah lagi kami jumpa, bahkan meski sekedar melihatnya lewat depan rumah saat hendak ke gereja. Tak pernah.
Lalu saya pulang ke kampung. Sering saya mengingatnya, perempuan yang pertama menemuiku ketika hari sedang gerimis. Menyeretku pada seutas senyum ganjil, lekat diingatan. Kalaulah mungkin takdir mau berbaik hati, saya masih ingin jumpa dengannya. Entah kapan dan di mana. Sekedar menanyai kabar, mengajaknya ngobrol basa-basi tentang perkembangan kampungnya, lalu sudah, itu saja.
Makassar, 2020