Rumah Kanak-Kanak



“Sejak sering terjadi pemberontakan rakyat resah. Rumah-tumah orang kaya milik pendatang dirampok. Toko-toko milik babah-babah dijarah. Para pendatang dianiaya, bahkan ada yang dibunuh. Kehidupan tak lagi tenang. Kacau. Mereka ketakutan. Mereka memilih  hijrah ke kampung lain!”

Sungguh, tiada yang lebih indah daripada hidup di rumah kanak-kanak. Dahulu, ia, Sam, Ahong, Ludi, dan Engku, adalah teman sepermainan. Tak ada yang lebih seru, selain mandi di sungai, berlomba renang dan menyelam, terjun dari ketinggian tebing di atas sungai, memandikan kerbau, memanjat pohon, berburu burung, dan pesta buah jamblang. Amboi, betapa elok mengenang masa kanak-kanak. Tak ada yang lebih menyenangkan selain kala bocah.

“Kau ingin jadi apa kalau sudah besar, Ludi?” ulik Sam, kala itu mereka berlima tengah nggelosor di bawah pohon jamblang, kepayahan, setelah pesta buah jamblang. Demi mencapai pohon jamblang ini mereka harus jalan kaki kiloan meter, menyusuri sawah,  menyeberangi sungai. Pohon jamblang sebesar raksasa dan setegap batu gunung, adalah tempat asyik untuk berkumpul, apalagi saat musim jamblang berbuah. Buah jamblang sebesar kelereng, berwarna hitam keunguan, harum, dan manis rasanya, aih membuat mereka tak bosan menyantap. Buah jamblang yang sudah matang berjatuhan. Ludi mengambil jamblang, mengunyahnya, biji dilepehkan.

“Aku ingin jadi tentara,” jawab Ludi tegas. Terbayang sosok panutan Ludi. Ayah yang   pemberani. Ayah Ludi seorang tentara. Ayah asli orang Jawa, namun ditugaskan di pulau elok ini. Bahkan Ludi dan adiknya juga dilahirkan di sini. Mereka sudah betah tinggal di pulau yang kaya rempah-rempah ini.

“Mengapa jadi tentara?” tanya Engku, mulutnya pun  mengunyah buah jamblang.

“Aku ingin seperti ayahku, memberantas kejahatan, menjaga keamanan.”  Ludi terbayang sosok  tinggi, badan tegap, kulit sawo matang. Kelihatannya sangar, tapi sikapnya ramah dan bersahabat. Beberapa kali sua saat main ke rumah Ludi, rumah separuh tembok berpagar barisan pohon singkong.

“Namun nanti kau harus sering bepergian. Katanya ayahmu sedang tugas ketika ibumu melahirkanmu, Di,” ulik Ahong.

“Ya. Kata Ayah, itu sudah tanggungjawab seorang prajurit. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau pribadi. Kata Ayah, sebagai prajurit yang merupakan benteng negara, jika ada tugas negara memanggil, mereka harus berangkat, meskipun anak di rumah sedang sakit, atau istri sedang melahirkan. Kalian tahu, ayahku sangat gagah ketika mengenakan seragam loreng, menyandang senjata lars.”

“Semoga cita-citamu menjadi tentara terwujud, Ludi.”

“Amin.”

       “Engku, apa sih cita-citamu?” Ludi kali ini yang bertanya. Sam, dan ia menatap  bocah berumur 11 tahun yang tubuhnya paling kurus dan kecil. Engku berkulit langsat pucat. Sepasang matanya terlihat tajam.  Engku memang boncel, tapi otaknya  cemerlang.  Pernah mewakili sekolah   lomba siswa teladan di kabupaten, dan mendapat juara dua di provinsi.

“Aku ingin jadi guru,” Engku menjawab pelan. Suara lembutnya berdesir seiring musim kemarau. Rerumputan masih menghijau. Sungai masih mengalir meskipun tiada deras. Angin lembah  mendedah.

“Jadi guru?”Empat  pasang mata menatap, mengerjap.

“Aku ingin seperti pak guru Kuat. Beliau sabar,  pandai dan cerdas. Setiap pertanyaan yang kita ajukan, Pak Kuat pasti bisa menjawabnya.”

“Pak Kuat memang pintar, ” gumam Ludi.

“Kata beliau, guru masih sangat dibutuhkan di dusun  ini. Kelak seandainya jadi guru aku ingin ditugaskan di  dusun Sawojajar ini. Mengajar anak-anak. Alangkah senangnya.  Kata Pak Kuat, tak ada yang lebih beruntung dalam hidup  ini selain bermanfaat pada orang lain,” untuk meraih cita-citanya Engku rajin belajar, menyimak ketika guru mengajar, menulis dan mencatat pengetahuan baru yang didapat dari hobinya membaca. Di halaman kantor Kecamatan dipasang papan surat kabar. Surat kabar nasional dan koran lokal dipajang. Setiap hari sebelum sekolah, Engku mengayuh sepeda mendatangi papan koran, menumpang membaca, demi menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan.

“Kalau aku ingin kerja di bank. Pegawai bank banyak uangnya. Saban hari menghitung uang,” gumam Sam, santai.  Bocah usia 12 tahun bertubuh gemuk bagai tambur, teringat pada suatu hari diajak ibunya pergi ke bank di seberang pasar kecamatan. Ibu Sam seorang pedagang makanan. Pergi ke bank untuk menabung atau setor cicilan hutang. Pekerjaan pegawai bank sepertinya santai dan mengasyikkan. “Tapi apakah aku bisa, ya. Soalnya, matematikaku kan tak sepintar Engku, Ludi, Ahong, atau kamu, Bur. Aku tak pintar berhitung,” Sam menggeleng-gelengkan kepala, lucu. Teman-temannya tersenyum, bahkan Ludi tertawa tergelak-gelak. Ahong sampai berguling-guling. Tubuhnya yang tambun putih tampak lucu seperti panda.

“Kau ingin jadi apa Ahong jika sudah besar kelak?” tanya Ludi tiba-tiba, setelah tawanya berhenti.

“Aku ingin jadi bos sembako. Aku ingin punya toko sembako yang besar. Aku ingin punya gudang yang besar. Akan kutimbun sembako, kemudian aku jual hingga aku dapat untung besar. Hahahaha.”

“Dasar Ahong matre.”

“Bukan matre, Kawan. Aku akan beli barang sembako dengan harga murah, kemudian aku menjualnya, mengambil untung sedikit, enggak apa-apa, yang penting barangnya terjual banyak, jadi ya untung banyak. Itu cara berdagang sembako yang diajarkan oleh Papaku. Hahahaha.”

“Ternyata gitu ya rahasia sukses dagang sembako,” gumam Engku. Sam mengangguk-angguk. Mengambil buah jamblang, kembali mengunyah. Engku menyelonjorkan kaki. Ludi dan Sam ikutan berbaring di sisinya. Sebuah buah jamblang yang sudah masak dan tua terjatuh di dada Ludi.

“Eh, Burhan, kelak jika sudah besar apa cita-citamu?” Ludi bertanya seraya mengambil buah jamblang, menimang-nimang. Ahong merebut dan mengunyahnya. Nyam-nyam-nyam.

“Aku ingin…menjadi ustaz.” Entah mengapa jawaban itu terlontar begitu saja dari bibir. Padahal di antara mereka berempat, ia yang ngajinya paling belepotan.

“Kau ingin seperti ustaz Rohim, guru ngaji kita di surau?” Engku menepuk pundaknya. Ia mengangguk kecil.

“Iya. Aku ingin pintar sekolah dan juga pintar ngaji. Menurut ustaz kita harus pintar keduanya, agar selamat dunia-akhirat.”

“Sungguh mulia cita-citamu Burhan. Semoga terwujud,”  doa Engku khusyuk.

“Semoga cita-cita Burhan terkabul,” Ahong turut mendoakan.

                                                        ***

Tahun-tahun berlari seperti laju lori.  Selepas SD, ia harus meninggalkan dusun tercinta. Ayah yang pedagang mencari penghidupan yang lebih baik di kota.

“Benarkah kau hendak pindah dari kampung ini, Han?” tanya Engku. Saat itu mereka berada di sungai. Bermain air.

“Ya.”

“Setelah kelulusan sekolah…,” Ahong memandang sedih.

“Kita takkan bisa lagi pesta jamblang. Kita tak bisa mandiin kerbau, berenang, ngaji bareng.”

“Entahlah.”

“Sudah, Burhan, kan pindah masih lama. Kelulusan juga masih sebulan lagi,” cerocos Sam. “Hari ini kita masih bisa bertemu. Masih bisa bermain di sungai. Kita lomba renang, yuk.”

       “Ayo.”

       “Siapa takut air,” Ludi mencopoti baju dan celana. Engku, ia dan Sam, berbuat sama. Mereka telanjang bulat, seperti ikan berenang ke sana ke mari. Tinggalah Ahong yang sudah bertelanjang dada tapi masih berkolor.

“Ahong, sini, ayo lomba berenang!”

Ahong mendekat. Sam buru-buru naik ke darat. Mendekati Ahong dan meloroti celananya. Ahong telanjang bulat. Penisnya yang masih berkulup bergoyang-goyang ketika ia berlari, lalu dari ketinggian tebing melompat. Hup, ia sudah bergabung dengan keempat kawannya dan mereka mulai berlomba berenang. Setelah setengah permainan menyusuri sungai, di tengah kegiatan berenang Ahong bertanya…

“Aku ingin bertanya pada kalian. Tapi sebelumnya aku mohon kalian jangan tertawa kalau nanti menganggap pertanyaanku lucu. Soalnya dari pertanyaanku nanti aku membutuhkan kejujuran, demi masa depanku nanti.”

Sam melirik Ludi. Ludi melirik ia. Ia melirik Engku. Engku melirik Sam. Mereka saling lirik-lirikan.

“Aduh, Ahong, apa yang ingin kau tanyakan. Bikin kami penasaran.”

“Tolonglah segera katakan Ahong, agar rasa penasaran kami hilang.”

“Baiklah,” Ahong duduk di batu besar. Keempat temannya merubunginya.

“Apa yang ingin kau tanyakan, Ahong?”

“Aku ingin bertanya pada kalian, apakah, apakah khitan itu sakit? Gimana rasanya dikhitan?”

“Hahaha, rasanya seperti digigit semut.”

“Aduh, sakitnya seperti terpotong pisau. Perih.”

“Saat burungku dipotong aku tak merasakan sakit karena dibius. Tapi setelah biusnya hilang, auh sakit sekali. Aku sampai menangis-nangis. Padahal tanganku pernah kena pisau, tapi rasanya beda, tak sesakit saat….dipotong.”

“Ahong, dikhitan itu tak sakit kok. Setelah khitan pertumbuhan badan kita bisa besar dan tinggi. Seperti aku, “ jelas Ludi yang dikhitan saat kelas tiga SD. Ia  dan Engku dikhitan ketika kelas lima. Sementara Sam dikhitan kala naik ke kelas enam.

Ahong mengangguk-angguk mendengar pengalaman teman-temannya.“Aku akan mohon pada Papaku supaya aku dikhitan. Biar bentuk penisku sama seperti kalian. Hahaha.”  Ahong bangkit dan mulai kembali berenang.

“Hore, hore, Ahong mau sunat!”

“Ahong, kalau kau khitan nanti adain pesta kembang api, ya.”

“Iya, nanti aku rayu papa, agar saat aku khitan, papa ngadain pesta dan nanggap solo organ.”

Ludi, Sam, ia dan Engku bersorak-sorak, lalu kembali berlomba berenang. Sepuasnya. Sepuasnya.

                                                                     ***

Ahong akhirnya dikhitan setelah kelulusan SD. Lima sekawan berpesta. Tapi seminggu kemudian mereka berselaput mendung, ketika ia harus meninggalkan dusun Sawojajar. Ayah sekeluarga memutuskan pindah ke luar kampung, bahkan menyeberang pulau.

Perniagaan Ayah berkembang pesat. Ayah membuka cabang perniagaan di beberapa kota.

Selulus SMA, ia melanjutkan ke fakultas ekonomi, menuruti kemauan Ayah. Sebagai anak sulung, Ayah menggantungkan harapan di pundaknya. Padahal ia tak berminat pada dunia  niaga.  Tak  mungkin menentang Ayah, yang sudah membesarkan, menghidupi,  memberinya kenyamanan.

Ia masih sangat bergantung pada ayahnya.

Namun usianya jelang 21 tahun, kala ia bersua seorang penulis pada komunitas menulis  di kota seberang. Ia sangat tercerahkan dengan motivasi yang diberikan sang penulis, “Jika hidup hanya sekali, maka lakukanlah apa yang kau inginkan. Sekarang, atau tak pernah sama sekali!”

Ia memilih melanjutkan kuliah hingga tuntas. Ingin memberi kebanggaan pada Ayah, hingga tiba saatnya, seminggu usai diwisuda, ia menghadap Ayah, berbicara selayaknya dua lelaki dewasa. Ia menginginkan rehat sementara dari perniagaan. Ia ingin mondok di pesantren.

Seperti yang diduga, Ayah marah, melarang. Ayah ingin ia meneruskan kuliah di luar negeri. Agar memiliki ilmu mumpuni, menjadi pewaris sekaligus  penerus perniagaan kelak. Ia tak menolak, namun tak menerima saran Ayah. Bukankah Ayah bisa memberi mandat pada Ahmad atau Ran, dua adik lelakinya. Mengapa harus anak sulung?

Ia ingin meraih cita-cita tanpa menjadi anak durhaka.Ayah tak mau mengerti. Ayah memberi ultimatum. “Pergilah kalau kau ingin pergi. Tak usah kembali selamanya.”

Ia memilih pergi menyembuhkan lara hati, berkelana menuruti ujaran sanubari.

                                                                          ***

Ia tinggal di beberapa pesantren, menuntut ilmu agama dan kehidupan. Selepasnya, ia bersafari dari nusa ke nusa seraya menuliskan makna, melukiskan warna kehidupan, pengalaman dalam untaian kalimat dan tutur kata bermakna. Sebagai pendakwah muda namanya mewangi. Undangan datang dari berbagai kota, bahkan menyeberang pulau. Cara tutur yang menawan, menyentuh hati dan rasa menumbuhkan perasaan suka. Tentang berapa besaran tarif, ia tak pernah menentukan. Bahkan  ia  sukarela datang bila diundang pada kegiatan sosial, di panti asuhan, di panti jompo, di komunitas anak jalanan ataupun pada kegiatan sosial lain. Ia datang atas nama kemanusiaan dan panggilan hati atas kehendak Illahi.

Suatu ketika ia mendapat undangan dari pulau di mana ia menghabiskan masa kecil. Menaiki pesawat dan kapal feri, sampai pada sebuah pondok pesantren modern nan megah. Selesai hajatan ia tiba-tiba teringat kampung halaman tempatnya dibesarkan. Ia menaiki kapal kecil hingga sampai pada sebuah pulau terpencil.

Pada dusun kecil, tempat ia dilahirkan. Dusun molek, diapit dua gunung menjulang. Dikelilingi hutan perawan. Damai nan permai. Sayang semua tinggal cerita masa silam. Kini yang tersisa serupa sembilu. Kedamaian ternoda, kerukunan tercerai berai. Penduduk  pribumi tak bisa menerima keberadaan pendatang.

Penduduk yang tak bisa lagi menjalankan pepatah nan sejujurnya di mana pun berlaku:  di mana langit dijunjung bumi dipijak. Rasa cemburu berselaput iri bergemuruh, dibisikkan, diembuskan orang-orang tak bertanggung jawab yang menyulutkan pertikaian. Pemberontakan beriming-iming melepaskan diri-merdeka-berdaulat sendiri-entah apa maksudnya. Entah bertujuan apa. Menimbulkan sejuta malapetaka.

Ia mencari jejak masa lalu dan hanya mendengar cerita pilu Samuel, teman masa kecil-pemilik kedai kopi di ujung jalan kampung yang sepi seperti pemakaman.

“Sejak sering terjadi pemberontakan, rakyat resah. Rumah-rumah orang kaya milik pendatang dirampok.Toko-toko sembako milik babah-babah dijarah. Kehidupan tak lagi tenang. Kacau. Mereka ketakutan. Mereka memilih  hijrah ke kampung lain. Jika pun bertahan di dusun ini, karena kecintaan mereka pada kampung halaman.”

Ia mendengarkan kisah pilu yang tak ingin didengar.“Si Ludi sudah jadi tentara. Si Engku guru SD. Juga guru madrasah dan guru ngaji. Ia sangat disukai teman, dan murid-murid. Pemberontakan menimbulkan kegemparan, ketika suatu hari guru Engku ditemukan  meninggal, bersama puluhan penduduk kampung. Mayat mereka berdarah-darah, ususnya terburai, ditemukan di punggung jalan dusun. Konon korban tentara. Padahal pada saat bersamaan si Ludi juga tewas di hutan-kondisinya tak kalah mengenaskan. Tanpa sebab yang jelas. Katanya korban pemberontakan, mereka yang ingin merdeka.”

Ia terperangah, terkenang masa-masa bocah.

Ia termangu di padang rumput yang konon menjadi makam para korban pemberontakkan. “Tak ada lagi yang sempat menguburkan para jenazah. Mereka dimakamkan di dalam satu lubang, bahkan tanpa nisan,” jelas Ahong sambil mengusap air mata yang berlelehan campur ingus. Toko-toko sembakonya di kampung Sawojajar rata dengan tanah. Seorang anaknya ikut terbakar dalam musibah yang takkan terlupakan. Ahong memilih pindah ke lain kota. Membawa tabungan seadanya. Membuka perniagaan dan menata hidup baru.

Ia tercenung, ia termenung. Ia mendengar jalan hidup teman-teman masa kecilnya, seperti ia menonton slide film. Betapa tiba-tiba ia teramat sangat merindukan rumah kanak-kanak. Ia tiba-tiba menangis terisak-isak.

                                                                  ***

Kota, Ukir, 05 November 2019




Bagikan:

Penulis →

Kartika Catur Pelita

Lahir 11 Januari 1971. Penulis 700-an cerpen, 100 cerpen sudah dimuat  di 60 media massa cetak dan daring, di antaranya: Media Indonesia, Republika, Kompas, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Haluan Padang, Sumut Pos, Analisa Medan, Koran Rakyat Sultra, Kendari Pos, Lampung Post, Solopos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Info Muria, Okezone.com, Nova, dan Kartini. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta,”  “Kentut Presiden.”  Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara(AMJ). Tinggal di Jepara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *