“Malam ini, ada yang hening setelah suara anjing liar itu muncul di dekat jendela, dan firasat itu tiba-tiba terus berhamburan. Dada disesaki penuh curiga, sedang cemas bergelantung di wajah, peristiwa apa yang terjadi setelah dua malam aku kehilangan ibu?”
Gundukan tanah di pemakaman masih basah, aroma bunga dan suara desing ingatan tentang ibu masih belum lerai, namun kabar kepulangan kembali menghampiri, empat puluh delapan jam ditinggal seorang ibu, kini terdengar lagi berita bahwa aku kehilangan adik bungsu yang mati bunuh diri.
Pertanyaan-pertanyaan tersiarkan, sesungguhnya kehilangan dari bagian anggota keluarga sama seperti kehilangan nafas panjang. Liwang adalah adik bungsuku, setelah usianya beranjak remaja, ia semakin latah kepada agama, kehilangan didikan ayah dan ibu. Ia tak bisa memungkiri, bahwa sejatinya hidup yang ia jalani kini tidak berada pada satu jalan yang benar..
Suatu pernah, Liwang berlari sambil berteriak di lorong-lorong, ia menyebut sesuatu yang teramat ganjil dalam telinga. Apa itu? Nadanya seperti ia sedang kerasukan dengan mantra dan komat-kamitnya, memang akhir-akhir ini Liwang terangsang dengan pelajaran Kaburakneang atau pelajaran kitab laki-laki. Dada membusung, urat di tangannya mengembang ia memegang sebuah kertas bertulis lontarak.
Ilmu Kaburakneang atau kitab laki-laki dahulu dipelajari tidak hanya sebatas pelajaran ilmu kebal tubuh dan bela diri, tapi ilmu ini juga mengandung pelajaran menggaet atau wangsi wanita, menimpali musuh dengan suara, bahkan sampai penguasaan jelajah laki-laki dalam segala bidang. Saya teringat kisah yang sering dituturkan oleh Ibu, bahwa dahulu moyang saya I Manakku adalah lelaki pilihan Sombaya atau Raja di Gowa, ia berperan sebagai juru pembuka dari hal-hal yang ingin dilakukan oleh raja, nubuatnya sampai dan pesannya berkelindang dari zaman ke zaman. Ramalannya benar.
Moyang saya sering berpesan, “Bunuhlah dirimu dahulu, sebelum engkau terlahir ke dunia”. Ia menegaskan bahwa segala ilmu yang kita miliki tentu kita pasrahkan pada pemilik ilmu dan mengembalikannya setelah kita pergunakan, “Jangan sombong, apalagi terbang karena ilmu sedikitmu.” Ini yang menjadi rentetan pesan yang kami pegang. Namun sayang, kejadian naas terjadi pada adikku Liwang, setelah ia menguasai ilmu ini, ia sempoyongan, tak mampu menunjukkan itikat baik ilmu ini, ia terasa dahaga, suhu tubuhnya meningkat serta amarahnya kian menjadi-jadi.
***
Aku menemui Pak Daming, ia adalah seorang ustad di Kampung yang cukup terkenal, banyak hal yang ia ajarkan lantas orang menjadi segan padanya, salah satunya bijaksana dalam berpikir. Buru-buru aku berjalan, ingin membantu adik bungsuku yang kini sudah di ambang batas. Perjanjian itu dimulai pukul lima sore, mencoba menemukan biang masalah yang terjadi.
“Apa yang membuat kita termakan oleh mantra sendiri?”
“ Pantangan yang ditentang!”
“ Ilmu ini sudah saya tangkal dengan batu atau pengganti.”
“ Ilmu itu kuncinya adalah sembahyang. Sudahkah kau sembahyang, Nak?
“ Ia, aku sembahyang.”
“ Sudahkah kau matikan dirimu di sana?”
“ Mati?”
Dari rahasia bahasanya, Pak Daming menyimpan rahasia pada setiap pertanyaannya, pikiranku menggelayut, mencoba menziarahi peristiwa apa dahulu yang terjadi, hingga pada suatu titik aku dan Liwang pernah terjebak dalam pencarian. Waktu itu pelajaran Kaburakneang membahas Bab Aru Tubarani. Sebuah sumpah atau ikrar lantang kepada Tuan Yang Mulia. I Manakku mengisahkan bahwa dalam tiap syairnya, tersimpan zikir-zikir yang mesti dikuasai. Misal maknanya, orang baru berjanji ketika selatan dan utara tertutup, barat dan timur saling memanggil.
***
“Liwang Pongoro’! Liwang gila!” Ejek seorang kawannya yang benci. Kegilaan itu terjadi akibat hilangnya masa dimana kenyataan tertolak atau terabai, Liwang selalu bermimpi diserang binatang, entah seekor ular, anjing, harimau, kuda dan monyet. Jurus dan gerak binatang itu selalu ia ikuti, persis cara membuka bunga mancak bela diri yang ia pelajari. Pesan moyangku dulu, ketika kita tak menemukan diri kita, maka kita akan menjadi sesuatu, huff… barangkali sesuatu itu adalah yang menimpa Liwang.
“Bunuh dirimu.”
“Setelah itu?”
“Kau menemukan dirimu setelah itu.”
Ajakan bunuh diri ini memang terus menghantui, menguras keringat dan pikiran. Sejak kami berikrar, pintu-pintu rahasia itu terbuka dengan lebar. Daun yang kering diterbangkan oleh angin, batang pohon tumbang hanyut oleh air, jarum patah berkelindang dengan benang. Ini adalah bahasa filsuf yang tertera pada bab Aru Tubarania.
***
Di tengah malam sunyi, hujan deras tiba-tiba jatuh ke bumi, seseorang datang dari jauh dengan tubuhnya yang gigil, bajunya kuyup, perlahan ia mendekat ke pagar depan rumah, sesekali kututup gorden putih, mengintip perlahan siapa lelaki itu yang sempoyongan datang dari jauh. Tanpa ketuk dan suara panggilan, seseorang itu langsung menuju pintu rumah, ia terkena bola lampu kuning di teras rumah, tampak wajahnya beku, bibirnya putih, mungkin rasa dingin yang berlebih membuatnya demikian.
Potongan rambutnya acakan, itu faktor air hujan yang membuatnya demikian, sesekali ia mendesir, juga melepaskan dahak basah. Suara itu kukenal, ia adikku. Liwang. Tetiba saya berlari, menghampiri pintu, namun ada rasa cemas, buat apa Liwang datang? Tidakkah ia sedang gila? Jangan-jangan ada dendam denganku. Suara jantungku memompa begitu cepat, wajahku memerah, nada ketakutan muncul dan pikiran-pikiran bahwa Liwang datang mencelakaiku. Itu pasti terjadi, sebab kutahu, Liwang memang begitu lama tak pernah kupeduli, bahkan saat pengajian terakhir kematian ibuku ia tak kuajak. Sebab kenapa? Orang-orang takut pada Liwang, mereka mengaku bahwa, apabila Liwang datang, maka jamaah pengajian akan bubar, bahkan tak akan ada lagi yang datang ke rumah duka.
Tapi aku kasihan pada Adikku. Batinku, merasa bersalah.
“Kak Anto… buka pintunya!” Suara Liwang bergetar.
Sengaja aku mencoba mengulur waktu, meski tanganku sudah berada di gagang pintu, namun kecemasanku belum hilang, ketakutan terbesarku adalah, jangan sampai aku dibunuh oleh adikku sendiri, karena kutahu, bila amarah telah memuncak, juga tak ada pengingat, segala daya dan upaya bisa saja ia lakukan, bahkan menghabisiku, kakak kandungnya sendiri. Namun saya mencoba menyeimbangkan hal negatif tadi. Saya berusaha meyakinkan diriku pula bahwa Liwang butuh pertolongan, ia adik kandungku, tentu akulah orang yang ia datangi bila ia membutuhkan sesuatu.
“Kak Anto, aku butuh badik itu!” Liwang meminta senjata besi. “Buat apa Liwang? Aku tidak akan memberikanmu,” timpalku.
“Aku butuh.. Darah memang menjadi tanda-tanda yang mesti kita buka.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,” jawabku.
“Sungguh kematian itu tak pernah ada yang menyambutnya, tapi aku tidak, aku ingin coba lepas dari ini,” Liwang menjelaskan.
“Tapi tidak benar kematian itu diundang secara terpaksa,” selaku, “Untuk apa badik itu, Liwang?”
Tiba-tiba Liwang berlari ke ruangan paling belakang, di sana kamar mendiang ayah dan ibunya dahulu ketika masih hidup, ia berusaha mengambil warisan besi orang tuanya. Aku tak dapat melerai dan menghalaunya. Tiba-tiba Liwang menggapai sebuah besi, ia dapatkan yang dicari. Liwang ke luar rumah, berlari seratus meter menuju peristirahatan terakhir ibunya, sesampai di sana ia melepas besi itu dari sarungnya lalu tiba-tiba badannya gemetar, memejamkan mata, dan menghadap kiblat. Mampus.
“Aku bunuh diri, guru. Aku ingin hidup dengan diri sendiri.” Badik itu menyasar ke perutnya. Aku berteriak mencoba menghentikan Liwang. Namun sayang, Liwang tersungkur jatuh di sisi gundukan makam ibu, ia mati bunuh diri. Menunggu setelah bunuh diri.