Jadi Cerpenis Lagi


Sepuluh tahun, nyaris membuat lelaki itu lupa pada masa-masa di mana ia begitu masyhur sebagai seorang penulis cerita. Orang-orang mengaguminya, bukan pula karena wajahnya yang tampan, akan tetapi karena kepiawaian lelaki itu dalam mengolah kata-kata. Layaknya seorang musisi berbakat yang ditakdirkan Tuhan lahir ke dunia ini dalam periode waktu tigapuluh tahun sekali.

Cerita pendeknya telah memenuhi koran-koran. Dan ia cukup paham, bahwa dengan menulis, seseorang tidak akan hilang dari masyarakat dan sejarah. Kalimat itu, seperti yang banyak dikutip dari seorang sastrawan besar. Namun kiranya tak ada yang benar-benar tahu ihwal mengapa lelaki itu memutuskan untuk berhenti menulis sepuluh tahun yang silam, bertepatan pula dengan cerita pendeknya yang pada saat itu dimuat di koran untuk yang ke seratus satu kalinya. Sungguh, sebagaimana kehidupan ini dijejali oleh orang-orang dengan pemikiran yang besar, terkadang hidup memang penuh dengan tanda tanya yang besar.

Di satu pagi, ketika pandemi dari virus corona belum menghampiri Indonesia, lelaki itu tampak sedang minum kopi di warung bersama seorang teman, tiba-tiba temannya itu bertanya.

“Kenapa kau tak menulis cerpen lagi?” seraya mengambil pisang goreng hangat di meja.

“Bosan.”

“Maksudmu?” tanyanya lagi.

“Ya, mungkin aku tengah bosan, dan pastinya pembaca juga bosan mendapati tulisan-tulisanku lagi.”

“Tapi, sudah sepuluh tahun, kan? Tak bisa disebut bosan. Itu kebablasan!”

“Ya, tapi di luar sana, banyak juga orang berlomba ingin jadi penulis cerpen. Itung-itung kasih kesempatan buat yang lain, dong.” Bebernya.

Terdengar seperti alasan-alasan yang memiliki kebijaksanaan paripurna. Temannya itu geleng-geleng kepala. Tapi lagi-lagi, sebagaimana mulut manusia yang bisa mengatakan apa saja untuk mengelabui orang, ia juga sadar bahwa semakin ia berbohong, semakin pula hatinya itu porak poranda. Pasalnya, hanya ia sendiri yang tahu alasan sebenarnya kenapa ia memutuskan untuk berhenti menulis. Baiklah, akan aku ceritakan kisah tersebut.

Alkisah, tigabelas tahun yang lalu, lelaki itu jatuh hati pada seorang wanita yang punya air muka memesona. Binar matanya meneduhkan dunia. Senyumnya ayu. Sebagaimana senyumnya, nama wanita itu pun adalah Ayu, tepatnya Dewi Ayu. Terdengar layaknya nama seorang tokoh di dalam sebuah novel, bukan?

Pada suatu hari, di mana si lelaki sudah tak tahan menahan cintanya, ia pun mendatangi rumah kost pujaan hatinya itu, dengan maksud ingin melamarnya.

“Bersediakah kau menjadi istriku? Sungguh, aku ingin menjadi pendamping hidupmu. Selamanya.”

Seperti kebanyakan wanita yang penuh dengan pesona, Dewi Ayu tak ingin semudah itu si lelaki mendapatkannya. Karenanya, ia pun memberikan sebuah prasyarat.

“Orang-orang tahu kau adalah seorang penulis cerita. Karenanya, aku punya satu permintaan.”

“Apa itu? Katakan saja! Apa kau ingin dibangunkan candi seperti kisah-kisah dalam legenda?”

Perempuan itu tersenyum manis. Ia hela napasnya. Ia arahkan tatapan matanya pada si lelaki.

“Begini. Tentunya cintamu butuh diuji. Aku akan menerimamu, manakala cerita pendekmu yang dimuat di koran mencapai angka seratus satu kali.”

Dan angin pun bertiup sepoi-sepoi, menggoyangkan janggut si lelaki yang tampak mulai memanjang. Burung-burung di dalam sangkar milik bapak kost pun seketika diam. Padahal sebelumnya mereka bersorak sorai.

“Baiklah.” Ucap si lelaki. “Hingga kini, cerita pendekku yang telah dimuat mencapai 66 cerita. Masih ada waktu. Kupikir, itu bukan perkara yang sulit-sulit amat.”

Lalu keduanya pun berpisah setelah menyepakati perjanjian yang sayangnya tak sempat ditulis di kertas apalagi ditandatangani di atas materai itu.

Hari demi hari berlalu, lelaki itu makin giat menulis cerita dan mengirimkannya ke koran-koran. Lewat grup Facebook “Sastra Minggu”, ia mendapati apakah cerita-ceritanya dimuat ataukah tidak. Satu dua cerita berhasil lolos, namun tidak sedikit juga yang harus kandas. Tapi ia tak berkecil hati. Karena perlahan tulisannya toh semakin mendekati angka yang ke 101. Pertanda bahwa semakin dekat pula kesempatannya untuk bisa memiliki Dewi Ayu, pujaan hatinya itu, cinta pertama dan terakhirnya.

Pembaca mungkin pernah mendengar kisah tentang Florentino Ariza yang menantikan cintanya Fermina Daza selama 51 tahun, 9 bulan, 4 hari? Sebuah penantian yang menyakitkan. Meskipun pada akhirnya waktu menyatukan mereka. Akan tetapi, dalam penantiannya akan cinta sejati, Florentino Ariza telah meniduri banyak wanita. Adapun lelaki dalam kisah ini memiliki kesabaran yang hakiki. Ia hanya ingin menyentuh Dewi Ayu. Bukan yang lain.

Maka, ketabahan macam apa yang dimiliki seorang lelaki yang semakin hari semakin pucat karena banyak menghabiskan waktunya di depan laptop? Menuliskan cerita hingga larut malam, kurang berolahraga, juga minum bergelas-gelas kopi tanpa memperhatikan makanan apa yang sebaiknya ia konsumsi. Tak jarang, ia jatuh sakit dan harus dirawat. Namun, cinta yang besar telah pula merawat semangatnya untuk terus menulis. Ia pun bangkit lagi. Menulis lagi.

Hingga pada akhirnya, di satu pagi di hari Minggu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, wajah lelaki itu tampak semringah. Hari itu adalah hari pembuktian, di mana di malam sebelumnya seorang redaktur memberi kabar bahwa tulisan lelaki itu akan dimuat esok hari, yang artinya, cerita pendeknya dimuat sebanyak seratus satu cerita. Lengkaplah sudah.

Maka, lelaki itu pun lekas mendatangi si wanita dengan dada yang serasa mau pecah. Sedangkan angin bertiup mengempas rambutnya. Ia bersiul dan bernyanyi sepanjang jalan tak henti-henti, layaknya orang tersinting dari yang paling sinting yang pernah sinting yang ada di dunia ini. Sampai akhirnya, ia telah berada di depan rumah kos wanita itu. Lekas ia mengetuk pintu kamarnya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga akhirnya berkali-kali, tak ada jawaban dari dalam kamar itu kecuali keheningan yang memacu banyak tanya.

“Dewi Ayu sudah satu minggu yang lalu meninggalkan tempat ini.” ucap ibu kos tiba-tiba mengagetkannya.

“Ke mana ia, Bu?” tanya lelaki itu. Senyumnya mulai surut.

“Dia bilang mau pindah kos. Tapi tak tahu di mana.” Jawab perempuan tua itu lagi.

Lalu, tiba-tiba saja, seperti ada neraka di dalam kepala lelaki itu. Ia pun gusar. Ia coba menghubungi nomornya, tapi tak lagi aktif. Ia bertanya pada teman-teman dekatnya, merekapun tak tahu. Ia sambangi setiap indekos di kota itu, namun sia-sia saja. Sama sekali ia tak mendapati wanita pujaan hatinya itu. Di sepanjang jalan, lelaki itu pun meraung-raung. Layaknya ia orang yang paling menyedihkan dari orang yang paling sedih yang pernah sedih yang ada di dunia ini.

Demikianlah kiranya, kisah itu aku ceritakan kepada Anda semua. Jelas kini, mengapa lelaki itu memutuskan untuk berhenti menulis, adalah karena ia begitu kecewa tak bisa mendapatkan cintanya si pujaan hati yang malah kabur entah ke mana. Sampai akhirnya waktu melaju mengubah musim, sepuluh tahun lamanya lelaki itu telah meninggalkan dunia tulis menulis.

Terkadang tumbuh setitik keinginan di hatinya untuk kembali menulis cerita dan mengirimkannya ke koran. Sepuluh tahun berlalu telah menenggelamkan namanya. Tak lagi ada yang benar-benar mengenalnya. Tak lagi ada yang membaca karya-karyanya. Kecuali ia sendiri yang terkadang iseng membuka laman www.lakonhidup.com dan membaca cerpen-cerpennya sambil tersenyum. Betapa romantisnya menyumbu kenangan.

Sampai di satu pagi, di mana ia tengah minum kopi bersama temannya, sebagaimana diceritakan di bagian awal kisah ini, keduanya pun terlibat obrolan.

“Lagian, sastra di koran sekarang sedang banyak polemik.” Tambahnya lagi. Tangan kanannya mengambil bala-bala.

“Polemik gimana?” tanya temannya itu.

“Terkadang, tak semua karya yang dimuat itu karya yang baik. Belum lama ini, aku membaca cerpen di koran, dan itu buruk sekali.”

“Oh, ya?” temannya seolah tak percaya.

“Bahkan, beberapa bulan lalu, ada puisi yang dimuat di koran, eh, ternyata plagiat dari lirik lagu yang pernah ditulis seorang sastrawan hebat.” Beber lelaki itu.  

“Kenapa bisa begitu?”

“Ya, demikianlah. Selama orang menulis untuk menjadi tenar, kupikir hal-hal demikian akan selalu terjadi. Belum lagi, sering sekali terjadi pemuatan ganda. Sampai ada istilah tebar jala segala.”

“Wah, seperti menangkap ikan saja.” celetuk temannya itu dan keduanya pun tertawa lepas.

Syahdan, direguknya kopi yang tinggal sedikit itu dan kepada temannya lelaki itu pun mohon pamit.

Di rumah, lelaki itu pun segera meraih laptop-nya, dan meneguhkan hatinya untuk menulis sebuah cerita. Cerita itu pertama-tama ia beri judul, “Seorang Cerpenis yang Telah Lama Menghilang”. Lalu ia memulai paragraf pertamanya dengan kata-kata “Sepuluh Tahun Lamanya”. Demikian, perlahan namun pasti, lelaki itu menuliskan cerita. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Paragraf demi paragraf. Ia susun cerita itu dengan sebaik-baiknya. Hingga, manakala paragraf terakhir selesai, ia pun mengganti judul cerita tersebut yang menurutnya terlalu panjang.

“Seperti kebanyakan orang saat ini saja, buat judul cerpen kok, panjang-panjang.” Gumamnya, sembari menghapus judul tersebut dan mulai menggantinya dengan judul yang baru yaitu “Jadi Cerpenis Lagi.” Setelah tulisan itu selesai, ia pun mengirimkannya pada salah satu redaktur koran. Tapi naas, berbulan-bulan cerpennya tak juga tayang. Lalu, ia pun menyunting kembali cerpen itu, dan mengirimkannya pada salah satu media daring ternama. Hingga akhirnya cerpen itu pun ada di hadapan Anda semua.

Sebuah kisah yang memilukan, bukan?

Batujajar, 27-12-2019.

Bagikan:

Penulis →

Anggi Nugraha

Lahir di Batumarta 2 Kab. OKU, Sum-Sel. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di : Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Sum-Sel, Lampung Post, Malang Post, Padang Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Koran Singgalang, Radar Mojokerto, Koran Berita Pagi, Radar Cirebon,  Majalah SUAKA, dll. Saat ini bekerja di Nurul Fikri Boarding School Lembang, sebagai Pustakawan.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *