Sejak kecil, Selamet selalu tertarik pada pohon-pohon yang tumbuh di belakang rumah. Entah apa yang dipikir Selamet saat melihat pohon-pohon. Kadang ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berada di sisi pohon. Tidak ada yang dilakukannya selain memandang dan kadang pula tertidur di bawah pohon. Ibu dan bapak Selamet tak habis pikir bahwa anak mereka adalah anak yang aneh.
Dalam pertumbuhannya, tidak ada yang ingin menjadi teman Selamet. Menurut beberapa anak sebayanya, Selamet adalah anak aneh yang pernah lahir di dunia ini. Seharusnya Selamet jadi anak kera atau domba yang bisa menghabiskan sepenuh hidupnya untuk berdekatan dengan pohon.
Bapak Selamet pernah marah-marah karena kebebalannya itu.
“Lanang tidak normal! Sana ke sungai. Pergi main tembak-tembakan! Bodoh!”
Tapi, bentakan-bentakan itu tak secuil membuat Selamet gentar serta menurut, bahkan Selamet tak pernah menghiraukan keseriusan bapaknya saat marah. Karena kelewat batas bapak terpaksa main tangan. Tapi tak seperti anak lain yang menangis, Slamet malah menantang dan tetap pergi ke belakang rumah untuk melihat pohon-pohon.
Bapak merasa harga dirinya dilecehkan oleh anaknya sendiri. Kelakuan Selamet baginya sungguh sudah keterlaluan. Meski ibu terus membela Selamet, kali ini bapak tak hirau. Bapak marah besar hari itu. setelah menghantam kepala Selamet dengan tinju tangan kanan, bapak mengunci selamet di dalam kamar tanpa mempedulikan bekas pukulan yang mengeram lebam itu.
Ibu tidak bisa berbuat apa-apa selain terus-terusan memohon pada bapak, agar tidak berlebihan memberlakukan Selamet. “Apa salahnya Selamet melihat pohon di belakang rumah?”
“Salahnya tidak mendengar apa kataku! Ia akan jadi bodoh kalau terus-terusan melihat pohon! Dan asal kau tahu, tidak ada anak lanang yang menghabiskan waktu untuk melihat pohon. Bodoh!”
Selamet mulai tak henti-henti menangis, berteriak-teriak memberontak, mulai pula memukul daun pintu—mengundang kegelisahan yang amat menyiksa hati ibu. Tapi bapak justru senang mendengar Selamet meronta-ronta, tanda kesadaran akan segera mengilhami anak itu. Dalam beberapa jam ke depan bapak yakin Selamet akan menyesal dan memohon maaf atas kebodohannya melihat pohon dan tidak mendengar apa yang dikatakan bapaknya.
Setelah beberapa jam itu berlalu, bapak tidak mendengar penyesalan yang keluar dari mulut Selamet. Telinganya hanya dipenuhi suara tangis-menangis dan rintihan permohonan dari ibu yang sungguh tidak tega. Bapak tak mau merasa kalah, ia biarkan anak itu mendekam dalam kamar sampai benar-benar sadar. Selamet diberi makan lewat celah lubang jendela rakitan. Hingga menjelang malam, tidur ibu tidak tenang. Suara tangisan Selamet menghantuinya terus-menerus. Pelan-pelan ibu bicarakan pada bapak, namun, bapak tetap tak bisa melepaskan Selamet untuk kembali melihat pohon, bukan bapak atau ibunya.
Setelah dua kali dua puluh empat jam, tak lagi terdengar suara tangisan dari kamar di mana Selamet dikunci. Karena cemas, ibu tegas meminta bapak untuk memeriksa kondisi Selamet. Setelah membuka pintu kamar, Selamet didapati dalam posisi tak sadarkan diri. Piring-piring berisi makanan tak sedikit tersentuh, air di dalam gelas tak setitik berkurang. Melihat hal itu, ibu langsung memeluk Selamet yang tak berdaya, bapak yang tanpa aba-aba langsung merebut Selamet, segera membopongnya ke rumah sakit dengan tergesa-gesa.
Bapak baru merasa bersalah atas perlakuannya yang sangat keras terhadap Selamet. Ia tidak menyangka bahwa kejadianya akan serumit ini. Di rumah sakit, ibu terus-terusan menyalahkan bapak yang hampir membuat Selamet meregang nyawa. Untunglah dokter bisa menangani Selamet dengan baik. Sehari setelah dirawat Selamet sudah diperbolehkan pulang. Tapi, apa yang terjadi setelah Selamet pulang, tentu saja ia langsung berlari menuju pohon tanpa menghiraukan kedua orangtuanya yang gundah merasa salah besar terhadapnya. Sambil menahan amuk badai air mata, bapak hanya bisa melihat Selamet meringkup di bawah pohon.
Setelah kejadian itu, ibu dan bapak hanya membiarkan Selamet menghabiskan waktu untuk berdekatan dengan pohon. Jika ia lapar, ia akan pulang untuk mengisi perut. Jika ia merasa kusam, ia akan pulang ke rumah untuk mandi. Meski dia takkan pernah pulang karena merasa rindu pelukan bapak dan ibu.
Hari-hari di rumah menjadi sepi. Bapak tak banyak berbicara karena masih merasa bersalah, meski ibu sudah melupakan kejadian lalu. Di warung-warung, Selamet mendapat tempat sebagai bahan pembicaraan. Tak jarang, ibu mendapat celaan dan berbagai macam lainnya. Tetapi ada satu kawan yang datang menyarankan supaya ibu datang ke dukun ternama di dusun seberang. Barangkali dengan bantuan dukun ternama itu, Selamet dapat ditolong.
Setelah cukup mempertimbangkannya, diam-diam ibu pergi ke dukun ternama itu. Ia menceritakan tentang Selamet dan kejanggalannya. Sang dukun ternama ingin melihat secara langsung kiranya apa yang salah dari anak itu dapat dibantu. Mungkin roh jahat telah menguasai tubuhnya.
Setelah pulang bersama dukun ternama, mereka sibuk melihat Selamet yang hanya berdiri melihat pohon. Setelah cukup lama dan setelah membaca mantra yang terdengar rumit, sang dukun ternama menganjurkan agar nama Selamet diganti.
Ketika matahari tenggelam, Selamet pulang dan menggulung tubuhnya di kamar. Sedangkan ibu dan bapak sibuk memikirkan anjuran dukun ternama untuk sebuah nama yang tepat mengganti Selamet. Tidak ada anjuran khusus kata dukun ternama, cukup ganti karena mungkin nama itu terlalu berat untuknya. Setelah menimang beberapa nama, keputusan jatuh pada nama Alif.
Ibu menggadai kalung emas untuk membeli kambing gendut dari seorang penggembala. Sembari pulang menuju rumah dengan menggeret kambing gendut, bapak dan ibu memberitakan syukuran tentang pergantian nama Selamet menjadi Alif. Tak lupa mereka berdua meminta doa agar semua berjalan baik, Selamet diharap berubah dan tak lagi menghabiskan waktu untuk melihat pohon.
Seorang lelaki tua yang biasa menyembelih diundang. Ibu menyiapkan segala bumbu di dapur dan mulai mengolah daging sampai menguar aroma gulai ke segala penjuru. Sedangkan bapak menata segala ruangan sedemikian rupa. Hingga menjelang petang mulai berdatangan satu per satu para tetangga. Berjalanlah syukuran pergantian nama Selamet menjadi Alif penuh iringan doa baik. Selamet atau yang sekarang sudah menjadi Alif kebingungan dengan keramaian yang ada di rumahnya.
Tetapi tidak ada yang berubah dari diri Alif. Pagi sekali ia sudah berlari menuju pohon belakang rumah. Bapak dan ibu yang baru terjaga berharap akan menghirup aroma berbeda di hari ini terkejut-kejut melihat anak mereka masih diam melihat pohon. Dan berlangsung selama satu minggu.
“Barangkali nama Alif juga terlalu berat untuknya,” kata ibu.
“Syukuran lagi dong?”
“Iya, Pak.”
“Beli kambing lagi?”
“Ibu masih punya celengan,” sebut ibu sambil menjepit dua celengan ayam jago di ketiaknya.
“Celengan?” bapak terkejut, “kalau tidak cukup?”
“Insyaallah cukup.”
“Kalau insyaallah tidak cukup?”
“Insyaallah, Pak!”
Ibu membelah dua celengan ayam jago di hadapan bapak. Setelah menghitung lima kali, hasil uang dalam kandungan ayam jago selama beberapa tahun itu belum cukup untuk meminang seekor kambing gendut. Ibu mengingat kawan lama, bapak pun terpaksa mengingat kawan lama. Karena alasan demi kebaikan Alif, kawan lama pun berkenan meminjamkan sedikit uang untuk melengkapi kekurangan bapak dan ibu.
Seekor kambing yang lebih gendut dari minggu lalu dibawa pulang. Ibu dan bapak mengundang orang untuk berdoa lagi. Nama Alif diganti Akbar.
Setelah Alif menjadi Akbar juga tak ada bedanya. Ia masih melihat pohon.
“Setan,” gerutu bapak.
“Sabar, Pak.”
“Apa. Mau bikin syukuran lagi?”
“Tidak, Pak. Sabar saja.”
Melihat anak yang aneh itu, bapak ingin menghajarnya. Tetapi, rasa bersalah di masa lalu yang masih membekas dalam diri, membuat bapak tak sampai hati untuk mengulang main tangan atau mengurung anak itu lagi. Sepertinya kekerasan memang bukan jalan yang tepat. Dan pergantian nama anjuran dukun ternama yang dipercayai ibu, juga tidak membantu. Malah menambah beban baru. Semalaman bapak melamun dan tidak tidur, merencanakan sesuatu. Sesuatu hal yang tidak diduga-duga.
Sejak pagi sampai sore selesai, bapak mengintai Akbar di pohon belakang rumah, Akbar pulang menggulung tubuhnya di kamar seperti biasa tanpa mencurigai bapak yang seharian memata-matainya. Tepat pukul sebelas malam setelah memikirkan sebuah rencana matang-matang—yang membuat bapak tidak tidur itu. Bapak akhirnya berangkat. Dengan bekal satu parang tajam yang sudah diasahnya diam-diam, bapak memandang pohon-pohon di belakang rumah. Tanpa berpikir ulang, bapak mengayunkan parang beberapa kali hingga menumbangkan satu pohon. Untunglah suara sabetan parang itu tak membangunkan Akbar dan ibu. Ternyata tidak sulit bagi bapak untuk menumbangkan pohon. Bapak beralih pandang ke pohon lain dan melakukan hal serupa. Dua pohon tumbang. Tiga dan seterusnya pohon-pohon di belakang rumah menyisakan tunggul. Dalam beberapa jam menumbangkan pohon di belakang rumah bapak pun kelelahan. Beberapa pohon berbalut daging yang tebal dan usaha itu sangat menguras tenaganya. Tinggal satu pohon terakhir malam itu. Dengan sisa-sisa tenaganya menjelang azan subuh berkumandang, bapak kembali mengayunkan parang.
Klerr semua beres tak tersisa, walaupun otot-otot bapak lebur tak menyisakan tenaga untuk beranjak menuju ranjang melepas kesempurnaan tidur lelap setelah hampir dua hari tak tidur, bapak hanya mampu merangkak untuk berhasil menggapai kamar tidur. Bapak lega dan merasa sudah menang. Sebelum memejamkan mata, lebih dulu bapak mendengkur lalu sampai ke kesempurnaan tidur lelap.
Apa yang terjadi ketika pagi harinya. Akbar terpekik-pekik saat melihat semua pohon di belakang rumahnya. Ia meronta-ronta seperti orang gila kesetanan. Ibu langsung terjaga mendengar suara teriakan Akbar yang memang amat keras membuat orang-orang terganggu dan mulai berdatangan. Kecuali bapak yang masih sempurna dalam lelapnya. Orang-orang Muncul dari berbagai arah, meski pun kemunculan mereka tidak untuk memberi jalan keluar, justru ingin mendapat tontonan yang lebih seru dibanding sinetron di tipi.
Tak ada yang bisa mengobati hati Akbar kecuali kemustahilan untuk membuat pohon-pohon itu berdiri lagi.
Bapak sangat menyesal dengan apa yang telah dilakukannya. Ibu sangat terpukul dengan segala hal yang berlangsung aneh semasa hidupnya. Akbar tak ingin diajak bicara oleh siapa pun. Bahkan ia tak pernah lagi berbicara.
Seperti ingin menebus kesalahan, setiap malam hari bapak datang dari tempat yang tidak disadarainya. Bapak melihat semua pohon yang sudah ditebangnya, bapak mengeluarkan air mata. Bapak tidak tahu dengan apa yang telah terjadi pada anaknya yang selalu melihat pohon dan menangis ketika tidak melihatnya. Meski bapak sudah menangis sejadi-jadinya di antara pohon tumbang, bapak tidak pernah mengerti dan tidak pernah merasakan apa yang dirasakan anaknya bahkan ia tidak merasakan apa-apa lagi dengan dirinya sendiri. Dan air mata yang sejadi-jadinya itu seperti hambar tak mengena siapa-siapa.
Dan ibu, di setiap malam hari datang dari tempat yang tidak disadarinya. Ibu menatap parang yang digunakan bapak telah lama berdarah. Ibu tak bisa memungkiri dirinya dengan tangisan yang sejadi-jadinya, namun terasa hambar.
Air mata ibu dan bapak telah menjadi darah yang mengalir. Menenggelamkan parang dan tunggul dan rumah mereka menjadi lautan darah.
Dan juga, di setiap malam hari yang sama namun terasa berbeda itu, Akbar, berdiri di antara pohon tumbang. Sekilas-sekilas di matanya, bapak dan ibu ada di sana.***