Tapal Persinggahan Para Pengelana


Prolog Kitab Perjalanan

Persembahan yang agung
dari hujan pagi yang berlari seperti
hewan tunggangan serta langit yang
bersinar cerah setelahnya itu.
Bilik-bilik hasrat terbuka
dalam kolam jiwa melihat
segala yang nisbi.

Angin bertiup mengalirkan udara dingin
menyisir pisau dan irisan rempah
perbekalan.

Bagai menatap gerbang musim,
maka dicatatlah hari-hari yang baik.
Diraciklah segala rencana dalam
munajat doa.

Berjuta kali hujan berenang dalam
perguliran uap bumi dan mengalir
dalam biji zaitun dan delima.

Berjuta kali gerbang petang
membukakan kelopaknya
di kebun-kebun dan rimba raya fana.

Mengaransemenkan suara-suara
semesta dan mengendap
dalam labirin jiwa.  

Ketika yang ditempuh hanyalah
bahtera, ketika yang diarungi hanyalah
hari-hari yang tersusun dari udara
dan bangunan asing penuh warna, 
maka perahu itu terus dikayuh.  

Terus dikayuh sebagaimana kematian
yang selalu hidup di sepanjang
tanah tembikar.

2019  


Matahari Musim Panas

Seperti dalam Badzlu, ia berdoa pandemi
itu lenyap ketika matahari musim panas tiba.

Selain berlembar-lembar kesedihan,
berlembar-lembar hari penuh ketakutan
dikebumikan di tanah kedamaian jiwa,

adalah harmoni dan cinta yang mekar dalam
hidup seperti adonan tepung yang dicampur
dengan bahan wangi dan terbaik lainnya.

Sebagaimana hewan-hewan berkelenjar subur
telah ditambatkan di bawah pohon-pohon
berbuah ranum.

Sebagaimana kain-kain halus dijahit
dan ditenun telah menyelimuti ujung ujung benua
dan dunia ketiga.

Dan di semenanjung ini, barangkali hanyalah
kesepian berjarak jutaan cahaya dengan
agungnya asma-Mu yang memenuhi semesta.  

Seperti Socotra, bahwa hari-hari senantiasa
berlari dengan penuh keajaiban.

Hari-hari yang berlari seperti hewan tunggangan
menyisir savana, lembah-lembah, dan tapal
persinggahan para pengelana yang mencari
negeri bertabur cahaya.

2020





Menjelang Khotbah

Muamar menyelami Jum’at
penghujung bulan.
Toko kelontong yang tutup
dengan cuaca
yang sedikit mendung.

Setelah mandi junub dan bercukur
dengan tukung cukur, kemanakah
arah yang hendak dituju?

Berjalan di pinggir kota,
Muamar melihat sebiji jambu
merah marun busuk hanyut
di sungai yang dangkal.

Berjalan di depan gerbang
pasar komoditi yang hilang kumandang,
Muamar mendengar orang-orang
bersorak dalam timbunan
harga-harga, seperti buruk sorak
keledai tua di tengah savana

2020




Hujjah

Dengan radang di lehernya, zaman berhujjah
di sebuah tikungan matahari
terbit. Serupa sabda, maka hujjah itu bagai
melintasi segala dinding peristiwa.

“Hindarilah kerusakan di tengah-tengah
hajat manusia dan damai semesta!”

Maka orang-orang telah menggendong
gerombolan keledai itu di tengah-tengah
kamp pengungsian yang dipenuhi
ranjau darat itu.

Sebab pohon-pohon telah mulai tumbuh,
dan saluran air telah mengalir ke rumah
masing-masing kaum.

Dan keledai itu. Hanyalah keledai yang terus
berlahiran seperti patung anak sapi Samiri.

Sebagaimana pula kamp-kamp pengungsian
menjelma kota-kota, menjelma gemerlap
dunia bagai intan permata.

Hingga zaman pun kembali berhujjah
“Sembelihlah keledai itu dengan sebaik-
baik penghambaan diri dan jelaga doa.”  

2020




Kayu Bakar

Di dinding petang yang selaksa deret mural orang-orang
pembawa kayu bakar, cahaya terakhir hinggap
di pepohonan yang di bawahnya seekor rusa bunting
minum di kubangan.

Seseorang terjaga dari mimpi buruk sedang menjunjung
bangkai kambing di atas kepalanya. Menyaksikan
orang-orang berlalu lalang dan memasuki
padang perburuan.

Dalam gelap, dalam hitam yang memanjang, ia akan
terus menyaksikan tikus hitam menggigit pilinan
akar dalam lubang ranjau yang dipenuhi ular
berbisa di padang perburuan itu.

Hewan-hewan buas pedalaman akan terus mengintai
orang-orang pembawa kayu bakar. Berjalan dari lembah,
dari dataran tinggi dan rendah, dari semenanjung arah
yang dilintasi matahari musim yang nisbi.

Di dinding petang yang selaksa deret mural orang-orang
pembawa kayu bakar, bahwa cahaya terakhir hinggap
di atas pepohonan yang dipenuhi madu lebah itu.

Ketika seorang hamba jatuh dan tersangkut pilinan akar
di bawah pepohonan itu, maka betapa manis, betapa
terkesimanya ia menyaksikan madu yang mengental,
menetes dan tepat  memasuki mulutnya itu.

2020




Lukisan

Bahwa memorabilia musim dingin tertuang
ke dalam racikan kuah sup dengan rempah
yang mekar dari punggung semesta.

Ketika di luar langit bersayap dan berjubah
jingga itu, serta hamparan ladang gandum
menyejukkan  mata itu, telah membawanya
ke ruangan dengan lukisan gadis muda
dengan wajah purnama.

Rambutnya terurai bagai jalinan bunga dengan
pukau sepenuh tarian gerimis menatap
wajahnya di  bawah lembar bianglala.

Kiranya ada seorang perempuan tua yang bertutur,
dan menuangkan sepetakan masa silam bagai
hamparan kebun anggur yang berulang kali
dituai dalam syukur sepenuh hamba.

Akulah gadis muda itu. Akulah yang dulu seorang
gadis berwajah purnama itu.

Mendengar penuturan perempuan tua itu,
maka serta merta ia terpaku dan kian bimbang
dalam jeda yang tipis itu.

Sementara hari kian berlari menuju labirin kelam.
Di ruangan yang beraroma kasturi
dan minyak samin itu, ia pun berpikir untuk
membuang jauh jauh itu lukisan.

2019




Batu Bata  

Seekor capung hinggap di dinding yang
belum paripurna. Ketika angin semesta
berlari menuju seluruh ruang.
Aroma minyak samin, dan percakapan senja  
dalam dzikir burung-burung bersama warna
petang dan abad yang dirindukan seputih
barus dan seharum kasturi.

Seorang pengembara sunyi melintas
menunggangi seekor kuda tunggangan
dengan lemak tipis di tubuhnya.

Menatap dinding itu yang bersinar bagai
misykat, bagai bentangan kebun-kebun
ranum yang dialiri sungai-sungai
petilasan.

Seorang pengembara itu hanyalah terkesima.
Hanyalah mendekap langit seraya
membayangkan sebuah batu bata melengkapi
keindahan dinding itu.  

2019



Bagikan:

Penulis →

Budi Saputra

Lahir di Padang, 20 April 1990. Alumnus STKIP PGRI Sumatera Barat. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejak 2008, ia aktif menulis cerpen, puisi, esai, feature, dan resensi. Tulisan-tulisannya  dimuat di Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Lombok Post, Jurnal Bogor, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Tanjung Pinang Pos, Lampung Post, Kompas. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012 di Bali, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) 5 di Palembang (2011), dan PPN 6 di Jambi (2012). Buku puisi tunggalnya berjudul Dalam Timbunan Matahari (2016).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *