Stasiun Perpisahan




“Jika kereta ini sampai, kita tidak saling mencintai?” Tanyamu membuka percakapan di dalam kereta. Aku tidak menjawab.

Gerimis di luar gerbong terdengar sendu dari rintiknya yang bertampias pada kaca jendela. Wajah-wajah sepi di dalam gerbong takzim mengamati objek-objek yang mulai bergerak seolah mengejar tubuh kereta Bogowonto tujuan stasiun Tugu. Setelah kereta dengan gerbong panjang ini melaju, rasa rindu, sedih, dan kehilangan bercampur dalam hatiku. Bahkan carut-marut keadaan dari rumah kardus, sampah, gelandangan, bagai ikut menepi dari suntuknya Ibu Kota yang kini sedang ribut oleh gejolak detik-detik tumbangnya Orde Baru.

Kerusuhan telah membuat wajah Ibu Kota menjadi sendu. Apalagi pada pertengahan bulan Mei lalu, kekacauan seperti dilahirkan secara bertubi-tubi. Tidak aneh, ketika kereta ini melintasi sebuah stasiun, tampak lalu-lalang anak-anak muda yang datang atau pergi di Jakarta. Mereka yang datang seperti membawa harapan. Sementara mereka yang pergi terlihat malas membawa tubuh serta segala mimpi yang roboh. Dan, kekacauan ini juga bagai ikut mengusik kisah kita.

Ya, kau, di dalam gerbong ini hanya diam. Matamu tidak lelah menempel untuk memandang carut-marut keadaan yang ingin kau lupakan.

“Jadi setelah kita sampai nanti, segalanya berakhir?” Lagi kau berbicara.

Aku termangu dengan seribu kata yang ingin meledak di dada. Tetapi kata-kata itu mengeras bagai batu nisan di dalam rongga tenggorokanku. Aku hanya bisa menarik napas pelan. Lalu dengan harapan, dan segala mimpi yang memar, aku memincingkan mata. Syahdan, tanpa aku sangka, aku kembali mendengar teriakan, letus tembakan, pintu yang terbanting, serta segala keributan yang tak bisa aku bendung.

“Rasanya konyol,” katamu menyetak kesadaranku. “Kita jatuh cinta pada kesia-sian dan harapan.”

Mungkin apa yang kau katakan itu benar, tandasku dalam hati.

Cinta kita tidak lebih dari sekejap cahaya terang yang kemudian membuyar. Nasib cinta kita layaknya letusan kebang api di langit malam dalam suatu perayaan yang hinggar untuk kemudian surut. Tetapi, siapa yang bisa menghindari sebuah perayaan atas nasib dan cinta. Karena, takdir—seperti yang pernah kau bilang setelah banyak membaca buku karya Albert Camus—adalah sebuah festival yang berisik hingga seorang yang tuli pun bisa mendengarnya.

Dadaku seperti dijejali gabus basah dan membuatnya semakin berat. Apalagi ketika mengingat jauh ke belakang, pada pertemuan pertama kita dahulu…

***

Aku masih ingat, bagaimana dahulu waktu bertemu denganmu. Aku ketika itu adalah seorang ativis mahasiswa yang begitu tergila-gila dengan Albert Camus. Seluruh bukunya dari La Peste, Caligula, hingga L’tranger sudah aku baca tuntas. Karena kutipan pentingnya, ‘aku berontak, maka aku ada’ itu, akhirnya aku sering ikut demonstrasi. Pada waktu berdemonstrasilah, aku pertama menjumpaimu.

Kau, sebagai seorang wanita yang memiliki darah campuran Indonesia-Jerman, yang kuliah di sebuah universitas negeri Jogja dan memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi, acap ikut dalam demonstrasi-demonstrasi yang aku serta teman-teman buat.

“Aku Louisa Heathcote,” katamu memperkenalkan diri pertama kali.

Setelah pertemuan itu, hubunganmu denganku semakin dekat. Kami pun semakin dekat lagi karena sering berdiskusi mengenai buku Albert Camus.

“Albert Camus adalah pemikir yang gila,” katamu. “Dia tidak saja seorang pemikir di belakang meja, tapi ia mau turun ke jalan.”

“Benar!” Timpalku. “Dia seperti Jean Paul Satre. Dia melihat pembebasan baru terjadi ketika kata-kata digerakan secara politik. Maksudku, kata-kata adalah manifestasi atas politik pengetahuan. Dan pengetahuan ini perlu gerakan. Maka, ia memanfaatkan benar politik gerakan dalam arti yang nyata. Bukan sebagai politik praktis yang banyak kita temukan di negeri ini.”

Pertemana kami semakin erat. Karena banyaknya rapat rahasia, demonstrasi-demonstrasi yang panas dan menegangkan, penculikan rekan-rekan seperjuangan di bahwa pemerintah Orde Baru, semua itu seakan merekatkan kita pada satu perasan senasib. Hingga kemudian, kita menjadi sepasang kekasih.

Tetapi, cinta kita kembali dihadang oleh keadaan rumit di penghujung tumbangnya Orde Baru. Kau secara mendadak mengundurkan diri dari kelompok demonstran.

“Aku tidak bisa melanjutkannya,” katamu padaku. “Jika aku semakin jauh melangkah, aku sama seperti membunuh ayahku.”

Aku sangat terkejut saat tahu kalau ayahmu adalah salah satu dari antek penguasa yang terus membuat bodoh negeri ini. Tetapi, aku tidak bisa menyalahkanmu.

“Maafkan aku,” tambahmu lagi. “Seandainya Ayahku bukan seorang dari para penguasa yang sedang ingin kau dan teman-teman gulingkan, aku pasti ada di sana.”

“Sudahlah, Louisa!” Tandasku. “Aku tahu bagaimana posisimu.”

Kau akhirnya mengundurkan diri. Tetapi kita masih sering bertemu. Ketika bertemu, aku acap mendapatkan informasi-informasi penting mengenai rencana intelegen terhadap para mahasiswa.

Akhir-akhir ini, aku sering mendengar mengenai seorang mahasiswa yang hilang. Mereka kebanyakan diculik oleh aparat yang menyamar jadi masyarakat. Para mahasiswa itu kemudian disiksa dan diperas informasinya. Mereka yang tak kuat dengan siksaan biasanya akan berkhianat dan membocorkan keberadaan teman-temannya.

Dari sinilah, aku mengerti, kepercayaan dan keyakinan adalah hal yang nilainya hampir serupa dengan jiwa seseorang.

“Kini banyak penghianat yang  memilih mengorbankan nyawa temannya agar selamat,” ujarmu risau.

“Ketakuan memang sering membuat seseorang berubah,” jawabku.

Kau mendekap tubuhku, “Apakah kau akan melakukan hal yang sama bila tertangkap?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Hanya saja waktu itu melintas wajah kawan-kawanku yang penuh harapan untuk sebuah perubahan.

Aku menjawab, “Aku lebih memilih bungkam untuk perubahan yang lebih baik.”

“Jadi kau memilih mati?” Tanyamu.

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa memelukmu sembari berdoa agar takdir tidak memisahkan kita. Hanya yang terjadi dua minggu kemudian, adalah peristiwa lain…

Hari itu, kau tidak datang. Aku menunggumu berjam-jam lamanya di sebuah kontrakan kecil tempat biasa kita bertemu. Sampai tepat pada pukul sepuluh malam, datang seorang aparat yang meringkusku. Pria dengan pakaian militer itu menghajarku hingga babak belur. Ketika mataku terbuka, aku sudah berada di tempat lain yang gelap, pengap, dan bau.

Di sana, aku dipaksa untuk mengatakan keberadaan teman-temanku. Tetapi, aku memilih tidak mengatakannya.

“Di mana para bajingan itu sembunyi?!” Tanya aparat.

“Aku tidak tahu,” jawabku tegas.

Aku senantiasa menolak menjawab pertanyaan yang diacungkan lewat pukulan dan hantaman. Hingga dua hari kemudian, aku dibuang begitu saja di pembuangan sampah. Tetapi dalam keadaan tidak sadar, aku sempat melihatmu memohon kepada Ayahmu untuk melepaskanku. Usai drama tangisan itu, aku tidak tahu kejadian apa menimpaku.

Begitulah saat tersadar, aku sudah berada di ruangan asing lainnya. Ternyata kaulah yang membawaku. Kau merawatku hingga aku sedikit bisa mengunyah nasi dan berjalan dengan benar. Ketika aku sudah pulih, kau menuntutku untuk lekas meninggalkan kota ini dengan menangis.

“Kau harus meninggalkan kota ini,” katamu. “Sesegera mungkin!”

Aku sempat menolaknya. Tetapi, kau meyakinkan apabila aku masih bertahan di kota ini, teman-temanku yang lain akan terancam. Mendengar nasib rekan-rekan dan mimpi-mimpi perjuang dari pemberontakan menggulingkan rezim kolot ini, aku memutuskan untuk pulang ke Solo. Sementara itu kau dikirim Ayahmu untuk kembali ke Jogja—tinggal bersama nenekmu.

***

Kau masih diam di dalam gerbong kereta yang membawa seluruh kesedihan kita. Tanganmu semakin erat menjabatku. Dan ketika kereta melintasi Jembatan Serayu dengan senja menguning di ufuk barat, kau bekata bahwa ‘harapan memang tidak pernah diciptakan bagi orang-orang yang kalah.’ Aku tak bisa membalas apapun selain meremat tanganmu kencang.

“Jadi kalau kita sudah sampai nanti, semua ini akan berakhir?” Lanjutmu.

“Bila satu hal itu bisa menyelamatkan banyak hal,” aku ragu mengatakannya, tapi tetap meluncur juga. “Kita harus melakukannya.”

“Jadi kita tidak akan saling mencintai?”

Kereta terus melaju ke arah kotamu; ke arah kotaku; ke arah perpisahan yang sudah kita pahami pasti terjadi. Kereta ini melaju seperti cahaya yang begitu cepat. Bahkan kereta ini seperti tidak melaju di atas tanah—melainkan berjalan di atas bantalan udara yang membuatnya jauh lebih ringan.

Seketika aku ingin menghentikan kereta ini untuk beberapa waktu saja. Aku ingin menghentikan jalannya sebuah perpisahan yang sudah menunggu pelan-pelan di hadapanku. Mendadak, aku meraih bahumu dan kupeluk dirimu.

“Tubuhmu dingin,” ungkapmu. “Wajahmu pucat.”

“Aku lupa makan,” timpalku.

Setelah melintasi sungai Serayu, kereta menembus Stasiun Kebasen, Randengan, Kroya, Kemranjen, Sumpiuh, Tambak, Ijo, hingga sampai stasiun di Kedundungan. Kereta terus melaju membawa rasa kehilanganku yang semakin mendekat.

Kau menatapku nanar. Kau tidak ingin perpisahan ini terjadi. Tetapi kita tidak memiliki pilihan lagi untuk bertahan. Aku harus lekas melepaskanmu untuk keselamatan rekan-rekanku yang kini sedang berjuang.

 Kereta melintasi stasiun kecil Patukan di Wates. Kita lantas saling tatap untuk membaca kesedihan masing-masing.

“Apakah kau masih mencitaiku bila kita sudah berpisah?”

Tidak ingin berkata-kata lagi, aku mengambil ranselku. Aku mengobrak-abrik isi ransel itu mencari sesuatu. Saat menemukanya, aku cepat menyodorkan sebuah kotak dengan ukuran sekepal tangan kepadamu.

“Apa ini?” Kau bertanya. “Hadiah terakhir untuk sebuah perpisahan?”

“Ini adalah cinta yang bisa kuberikan padamu,” jawabku menitikkan air mata.

“Jadi kau masih akan mencintaiku setelah kereta ini sampai?”

Aku tidak menjawab. Kau tampak kecewa. Kereta pun berhenti di stasiun Tugu. Kau turun bersama penumpang lainya—bersama air mata dan lubang di dada.

Kereta kembali berjalan. Aku menatapmu yang perlahan tertinggal dengan segala perasaan hampa di dadak.

***

Setelah kereta berhenti tak ada lagi hal yang bisa dipertahankan. Bahkan cinta kita. Hanya ketika kau sudah sampai rumah dan membuka isi kotak itu, kau terkejut. Kau menemukan sebuah jantung kering di dalamnya. Kau juga mendapati sebuah kalimat yang bertuliskan: Tubuhku memang bisa remuk dihancurkan oleh kekuasan, Louisa, tapi tidak untuk cintaku kepadamu. Tulisan dan jantung kering itu membuatmu bergetar.

Kau semakin berlinang air mata ketika mendapatkan kabar dari tayangan televisi bahwa terdapat seorang pemuda yang mati dengan luka pukul di tubuhnya pada area stasiun di Jakarta. Kau menangis saat mengetahui bahwa sosok itu adalah aku: orang yang menemanimu sepanjang perjalan menuju stasiun perpisahan. (*)



Bagikan:

Penulis →

Risda Nur Widia

Cerpennya telah tersiar di berbagai media nasional dan lokal. Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Berburu Buaya di Hindia Timur (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *