Ketika radio di mobil memberitakan kasus orang hilang, Katrina menatap dedaunan oak mulai gugur, meriung ringkai di sepanjang sisi jalan. Kesenduan yang manis, desirnya. “Ini perempuan ketiga yang hilang secara misterius,” ucap Igors, hanya diserap bagai dengungan tak mengusik di telinganya.
Ia acuh tak acuh pada apa pun yang mengalihkan pandang. Sejam perjalanan dari pusat kota Riga menawarkan banyak keindahan. Mata Katrina menanar jauh ke rimbunan ilalang yang melintas. Ia ingat, ketika kecil sering berlari-lari membelah padang rumput liar yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah, meniup bulir-bulir dandelion hingga melayang terbawa embusan angin. Menurut Klavs, sahabat kecilnya, serbuk-serbuk itu akan terbang sejauh sayap-sayap halusnya mengepak hingga lelah—mencari kehidupan lain—lalu hinggap di suatu tempat dan tumbuh menjadi batang dandelion baru.
Ia menatap sepenuh arti lelaki di sampingnya. Cahaya senja mengelir sebagian rahang tegas di belakang kemudi. Bulir-bulir dandelion seolah menguar di atap kepala, bertebaran mengisi relung hati yang pernah kosong, gersang tak berbentuk.
***
“Jadi, bagaimana rupa wajah-wajah mati itu?”
“Seperti wajah yang hidup.”
“Kau kenal orang yang menyerupainya?”
Katrina menggeleng. Pandangannya bertolak ke luar jendela kafe, menatap mereka yang lalu-lalang di pedestrian.
“Ceritakanlah awal pertemuanmu dengan Igors.”
“Akan cukup panjang. Kau punya banyak waktu?”
“Cukup banyak sampai ada jatuh korban lagi.” Petugas berpakaian kasual itu menunggu Katrina sambil memainkan jempolnya, membuka-tutup Zippo.
“Awalnya sangat pedih.”
***
Ibu pernah bilang, “Semua perempuan itu cantik, Katrina,” sambil memeluk dan mengelus ubun-ubunku. Klavs melapor pada Ibu. Mereka menyebutku beruang bunting, kuda nil, “Anak babi pantasnya berkubang di lumpur,” sambil melempar tanah becek yang bau dan pekat di hari ulang tahunku. Itu bukan kado kejutan. Itu petaka. Mereka tak melakukan itu pada anak lain di hari ulang tahunnya. Hari-hari setelahnya menjadi tak lebih baik bahkan saat mereka urung merajalela, hanya senyum sinis setengah berbisik acap aku lewat, rasanya sungguh meremas jantung. Suatu sore, tergopoh-gopoh Ibu memasuki kamar. Dilihatnya pecahan kaca telah berserakan di lantai. Aku benci sekolah. Aku benci cermin. Aku benci tubuhku sendiri!
Setelah kelulusan, kuputuskan untuk pergi dari Lielvarde, mencari kehidupan baru di Riga. Masa-masa menyebalkan itu nyatanya mesti kutebus dengan waktu yang tak pernah cukup untuk sehari. Pagi kuliah, sisanya bekerja sambilan di beberapa tempat. Langkah gontai membawaku pulang ke flat tua yang sempit. Hari-hari selanjutnya tak jauh beda. Hidup sendirian di kota asing membuatku kerap memakai kacamata pengamat. Kursi-kursi kafe lebih banyak tertata ke dalam meja. Orang-orang saling mengambil jarak saat berjalan. Tak ada bunyi yang lebih nyaring selain deru mobil yang melintas dan obrolan singkat para turis. Jarang sekali ada karnaval atau parade tahunan. Para penghuni flat seperti saling menunggu untuk keluar, agar terhindar dari keharusan menyapa satu sama lain. Tiap orang bertanggung jawab dengan kehidupannya sendiri. Aku jadi terbiasa dengan kondisi ini setelah mengenal Janis, tetangga sebelahku yang kikuk. Aku lupa bagaimana, suatu kali kami sempat berbincang di depan pintu kamar. Sejak itu, ia agak mencair. Darinya, kutahu beberapa hal garib: tentang flat yang namanya diambil dari nama seorang pemimpin Soviet saat program komunal digencarkan, eksodus penduduk ke negara lain beserta hal-hal politisnya, utopia Baltik Raya, dan sekian narasi aneh yang menggebu-gebu ia ceritakan.
“Ada gap dan perubahan budaya setelah berakhirnya era Soviet,” tukas Janis dengan raut serius ketika kutanyakan mengapa suasana kota begitu sepi dan orang-orang cenderung tertutup.
Mungkin kita hanya harus saling mengenal. Tanpa diduga, dengan nada gugup, pada suatu hari tiba-tiba Janis mengajakku keluar untuk melihat aurora di sebuah Taman Nasional yang tak jauh dari Riga. Meski tertarik, aku tunda tawarannya dengan bahasa paling baik. Ia bukan tipeku. Mungkin agak jual mahal. Jika jalan dengan seseorang, aku harus merasa nyaman. Seperti dengan Klavs. Oya, setelah bertahun-tahun pisah, akhirnya aku berjumpa Klavs di sebuah restoran. Saat itu ia bilang hanya sebentar lewat Riga untuk urusan logistik. Ia bekerja di perusahaan ekspedisi. Sedangkan aku baru diangkat menjadi asisten pribadi di sebuah perusahaan konsultan. Ia pangling melihatku.
“Kau bukan lagi beruang bunting, Kat,” selorohnya memburai tawa. Waktu itu aku memang sedang getol berlatih dan berlatih di gym sampai lupa waktu. Tapi rasanya itu hanya basa-basi kawan lama.
Tubuhku tak sesusut sesuai pujian. Wajahnya yang berubah. Pipinya tak berbintik seperti dulu. Potongan rambutnya kekinian. Kami bercakap-cakap sore itu. Bercerita banyak tentang kampung halaman yang membikin kangen. Sebelum berpisah, ia berkata sesuatu; aku harus mulai membuka diri. Mungkin dia benar. Tapi tidak dengan tetangga aneh macam Janis. Beberapa kali pula aku tolak ajakan teman kantor untuk melepas weekend di pub lokal. Sampai seseorang memperkenalkanku dengan Si Brengsek, bayangan para Geng Ratu Kecantikan sekolah itu mencuat lagi merusak hari-hariku. Sebenarnya aku malas membicarakannya. Untuk kebutuhan penyelidikan, baiknya kusebut nama itu: Olegs. Perawakannya atletis, hingga perempuan mana pun dijamin tak bakal menolak ajakannya untuk minum dan berdansa, keluar mencari udara segar, lalu bersenang-senang di parkiran. Tak terkecuali aku. Si bodoh ini.
***
“Kau suka musik folk?”
Aku tak tahu apakah Igors termasuk tipe dokter yang kerap mengajak kencan pasiennya. Aku sendiri tak yakin bila ini sebuah kencan. Di kota ini jarang terjadi interaksi antara orang yang tak saling kenal. Bila mereka bilang menyukaimu, mereka memang menyukaimu. Bila mereka mengajakmu pergi, berarti mereka ingin mengenalmu lebih jauh.
Kami duduk bersebelahan di sebuah kafe menikmati alunan musik folk tradisional bercampur distorsi dengan volume sedang. Aku suka saat ia menerangkan sesuatu meski beberapa lesap dari pendengaran. Rona visual lebih teramat sayang terabaikan.
“Aku membuat wajah mati,” tuturnya datar, menjawab pertanyaanku perihal hobi senggang.
“Wajah mati?” Mungkin aku terlalu banyak minum.
“Prostetik. Seperti wajah-wajah iblis yang kau lihat dalam film. Meski sekolah kedokteran, aku suka seni. Kupelajari serius lewat internet.”
“Terlalu serius untuk sebuah hobi.”
“Yah, tak banyak yang bisa kau lakukan saat musim dingin. Semacam anekdot dari buku komik yang pernah kubaca: salju kerap menolong orang memperkecil pertemuan beresiko.”
“Mungkin banyak penulis di kota ini.” Kalimatku barusan membuatnya tertawa.
“Jangan-jangan kau penulis.”
“Mengapa aku terlihat seperti penulis?”
“Entahlah, penulis suka satir pada kehidupannya sendiri. Bukumu tentang apa?” tanyanya yakin sekali menebak.
“Tentang rasa kehilangan,” jawabku sekenanya.
“Jadi, apa kau akan menelitiku?” tuturnya menatap lembut mataku, memperpendek jarak hingga napasnya tercium.
Awalnya aku mengenal Igors secara acak dari daftar dokter bedah yang ada di kota ini. Si Brengsek itu membuat duniaku anjlok. Saat sedang cinta-cintanya, ia main api dengan seseorang. Perempuan itu sangat cantik, tinggi semampai dengan rupa elok sempurna. Aku ingin Igors membantuku. Aku ingin mengubah bentuk hidungku. Tinggi badanku. Kelopak mataku. Apa pun hingga membuatku cantik sempurna. Tak seperti beruang bunting atau anak babi yang jelek. Alih-alih langsung setuju, Igors malah merujukku ke psikolog—setelah kuceritakan masalah pribadi tanpa canggung. Meski teknologi dapat membantu, beberapa hal lebih terkait kondisi emosional ketimbang kebutuhan, katanya, “Dan setiap operasi, semacam osteogenesis distraksi atau rhinoplasty pun, ada resikonya.” Beberapa kali aku datang, jawabannya selalu sama. Igors terkesan tak semangat bila kedatangan pasien untuk permintaan operasi. Dokter yang aneh.
Kami jadi lebih sering bertemu sejak malam folk itu. Mengunjungi museum rumah kayu tradisional, kastil di tepi sungai Daugava, merekam aurora di Kemeri yang urung kulakukan dengan Janis.
Nyala cahaya di langit begitu indah, seolah bergemulai, menaungi sepasang bibir kedinginan.
***
“Buatkan aku wajah itu,” pinta Katrina di rebahan bahu Igors.
“Kukira kita sudah membahasnya beberapa kali,”
“Bukan tentang operasi, Igors. Topeng wajah itu.”
Wajah-wajah mati terpampang di tembok. Rautnya seperti para pelaku bom bunuh diri. Di ruangan yang disebut workshop itu segala tekstur serupa kulit dan sayatan daging berbaur dengan potongan mirip tubuh manusia, rangka, dan wadah ukur berisi cairan merah pekat yang teronggok acak di setiap sudut. Satu wajah perempuan menarik perhatian Katrina sejak pertama datang ke tempat ini—rumah besar di pinggiran kota tempat Igors tinggal.
Setelah menutupi sekujur dadanya dengan kaus, Igors mengajak Katrina menuju ruangan lain. Ia duduk di sebuah kursi ketika Igors mulai mengaduk campuran silikon berwarna putih, berbau menyengat. Sapuan pertama membuat Katrina bergidik.
“Dingin, dan lembut seperti adonan. Apa semua wajah itu dicetak dengan cara begini?” tanya Katrina, melirik ke arah tembok.
“Ya. Supaya identik.”
“Banyak wajah perempuan di sini.”
Mata Igors fokus, terpaku menguas wajah.
“Siapa mereka?”
Igors tak langsung menjawab. Tangannya mengambil beberapa bahan di meja, mempersiapkan adonan yang disebutnya resin. Selapis demi selapis silikon akan menutupi seluruh wajah Katrina.
“Apakah satu dari mereka itu mantan pacarmu?”
“Ya, beberapa.”
“Beberapa?”
“Pejamkan matamu.”
Gelap. Situasi begini mengundang perasaan ganjil. Bayangan masa lalu melintas. Kegelapan Rumah Hantu yang pernah Katrina masuki di sebuah pasar malam datang menyergap. Ia ditinggal pergi beberapa temannya hingga meringis ketakutan. Hantu-hantu itu semakin mendekat, hendak merengkuhnya.
“Namanya Sovya. Sehari menjelang pertunangan, ia tiba-tiba hilang. Sejak itu aku mencetak wajah orang-orang yang kukenal agar mereka abadi, meski suatu saat nanti mereka pergi. Mereka bukan perempuan jelek, Katrina. Mereka adalah pasien-pasienku yang tak pernah merasa cukup. Buat mereka, jalan bagi cantik sempurna adalah upaya yang tak terbatas.”
Katrina kesulitan bicara. Wajahnya telah mengeras. Degub jantungnya mengencang.
Sovya adalah nama yang sama dengan nama perempuan yang membuat Si Brengsek tergoda. Nama salah satu korban yang turut menghilang sampai sekarang.
Di luar, cuaca menusuk. November akan berakhir dan salju-salju tetap turun menutupi jalan. Beberapa waktu sebelum sekarang, di sebuah kamar sempit, seseorang tengah duduk berteman lampu redup memerhatikan foto-foto perempuan cantik yang berserakan di meja. Sebuah tulisan diary bergaya fiksi tergeletak di sampingnya. Nampaknya ia sudah cukup lama menguntit calon korban.
“Tak boleh ada lagi yang membuatmu kecewa, Katrina.”
Sebuah foto bertanda silang ia raih.
“Tak boleh ada perempuan cantik selain kamu.”
Bojongsoang, 2019