TIADA lagi badut-badut di sekitar lampu lalu lintas. Atau, badut-badut yang disewa oleh seseorang demi membuat tawa anaknya terkembang. Baru-baru ini, para pelawak itu seperti dilahap bumi. Kabar itu, lantas membuat Nio ketakutan setengah mati.
***
Nio menjadi badut lantaran peruntungan sebagai loper tidak membawa kemujuran. Ia mengungkapkan pada Nurmala, bahwa profesi badut sedang digandrungi. Badut-badut di kota ini tak ubahnya selebriti. Keberhasilan menghibur menjadi buah ketenaran. Nio tergiur. Sejak kecil, ia kepengin dielu-elukan oleh banyak orang. Karena itulah, ia banting setir, memutuskan jadi badut. Kendatipun hanya sebagai badut jalanan.
“Aku ingin menjelma penghibur, macam entertainment di TV. Seandainya tidak ada yang terhibur, setidaknya aku dapat menghibur diriku sendiri,” kelakar Nio pada Nurmala di pagi yang hangat. Lelaki itu seperti menjumpai matahari terbit di wajahnya.
“Semoga, kau dapat mengembalikan senyum orang-orang yang hilang,” riang Nurmala, mengelus pipi Nio. Barangkali, ia bermaksud supaya matahari di wajah suaminya itu tidak lantas pudar maupun terbenam.
Profesi badut memanglah sedang digandrungi banyak orang. Itu lantaran kesedihan tengah merajalela. Semua orang percaya, bahwa kota mereka tengah dijadikan persinggahan bagi kesedihan. Kesedihan laksana banjir yang menenggelamkan orang-orang. Tiap hari, selalu ada orang yang menangis. Tempo waktu, Juleha menangis tergugu-gugu. Matanya beriak, lalu meluap bagai Sungai Ciliwung menenggelamkan Jakarta.
“Kaulihat, Juleha menangis. Istri Pak Walikota itu bersedih. Dan, barangkali aku juga bakal menangis. Istriku juga akan menangis dan anak-anakku meniru tangisan kami berdua. Apakah suatu saat nanti, kami akan menangis bersama seperti festival?”
Itulah yang dirasakan oleh orang-orang. Di tengah kesedihan yang mewabah, Nio merasa menjadi pahlawan. Tidak hanya sekadar selebriti, ia serasa jadi superhero. Nio, dengan pijar di matanya serta senyum yang selalu terkembang, mengenakan kostum badut; wig pelangi, hidung tomat, perut buncit, serta pakaian cerah lagi meriah.
Saban pagi, Nio mengangsurkan punggung tangannya supaya dicium Nurmala. Lepas itu, Nurmala menyiapkan keningnya buat dicium Nio. Mereka laksana pengantin yang baru menikah. Sebelum pergi, Nio merapikan kostum badutnya dan diakhiri dengan mengucap salam. Nurmala melambaikan tangannya, seraya membalas salam suaminya. Nio—dengan gagah—melangkah pergi, seperti pegawai hendak masuk kantor.
Hari ini merupakan hari keberuntungan Nio. Ia tak perlu berjoget bersama badut-badut lainnya di pinggir lampu lalu lintas. Tak perlu berkeringat di bawah terik matahari demi mendapat sepeser uang dari pengendara. Sebab, Kaji Moekijat telah menyewa jasanya untuk menghibur anaknya yang kini tengah merayakan ulang tahun.
“Dua juta rupiah, kurang tidak?” Begitu ucap Kaji Moekijat tempo waktu, yang lantas membuat senyum Nio mengembang seperti adonan kue berangsur matang.
Kaji Moekijat menyambut Nio seumpama pahlawan baru tiba di medan laga.
Begitu Nio selesai menghibur anak Kaji Moekijat, ia lantas pulang dengan membawa segepok uang. Senyumnya tak henti-hentinya meriap di bibirnya. Dan, sampai saat Nio pulang ke rumah, undangan demi undangan datang silih berganti. Tiap hari, selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Ada saja yang bertandang ke rumah Nio, membawa iming-iming berupa imbalan yang menggiurkan. Nio senang dan mulai membeli barang-barang.
Nurmala merasa senang, lantaran punya baju baru. Anak-anak Nio gembira, memiliki mainan anyar. Mereka tidak lagi menjadi keluarga yang menyedihkan. Dan, Bahkan, mereka mulai merencanakan vakansi ke luar negeri. Betapa kehidupan yang hangat.
Tetapi, Nio lupa bahwa dunia tidak akan berlangsung secara baik-baik saja. Hampir semua orang mungkin saja sudah mengenalnya sebagai pembawa berkah; badut kenamaan yang dielu-elukan banyak orang demi menyirnakan kesedihan. Dan, bahkan, sebagian telah memujanya. Menganggap Nio sebagai dewa. Akan tetapi (ya, tetapi), ia tidak sadar kalau dirinya tengah jadi incaran. Itulah yang dialami Nio ketika sekelompok orang menamakan diri sebagai Komisi Pemberantasan Badut Tidak Lucu.
Seumpama sebuah rezim, komisi tersebut bertekad memberantas para pencemar kota. Pencemaran yang mereka maksud tatkala mendapati kualitas badut yang buruk dan kualitas itu dinilai berdasarkan lelucon yang para badut itu peragakan.
Badut-badut yang masuk DPO acap kali hilang tak keruan juntrungan. Minggu lalu, Kirun sudah tidak tampak batang hidungnya. Sehari setelah melawak di pinggir lampu lalu lintas, badut malang itu hilang bagai dilahap bumi. Tidak hanya Kirun semata. Bagio juga pernah mengalami hal serupa. Bahkan, lebih parah. Hanya berselang waktu beberapa jam setelah melawak, mayat Bagio ditemukan hanyut di mulut sungai.
“Mereka memperlakukan badut serupa seekor anjing. Bahkan, lebih dari itu; mereka membunuh belasan badut tanpa proses peradilan. Dan, yang jadi soal, apa kesalahan para badut itu hingga mereka tega membunuhnya? Apakah hanya karena dinilai kurang jenaka? Ladalah, kota ini makin lama makin kacau,” sedih seseorang.
“Profesi badut pun dihukumi macam koruptor saja. Padahal, sudah jelas-jelas bahwa mereka berusaha menghibur, bukan mengerat uang rakyat!”
Protes sebagian orang tidak akan menghasilkan apa-apa, selain kesia-siaan belaka. Anggota Komisi Pemberantasan Badut Tidak Lucu tersebar di mana-mana. Mereka seperti hantu yang bergentayangan di tiap penjuru. Mata mereka mirip teropong. Dari jarak jauh, mereka lekas tahu: siapa badut yang mesti mereka hilangkan. Hingga, sejauh mata mereka memandang, berjumpalah para anggota komisi itu dengan sosok Nio.
“Surat kabar mewartakan bahwa namaku termaktub dalam DPO para komisi keparat itu,” sedih Nio, kepalanya terjerembap di ketiak Nurmala.
“Tenanglah. Tenang, Suamiku. Kau tidak akan kenapa-kenapa.”
“Tetapi, Komisi Pemberantasan Badut Tidak Lucu tidak pernah mengingkari ucapan mereka. Aku takut bila esok, nyawaku melayang begitu saja hanya karena gagal menghibur anak Bu Juleha, istri Walikota itu.” Nio menangis sesenggukan seperti bayi.
“Kau, kan, dapat berkilah, bahwa kejadian itu hanyalah kecelakaan belaka.” Nurmala merangkul Nio, semupama merangkul seorang bocah. “Lagi pula, kau bermaksud mengibur, bukan beritikad membunuh anak Bu Juleha.”
“Apakah komisi itu akan membebaskanku?” cemas Nio, matanya beriak.
“Katakanlah pada komisi berengsek itu, bahwa kau telah mengembalikan senyum anak-anak yang hilang. Setidaknya, anak-anak di kota ini kembali mengenal senyuman. Kebahagiaan kembali merekah laksana setangkai mawar menjumpai musim berbunga. Kau tak ubahnya pahlawan, kendatipun tidak berperang melawan bala tentara.”
Nio tersenyum simpul. Kalimat Nurmala membikin kecemasan Nio menguap. Ia tak perlu khawatir terhadap ancaman Komisi Pemberantasan Badut Tidak Lucu. Sebab, ia merasa tidak bersalah dan dapat berkilah, atau membalikkan tuntutan. Hingga, sampailah Nio pada hari berikutnya. Hari di mana kebahagiaan datang bagai hantu yang sering tidak terduga. Kebahagiaan itu berupa seamplop undangan dari seseorang.
“Kau lihat, seseorang menawariku jadi badut di pesta ulang tahun anaknya. Dan, coba kautengok! Seseorang itu mengupahiku sepuluh juta. Sepuluh juta,” girang Nio, sembari menyerahkan surat undangan itu pada Nurmala. Sesaat, ia berjingkrak-jingkrak serupa anak SD dapat mobil-mobilan. “Sebentar lagi, kita akan bervakansi ke Jerman.”
Hari itu, Nio mulai berangkat. Dan, seperti hari-hari sebelumnya, ia mengangsurkan punggung tangannya buat dicium Nurmala. Setelahnya, Nurmala menyiapkan kening untuk dicium Nio. Lantas, Nio merapikan kostum badutnya. Menyapunya dari debu-debu yang merajalela. Nio juga memasang hidung tomat, serta memasukkan sejumlah perca, agar perut tak terlihat mengerut. Tampaklah ia serupa badut pahlawan pengusir kesedihan.
Nio beranjak pergi bagai pegawai kantor hendak menerima gaji. Dari jauh, Nurmala melambai-lambaikan tangannya. Melepas kepergian suaminya menuju medan laga. Sekilas, keluarga kecil itu tampak hangat. Sehangat matahari pukul tujuh pagi. Kendatipun mereka tidak sadar, bahwa Nio tidak akan pernah kembali pulang. ***
Kota Gadis, 2019