Ada beberapa hal aneh yang bisa kulakukan mulai dari berubah menjadi ular, hingga memerintah jiwa orang sakit sebelum meninggal, namun ada baiknya kuceritakan awal mulanya.
Selama beberapa minggu aku merawat nenekku yang sudah renta, usianya yang sudah hampir sembilan puluh tahun menjadikannya lumrah untuk menderita sakit tua seperti yang dialaminya sekarang. Aku yang saat itu baru lulus dari sekolah tinggi keperawatan dikirim khusus ibuku untuk merawat nenek menggantikan Kumala, kakak sepupuku yang dua bulan terakhir menjaga nenek.
Di rumah itu hanya ada aku dan nenek. Rumah nenek bukanlah rumah yang terpencil dan jauh terpisah dari rumah lainnya, tetangga di sini cukup mepet kiri dan kanan paling hanya sekira dua setengah meter, sehingga suara anak kecil yang menangis pun masih bisa kedengaran, percekcokan kecil antara suami dan istri yang biasanya karena masalah uang atau kecemburuan juga cukup jelas terdengar. Namun, tidak begitu jika suara bersumber dari rumah nenek, satu orang pun tetangga tidak akan bisa mendengarnya. Tentang mengapa itu bisa terjadi, tentu akan kalian paham setelah kulanjutkan ceritaku.
Awalnya semua berjalan biasa saja, aku merawat nenek sebagaimana mestinya seorang lansia harus diperlakukan, membersikan badannya, menyuapi saat makan, memberi bebarapa obat dan ramuan herbal sesekali, mengganti popok dan pakaian, hingga membersihkan duburnya setiap kali selesai buang hajat. Selebihnya adalah mendengarkan nenek berceloteh tentang apa saja. Rupanya di usia tua, seseorang bisa sangat cerewet dan penggerutu yang bisa mengutuk apa saja seharian terutama mengutuk anak-anaknya yang kurang berbakti karena dinilai jarang mengunjunginya.
Menjelang minggu kelima aku menemani nenek, mulai sering kulihat nenek bertingkah aneh. Hal yang paling menyita perhatianku adalah tatapan nenek ke arahku yang sering kali dia tatap bergantian dengan guci berukuran sedang yang terletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Guci keramik berwarna putih bercorak biru tua. Setelah menatap aku dan guci itu bergantian biasanya nenek akan langsung tertidur, lebih tepatnya pura-pura tertidur karena jika aku beranjak dari sana aku tahu dia diam-diam meraih guci itu dan memeriksa sesuatu di dalamnya. Cara memeriksanya bukan memeriksa biasa, melainkan berubah menjadi seekor burung yang hinggap di bibir guci lalu melompat ke dalam guci.
Aku berteriak sejadi-jadinya saat itu tapi tak ada suara keluar dari mulutku. Aku bahkan tak bisa berlari kembali ke kamarku, aku khawatir saat itu aku akan pingsan. Tapi aku tertahan di sana berdiri tepat di depan pintu kamar nenek yang sedikit terbuka sampai akhirnya nenek kembali utuh meringkuk di bawah selimutnya.
Baru setelah itu pelan-pelan aku menyeret kakiku menuju kamar yang hanya hitungan sepuluh langkah dari sana. Malam itu juga aku menelepon ibuku untuk dijemput, tapi tak kuceritakan apa yang baru saja kulihat, pasti tak akan dipercayanya apa yang akan kuceritakan. Ibuku berjanji akan segera menjemputku di akhir bulan, itu berarti masih dua pekan lagi.
Melihat tingkahku yang kikuk, nenek berulang kali menanyaiku tapi kujawab bahwa aku hanya sedang tidak enak badan. Dalam hati aku sungguh ketakutan dan ingin segera pergi dari rumah ini, setelah kejadian itu aku mulai semakin awas dengan keadaan sekitar, dan benar saja, ternyata selama ini aku terlalu abai akan kejadian di sekitarku misalnya bagaimana setiap sore hari menjelang magrib ada bunyi terompah kayu kolong rumah atau bagaimana tempayang air selalu habis setengahnya menjelang subuh meski aku ingat betul aku tak menggunakan air sedikitpun semalaman, juga sudah kuperiksa jika sekiranya ada rembesan air akibat kebocoran, tapi tak ada. Belum lagi bunyi kebyar-kebyur dari dasar sumur semalaman.
Selain kejadian itu aku bahkan pernah mendapati sekujur tubuh nenek basah kuyup beserta ranjangnya di suatu pagi seperti orang yang habis berenang atau hujan-hujanan semalaman. Tapi anehnya tak ada rembesan air di lantai padahal tubuh nenek layaknya kucing basah yang baru saja tercebur ke dalam kolam: kisut, lembab, apek dan menjijikkan.
Aku mencoba diam dan tak bertanya apa-apa meski aku sangat tertekan dan ketakutan. Pernah sekali waktu aku ingin lari tapi aku tak berani melakukannya, bukan karena tidak tega tapi aku takut hal jahat akan mengikuti dan mencelakaiku. Jadi kupilih bertahan di rumah nenek, sepanjang nenek tidak tahu kalau aku pernah melihatnya dan aku mencurigai banyak hal di rumah itu, aku pasti aman.
“Nenek mau diantar ke rumah sakit hari ini, antarkan!” begitu katanya suatu pagi. Aku mencoba menolak halus dengan alasan kondisi nenek agak membaik beberapa hari ini dan tidak perlu penanganan dokter, tapi nenek menatap tajam ke arahku sepanjang hari dan itu menyiksa. Maka kuputuskan besok paginya membawa nenek ke rumah sakit terdekat, nenek berkeras dimasukan ke bangsal kelas tiga bergabung dengan pasien lain ketimbang masuk ke ruangan VIP yang lebih nyaman dimana anak-anaknya lebih dari mampu untuk membayarkan biayanya.
Selama dua hari aku menemani nenek di sana dan mulai akrab dengan beberapa keluarga penunggu pasien yang lain. “Bawa aku pulang, sekarang!” kata nenek tiba-tiba. Aku benar-benar menghindari perdebatan dengan nenek, apapun bentuknya.
Sesampai di rumah, nenek menyuruhku mengunci pintu kamarnya dan melarangku memasukinya sampai hari berikutnya. Meski penasaran aku tak berani mengintip, aku yakin banyak mata di rumah ini yang bisa melaporkanku kepada nenek jika aku coba-coba membangkang.
Keesokan harinya aku bersegera ke kamar nenek. Nenek seperti biasa terbaring di ranjangnya dan kurasa semalaman dia memang hanya tidak ingin diganggu. Aku cukup lega, tapi sesuatu tertangkap mataku di pinggir ranjang di ujung selimut nenek ada sisik ular menjuntai hingga ke lantai kamar. Sungguh aku sangat ingin menjerit tapi kutahan dengan menggigit bibir bawahku. Apakah ada ular dalam selimut nenek yang baru saja berganti kulit, tanyaku dalam hati. Aku terpaku sejenak, tapi buru-buru nenek mengibaskan tangannya tanda menyuruhku segera keluar dari kamarnya.
Menjelang makan siang saat sedang menyuapi nenek aku mencuri pandang sekali lagi ke arah selimut nenek, sisik itu masih di sana dan ternyata lumayan panjang. Meski tidak bisa kupastikan karena tidak melihatnya langsung, aku menduga nenek bisa berubah menjadi ular.
Nenek mendapati ekor mataku melirik ke arah sisik itu, dia mendehem beberapa kali, sementara tanganku yang menyendokinya sangat gemetaran dan tidak bisa kusembunyikan lagi darinya.
Nenek menepis tanganku, “Sudah, sudah, nenek mau tanya, apa kamu mencurigai sesuatu pada diri nenek?”
Tubuhku terdorong sedikit ke belakang, “Tidak, Nek. Putri tidak mengerti…” kataku tetap berusaha tenang.
“Nenek sudah tahu kalau kamu beberapa hari ini mencurigai nenek kan, kamu melihat nenek berubah menjadi pipit, kamu menelpon ibumu minta dijemput dan hari ini kamu mencurigai nenek bisa berubah jadi ular. Iya kan, Putri?”
“Nek, Putri…Putri…” itu kata yang terakhir aku ingat sebelum akhirnya aku bangun dan mendapati diriku ada di sebuah ruangan yang temaram karena sedikit sekali cahaya di sana. Perlahan kuamati sekeliling aku seperti berada di sebuah cekungan mirip sumur, aku memandang ke atas, di sana lebih terang dan refleks aku mengibaskan sayap dan terbang ke arah cahaya tersebut. Rupanya aku seekor burung sekarang, nenek masih tetap terbaring di ranjangnya dengan senyum lebar memandang ke arahku.
“Kemari pipit kecil, mendekatlah kemari,” nenek mengulurkan tangannya, refleks aku terbang dan hinggap di tangan keriput itu. “Kamu sudah menghabiskan biji-bijian di dalam guci itu, kamu sekarang mewarisi apa yang nenek punya. Mulai sekarang kamu bisa berubah-berubah menjadi binatang yang kamu inginkan, kamu juga sudah bisa membuat basi masakan orang lain yang kamu tidak sukai, dan kamu bisa menggunakan jiwa melarat seseorang yang sekarat untuk kamu tanyai rahasia-rahasia yang ingin kamu ketahui. Seperti cara nenek mengetahui rahasia-rahasiamu melalui jiwa sekarat orang yang ada di rumah sakit tempo hari.” Nenek lalu terbatuk-batuk dan terengah-engah tapi terlihat puas.
Mendengar itu aku sungguh marah, betapa teganya seorang nenek mewariskan ilmu iblis kepada cucunya. Aku memaki-maki tak karuan tapi yang terdengat hanya bunyi ciiit, ciiit, ciiit. Seketika aku berubah jadi harimau marah dan menerkam tubuh nenek, seketika itu pula tubuh nenek berubah menjadi singa yang sangat besar dan melakukan perlawanan.
Aku berubah menjadi kobra dan mematuk-matuk leher si singa betina, tapi lalu dia berubah menjadi landak. Ada sekitar setengah jam kami berganti dari satu binatang ke binatang lain sampai akhirnya aku merasa seluruh badanku lumpuh kehabisan tenaga. Aku kembali jadi manusia.
“Kamu cepat belajar, Putri,” kata nenek dilanjutkan suara tawa yang renyah. Aku segera keluar dari kamar itu sambil membanting pintu. Semenjak itu aku tak lagi bicara padanya. Aku hanya berharap ibu segera datang menjemputku.
Saat berada di dalam kamar, anehnya aku justru ketagihan mencoba-coba ilmu baruku. Jauh di dasar hatiku sesungguhnya selain rasa marah dan takut, juga terselip rasa senang yang malu-malu. Aku sekali waktu menjadi cicak, di lain waktu aku bisa menjadi kupu-kupu yang terbang sampai ke jamban tetangga. Aku tak peduli lagi apakah nenek akan mengetahui kelakuanku atau tidak, toh sekarang ilmu kami sudah setara, setidaknya aku sudah bisa melawan jika dia menyerangku.
Ibuku akhirnya datang, secepat kilat kumasukkan barang-barangku ke dalam bagasi mobil lalu melesat ke kursi depan sambil mendesak ibu untuk segera berangkat. Ibu lalu pamit sewajarnya pada nenek.
Sore nanti Fatma salah satu sepupuku yang lain akan menjaga nenek, kami memang akan terus bergantian sampai wanita peot itu mampus ke neraka.
Hanya berselang dua hari setelah pulang ke rumah, aku mendapat kabar ada seorang tetangga yang sakit keras dan sepertinya sudah sakaratul maut. Aku buru-buru ke rumah si sakit bahkan tanpa pamit pada ibu. Aku berpura-pura menjenguk di antara kerumunan tetangga yang lain, aku tatap mata sang calon mayat lekat-lekat, mengendus-endus aroma khas kematian di sekitarnya untuk memastikan apa benar dia betulan akan mati segera atau tidak. Aku memaksa jiwanya menemuiku, aku perintahkan jiwa terlantar dan tergantung antara dua dunia itu mencari tahu satu rahasia yang ingin kuketahui. “Bersegeralah, kalau tidak akan kupecut jiwamu, cari tahu ke rumah seorang pemuda bernama Fajar di Jalan Kesatuan, anak Pak Haji Naim, apakah di dalam hatinya dia menyukaiku atau tidak.”
Beberapa jam kemudian saat aku sudah kembali ke rumah, jiwa itu datang menemuiku dan memberitahuku jawabannya. Aku menjadi bungah, sementara dia akhirnya meninggal dunia dan jiwa itu tidak bisa lagi kugunakan.
Sebagai calon perawat, aku terbayang-bayang ada berapa banyak jiwa yang bisa kuperintahkan kelak. Aku tersenyum bungah, terbayang olehku wajah nenek tersenyum melihat cucu kebanggaannya dari ranjang sakitnya atau jangan-jangan dia telah menjelma cicak di langit-langit kamarku.
“Terima kasih, Nek,” bisikku lirih dan benar-benar tulus sambil tersipu malu.
Gowa, 2020