Arus modernisasi dan globalisasi yang dimotori oleh Barat telah membuat manusia modern tercerabut dari nilai budaya dan kearifan lokal. Dalam buku Muslim Tanpa Masjid (2001:96-97) Kuntowijoyo mengatakan, “Manusia terasing dari lingkungan yang sekian lama telah melingkupinya. Perasaan terasing ini menimbulkan hidup menjadi kurang bermakna dan frustasi (dehumanisasi)”.
Manusia modern ini menurut Kuntowijoyo (2013:17-19), terbangun dari pengaruh teknologi melalui mesin industri, yang kemudian penggunaan teknologi itu meluas dalam masyarakat di luar industri. Sebagaimana beragamnya penggunaan kata “teknik” dan “mesin” di berbagai bidang kehidupan, “teknik manusia” (human technique) melalui pendidikan, penataran, dan kursus-kursus. Hal itu menjadikan perilaku manusia mesin (l’homme machine), yang tidak lagi berdasar kepada akal sehat, nilai, dan norma. Pribadi yang semula bebas, utuh, dan rasional, bisa tenggelam dalam satuan yang disebut masyarakat massa. Massa menjadi satu-satunya entitas yang harus diperhitungkan. Kekuatan yang membentuk manusia dan masyarakat massa ialah teknologi (mekanisasi, industrialisasi), organisasi ekonomi (pabrik, pasar, advertensi), diferensiasi sosial (kelas, suku, agama), mobilisasi politik (negara, partai), dan budaya (sport, musik pop, pendidikan, media massa). Masyarakat massa terlahir dari manusia-manusia massa yang berperilaku manusia mesin. Mengutip Gabriel Marcel seorang filsuf Eksistensialis-Katolik, dalam masyarakat teknologis, manusia tidak lagi memahami dirinya berdasarkan gambaran tentang Tuhan (be image of God), tetapi gambaran tentang mesin (the image of machine).
Oleh sebab itu, seorang filsuf-penyair Muhammad Iqbal menyerukan kembali tentang keagungan, kekuatan, dan kegairahan hidup manusia. Muhammad Iqbal menyerukan pentingnya Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (terj. Ali Audah, dkk., 1982:xvii-xviii).
Di bidang filsafat, Roger Garaudy melalui dua bukunya yang terkenal, Janji-janji Islam dan Mencari Agama Abad Duapuluh, mempertanyakan kembali keberadaan filsafat analitik dan rasionalisme atau historis materialisme, yang mengalami jalan buntu karena dasar-dasar epistimologisnya meragukan, serta ekses-eksesnya yang mengasingkan manusia dari Tuhan dan dirinya sendiri (via Hadi WM, 2004:4).
Dalam pandangan Seyyed Hosein Nasr (terj. Hadi WM, 1994: 197-206), penyakit manusia modern yang parah karena kehilangan Tuhan, bisa dikurangi, suatu kehilangan yang dengan jelas digambarkan oleh kesusastraan dan seni modern dalam kekacauan yang dahsyat. Islam menyajikan pengobatan langsung terhadap penyakit ini. Secara umum, shalat menempatkan manusia dalam porosnya dan dalam dimensi vertikal yang tertuju kepada Sang Pusat. Tasauf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Karena tasauf merupakan dimensi dalam daripada Islam, maka ia tidak bisa dipraktikkan terpisah dari Islam.
Sastra Transendental-Profetik
Pandangan-pandangan tersebut menjadi dasar bagi Kuntowijoyo terhadap pentingnya eksistensi sastra transendental dalam kehidupan Indonesia akibat dampak dari dehumanisasi global itu. Pada Temu Sastra 6-8 Desember 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Kuntowijoyo menyerukan bahwa :
“Sastra transendental adalah kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasi atau subhumanisasi. … Sebagai sebuah upacara bersih diri, sastra transendental menjadi sebuah ritual estetis. Simbol-simbol dalam sastra transendental berlalu sebagai formula-formula dari pesan pembersih. Jadi tujuan terakhir dari sastra transendental sebenarnya ialah manusia, bukan estetika itu sendiri. Karena hanya yang bermakna patut disebut sastra, maka sastra trandental harus sarat dengan makna. Sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap peradaban, kita ingin membuat dunia lebih bermakna, dan sastra adalah salah satu dari makna itu.”
Pada saat teks-teks sastra semacam itu, realitasnya memang ada dan eksis, Kuntowijoyo kemudian memperkenalkan apa yang kemudian dikenal sebagai sastra profetik. Hal itu dikemukakannya pada tahun 1986, dalam acara Temu Budaya, juga di Taman Ismail Marzuki.
Kesadaran ketuhanan (transendensi, Latin trancendere, melampaui) sudah banyak dalam sastra Indonesia, dan disebut dengan Sastra Transendental atau Sastra Sufi. Menurut Kuntowijoyo (2013:30), transendensi tidak harus berarti kesadaran ketuhanan secara agama saja, tetapi bisa kesadaran terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan. Meskipun demikian, Kuntowiyoyo yakin bahwa hanya di tangan orang beragamalah transendensi itu efektif bagi kemanusiaan sebab transendensi akan berarti iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ada perbedaan, namun semua agama setuju bila dikatakan bahwa peradaban dunia sedang mengalami krisis. Krisis peradaban itu menurut Muhammad Iqbal, Roger Garaudy, Seyyed Hosein Nasr, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dapat diatasi melalui transendensi.
Menurut Roger Garaudy dalam buku Janji-janji Islam, unsur transendensi ada tiga yaitu (1) pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, (2) ada perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan manusia, dan (3) pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia (via Kuntowijoyo, 2013:31).
Dalam Islam, transendensi itu akan berupa sufisme. Kandungan sufisme, seperti khauf (penuh rasa takut), raja’ (sangat berharap), tawakkal (pasrah), qana’ah (menerima pemberian Tuhan), syukur, ikhlas, dan tingkatan-tingkatan ruhani selanjutnya adalah tema-tema Sastra Transendental.
Akan tetapi, menurut Kuntowijoyo (2013:10-15), sastra keagamaan selama ini dipahami oleh orang pada umumnya sebagai seni yang menggugah kesadaran ketuhanan belaka. Kesadaran ketuhanan ini barulah sepertiga dari kebenaran Sastra Profetik. Hal itu sebab Sastra Profetik mempunyai kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatannya sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tetapi juga memberi arah realitas. Kaidah pertama, Sastra Profetik bermaksud melampaui keterbatasan akal-pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk keperluan itu Sastra Profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab-kitab Suci atas realitas, dan memilih epistimologi Strukturalisme Transendental. Kaidah kedua, sastra sebagai ibadah. Kaidah ketiga, keterkaitan antar-kesadaran, maka kesadaran ketuhanan harus mempunyai continuum kesadaran kemanusiaan dan sebaliknya.
Keinginan Sastra Profetik hanya sebatas bidang dimensi, itu pun sukarela, tidak memaksa. Etika itu disebut “profetik” karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang Prophet. Menurut Kuntowijoyo asal-usulnya begini:
Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam mengutip ungkapan seorang sufi yang mengagumi Nabi dalam peristiwa Isra’-Mi’raj. Meskipun Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tetapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.
Etika Profetik itu oleh Kuntowijoyo ditemukan dalam al-Qur’an Surah Ali Imran, 3:110, sebagai salah satu landasan penting Sastra Transendental (Sastra Sufi) yang menjadi bagian dari Sastra Profetik. Dalam ayat itu dinyatakan betapa dalam setiap tindakan seorang Muslim, dimensi sosial dan transendental harus sama-sama diperhatikan. Setelah menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnas), Kuntowijoyo menafsirkan perkataan amar ma’ruf sebagai suatu ikhtiar pemanusiaan (humanisasi), dan nahi munkar sebagai pembebasan (liberasi) yaitu pembebasan dari belenggu materialisme dan kezaliman sewenang-wenang kuasa dunia, sedangkan yang terakhir tu’minima billah beriman kepada Tuhan sebagai ikhtiar transendensi yaitu kenaikan ke alam transendental atau ketuhanan.
Merespon Tradisi-Budaya
Berbagai cara dalam merespon realitas perkembangan kebudayaan modern, termasuk ideologi seni dan politik yang mempengaruhi sastra. Perkembangan tersebut melahirkan usaha untuk memadukan unsur-unsur tradisi dan modernitas. Ada beberapa sudut pandang dalam melihat terbentuknya tradisi dan kesinambungannya, di antaranya adalah lebih banyak dipengaruhi oleh kekuasaan politik dan orientasi budaya penguasa. Akan tetapi, ada pula yang melihat tradisi tidak semata-mata sebagai produk kuasa politik resmi, melainkan percaya bahwa nilai spiritualitas yang dibawa oleh sistem kepercayaan atau agama mengungguli faktor sejarah, dan dapat memberi corak tertentu kepada tradisi. Hal itu disebabkan oleh nilai-nilai universal yang ada dalam dirinya sendiri, walaupun secara politik mereka tidak memiliki kekuasaan. Corak pendekatan dan sikap tersebut dapat diidentifikasi dalam tiga kelompok kecenderungan: (1) mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan, (2) mereka yang menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda, dan lainnya, (3) mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar seperti Hindu, Budha, dan Islam (Hadi WM, 1999:6).
Karya-karya yang termasuk dalam kecenderungan ketiga yang menonjol dalam dunia sastra ialah karya Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Mohamad Diponegoro, Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib, K.H. A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Ikranegara, Hamid Jabbar, Ajamuddin Tifani, Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, dan beberapa lainnya.
Protes Sosial dan Eksplorasi Moralitas
Di samping cara merespon realitas kebudayaan modern yang mempengaruhi sastra melalui perpaduan unsur tradisi dan modernitas, bersamaan itu bertumbuhanlah sastra sosial keagamaan. Periode 1970-1990-an diwarnai oleh perkembangan realitas sosial di bawah perpolitikan rejim Orde Baru yang otoriter. Karenanya, kecenderungan puisi Indonesia dalam merespon realitas sosial mengarah pada dua tipologi, pertama dalam bentuk puisi “protes sosial”, dan kedua melakukan eksplorasi moralitas (melalui sastra transedental atau sufistik, dan sastra profetik).[]
One Response
Saya masih sulit mahami Yah, bahasanya terlalu rumit bagi saya, Ayah emang intelektual nya tinggi, jujur aku gak mudeng yah maaf