Menerbangkan Perahu



Delisa begitu mengikat kuat dalam pekat pikiran. Tetapi, sebagai perantau yang tak memiliki hak atas tanah pengikat, Madin harus segera sadar, ada hati lain yang menunggu untuk membangun mimpi, lalu menerbangkannya sesuai arah mata angin hati.

Di tengah kemelut undangan kesedihan yang mendatanginya itu. Madin perlahan bangkit, lalu membuang undangan pernikahan Delisa ke bak sampah. Tak sampai di situ, lelaki itu langsung membakar barang-barang yang pernah diberikan Delisa. Ia juga membubuhi kata keterangan “sedang bakar sampah nih!”.

Setelah puas membakar sisa-sisa kenangan itu. Madin segera menegok keadaan di dalam rumah. Bapak dan Ibu lumayan aman untuk ditinggal beberapa saat. Maka, ia pun segera mengambil sepeda matic yang selama ini sudah menemaninya.

Sungguh, Madin tak tahu harus ke mana dan bagaimana. Ia hanya merasa suntuk di dalam rumah. Sebab bayang-bayang Delisa hadir di pelupuk mata. Dan, baginya sulit untuk menepisnya.

Di tengah perjalanan itu, Madin kemudian tersadar bahwa tidak boleh terlalu jauh berjalan. Ada Bapak dan Ibu yang tak bisa menunggu lama di rumah. Akhirnya, Madin pun memutuskan untuk ke Alun-alun Kota Situbondo saja. Madin hanya membutuhkan beberapa menit lagi untuk sampai di tempat yang memiliki hutan kota itu.

***

Sebuah perahu emas bertengger kokoh di tengah alun-alun. Perahu itu seolah-olah menjadi simbol kota yang memiliki garis pantai terpanjang di Jawa Timur ini. perahu yang juga menyiratkan harapan para nelayan. Harapan agar hidup mereka serupa emas. Dicari dan diburu banyak orang.

Memandang perahu itu, Madin jadi teringat akan kisah Bapak selama menjadi nelayan. Ada banyak sekali badai yang pernah lelaki bertubuh matahari itu temui. Badai-badai itu membentuk kekuatan dalam tubuh Bapak. Bapak tak sedikit pun mengeluh ketika bertemu badai. Karena Madin tahu, sebagai seorang pelaut yang hebat Bapak tak lahir dari laut yang aman-aman saja.

Badai yang dialami Bapak tentu tak sebanding seperti yang dialami Madin. Madin hanya merasakan sakit hati lantaran kekasih yang pernah singgah di hati itu malah mengirimkan undangan kesedihan. Padahal, harapan Bapak dan Ibu dulu ada pada perempuan itu. Dan, harapan itu telah berganti dengan yang baru.

Madin kembali memandang perahu itu dari jauh. Ia tersenyum. Seolah harapan baru menunggu di ujung sana. Maka sebab itu, ia melajukan langkah menuju si perahu. Perahu itu seperti memanggil Madin mendekat.

Dan, ketika kaki sudah begitu dekat, Madin begitu terkejut. Ia melihat aroma kesedihan lain. Aroma kesedihan itu seperti dikenalnya. Bahkan sangat kenal.

“Delisa!” pekik Madin tak percaya.

Si perempuan itu menoleh ke arah Madin. Wajah mantan pemilik hati Madin itu begitu senduh. Madin langsung menyimpulkan jika ada sesuatu yang tidak beres.

“Aku batal menikah,” tutur Delisa, begitu halus tapi penuh kebingungan.

Madin tak menjawab. Ia hanya mendekatkan langkah. Kemudian, ketika dekat, ia memberikan jarak pada Delisa.

“Kenapa?” tanya Madin.

Delisa menambah debit air matanya.

Melihat itu, sungguh Madin ingin mendekat. Tetapi, kalau mengingat kisahnya dengan Delisa yang kandas secara sepihak dan tanpa alasan yang masuk akal. Madin berusaha menata hati. Ia tak boleh dianggap sebagai lelaki gampangan, apalagi pengemis cinta.

“Belum menikah saja, ia sudah berani selingkuh,” ungkap Delisa menahan segala pertahanan emosinya.

Madin tak terkejut mendengar ungkapan mantan kekasihnya itu. Terlebih di dunia saat ini, sulit sekali mencari cinta yang sejati. Cinta yang hanya terdiri dari dua orang yang sama-sama memiliki hati, mengikat hati, dan tak akan pergi ke lain hati.

Awalnya, Madin merasa jika Delisa adalah cinta sejatinya. Hanya saja, fakta cerita merengsek maju mengungkap segala gerak-gerik Delisa. Lalu, struktur cerita kemudian berbicara bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah. Delisa mundur, tanpa pamit di saat Madin benar-benar membutuhkannya.

“Bersyukurlah, kamu diberi kesempatan untuk mengetahuinya lebih dulu. Ketimbang ketika berumah tangga nanti!”

“Ya, aku bersyukur, Madin. Apalagi, sama selingkuhannya, ia berani main tangan,” kenang Delisa, lalu menghapus air matanya.

Madin mengangguk membenarkan pernyataan perempuan itu. kemudian, mencuri pandang dan menikmati kecantikan parasnya. Kecantikan yang dulu dipuja-puja itu kini  berubah menjadi sesuatu yang entah tak menarik lagi.

“Kamu mau kembali padaku?” tanya Delisa membuatku kaget.

Aku kontan menggeleng cepat-cepat.

“Mengapa?”

“Ini hati bukan stasiun. Kamu tidak bisa pergi sesuka hati!”

“Aku tahu kemarin aku salah!”

“Terus?”

“Aku khilaf.”

“Aku tak mungkin bersama perempuan yang tak bisa menerima keadaan orang tuaku.”

“Aku akan belajar menerima.”

“Ah, sudahlah, aku mau pulang,” putus Madin mengakhiri percakapan yang semakin membuatnya pusing.

Madin sudah berikrar untuk meninggalkan segenap kenangan dengan Delisa. Dan, ia memang berusaha untuk tak memberikan minat, sedikit pun. Makanya, ketika ada penawaran hati untuk singgah kembali, ia benar-benar sudah tidak ada hati.

“Madin, tunggu!”

Madin tetap melangkah pergi. Ia malah mempertegas langkahnya. Meninggalkan Delisa yang seperti kehilangan arah. Langkah Madin begitu tegas, tanpa perlu melihat ke belakang. Delisa adalah masa lalu yang tak perlu dilirik lagi. Masa depan menunggunya untuk menjemput mimpi yang entah dengan siapa dan akan memulainya dengan cara apa. Tapi, sebagaimana hidup, masa depan itu harapan setiap orang dan masa lalu harus dihapus sedikit demi sedikit. Agar hidup ini tidak terlalu dramatisir.

“Madin, tunggu!” panggil Delisa begitu serak.

Madin pura-pura tak mendengar. Ia kini malah berlari ke arah parkir. Hanya saja, orang-orang di sekitarnya meneriakinya. Madin pun menoleh ke belakang. Di sana Delisa begitu kehilangan arah. Tubuhnya yang kering mendadak kehilangan tenaga.

Madin pun segera berlari. Ia bersama orang-orang di alun-alun langsung membawa Delisa ke klinik terdekat. Sekalipun Madin tak lagi menaruh harapan pada perempuan itu, tapi ia tak pernah menghilangkan sisi kemanusiaannya. Ia harus tetap membantu Delisa.

Pun, sesampainya di klinik di utara alun-alun, ia segera menghubungi keluarga Delisa. Beberapa menit kemudian, keluarga Delisa datang dan Madin mendapat tatapan tajam plus sinis. Seolah-olah Madin serupa kuman kecil yang tak pantas keberadaannya di sini.

Melihat situasi yang tak enak itu, Madin pun memutuskan untuk segera pergi. Hanya saja, panggilan Delisa dari ruang perawatan membuatnya menghentikan rencana.

“Delisa memanggilmu!” ungkap Bapak Delisa.

Madin langsung masuk ke kamar perawatan.

“Ada apa?”

“Kamu bisa bantu aku?”

“Katakan saja, Del!”

“Nikahi aku. Aku hamil!”

Permintaan Delisa benar-benar di luar nalar Madin. Mengapa perempuan yang menelantarkannya kini malah menjadi pengemis cinta yang sesungguhnya. Terlebih kondisinya yang meminta dinikahi karena hamil.

“Kita tidak pernah melakukan apa-apa! Dan, aku tidak bisa!”

“Kita memang tidak pernah melakukan apa-apa. Dan, ini bukan anakmu juga.”

“Baguslah, cari laki-laki lain!” ucap Madin langsung pergi tanpa pamit.

Kaki Madin yang panjang-panjang itu segera bergarap keluar dari rumah sakit yang begitu penuh sesak kebingungan ini. Hanya saja, semakin jauh melangkah, ia menjadi begitu bingung. Mengapa bisa Delisa memintanya menikahi perempuan itu? Bisa saja kan kehamilan perempuan itu karena lelaki yang berstatus calon tidak jadi suaminya.

Madin bukanlah malaikat yang begitu baik hati. Ia tak mau menanggung dosa yang sama sekali tak ia perbuat. Terlebih mengingat kondisi Bapak dan Ibu yang bisa fluktuatif perasaan dan kesehatannya, bisa-bisa kalau mendengar kabar ini, beban psikisnya malah bertambah.

***

“Madin, tunggu!”

Madin menoleh ke asal suara. Ia tak menyangka jika bapaknya Delisa mengejarnya.

“Ada apa, Pak?”

“Saya mohon turuti permintaan anak saya.”

Madin menghela napas agak panjang. Sungguh ia tak mengerti mengapa jalan pikiran anak dan bapak bisa sama saja.

“Saya tidak bisa,” tolak Madin.

“Saya akan beri apa pun sama kamu.”

“Saya tidak minat.”

Setelah itu, Madin benar-benar menyetop sebuah ojek pengkolan yang akan membawanya ke alun-alun. Dari sana, ia akan kembali ke rumahnya. Bertemu Bapak dan Ibu, serta memberitahukan kabar Delisa yang penuh kejutan tak terkira. Bercerita tentang Delisa bukan berarti Madin ingin menceritakan aib mantan kekasihnya itu. tapi, ia memang merasa orang tuanya perlu tahu.

Toh, sekalipun tahu, orang tua Madin bukanlah orang yang begitu repot dengan urusan orang lain. Mereka lebih banyak berfokus dengan diri sendiri. Bapak yang berfokus melawan rasa sakit hampir setahun dideritanya. Sementara, Ibu berfokus untuk berjualan ikan di pasar serta terus mendoa untuk segala kebaikan kami. Bagi Bapak dan Ibu mengurusi urusan orang lain sama saja dengan menguras kehormatan sekaligus melunturkan harga diri. Dan, setiap urusan mereka tak perlu ikut berkomentar. Hanya sekadar tahu, tanpa perlu memberikan pandangan yang barangkali bisa menjadi kesalahan baru.

***

Perjalanan dari alun-alun menuju rumah tak begitu banyak kendala. Madin beberapa menit lagi akan tiba di rumah. Hanya saja, saat tiba di dekat pohon gayam tak jauh dari gang menuju rumah. Ia merasa ada keanehan.

Tentu keanehan itu tidak lahir dari pohon gayam yang memiliki batang kokoh dan beralur kuat. Atau juga karena bijinya yang keras jatuh dan diambil oleh banyak kanak-kanak agar bisa direbus lama sehingga bisa dimakan dengan penuh rasa enak dan gurih. Bukan karena pohon itu yang menjadi keanehan Madin. Tapi, dari tanaman yang memiliki filosofi gayuh yang berarti cita-cita dan ayem yang berarti damai, tenang dan bahagia itu, Madin melihat ada keanehan lain yang meledak tak jauh dari rumahnya.

Madin pun mencoba mempercepat kecepatan. Hanya saja, lalu lalang orang membuatnya benar-benar menyerah. Ia pun meletakkan motornya di pekaran orang. Lalu berlari menuju rumahnya.

Di sana Madin menemui pertengkaran. Bapak Delisa mendatangi rumah Madin. Ibuk menjerit tak keruan. Orang-orang menjadi pagar pelindung bagi keluarga Madin. Madin pun segera menjerit dari arah belakang. Orang-orang melihatnya dengan tatapan penuh kasihan.

“Menghamili anak orang kok tidak mau tanggung jawab!” ucap sebagian orang.

Madin mendidih mendengar itu. Ia segera meledakkan amarah. Ditatapnya Bapak mantan kekasihnya itu. Ia segera memberikan perhitungan.

“Anak Bapak dan saya sudah putus hubungan begitu lama. Beberapa waktu lalu, ia memberikan undangan pernikahan. Dan, kini menuntut pertanggungjawaban atas hal yang tak pernah saya lakukan!”

Bapak Delisa bungkam.

Madin kembali bersuara, “Bapak telah menginjak ke tanah yang salah. Saya bisa saja mencobloskan Bapak ke polisi lantaran pencemaran nama baik. Dan, saya jamin Bapak akan menyesal pernah ke sini!”

Bapak Delisa terdiam.

“Saya punya banyak bukti tentang Delisa dan kehamilannya. Saya telah merekam semua yang ia katakan!”

Bapak Delisa mundur bersama orang-orangnya.

Madin segera maju, “Kini kalian tahu ‘kan, siapa yang salah? Lalu, kalian akan diam saja, warga yang tak berdosa dihinakan begitu saja!”

Ucapan Madin sontak membuat keberanian orang-orang bangkit. Bapak Delisa dan orang langsung dipukul mundur. Walaupun begitu, Madin begitu histeris melihat tanah segar di hidung Bapak. Ia sungguh-sungguh akan menuntut pembalasan atas kelakuan Delisa dan keluarga atas apa yang telah dilakukan.

Keadaan Bapak yang sedemikian lemah itu membuat Madin tak berhenti menangis. Puncaknya, ketika ia mencoba memberikan tangan agar bisa menuntun Bapak berjalan. Bapak tak bisa meraih tangan itu. Akhirnya, Madin langsung menggendong Bapak serupa yang dilakukan Bapak masih kecil.

Sehabis menggendong Bapak ke kamar. Madin langsung menutup pintu rumah. Ia lalu menelepon Delisa di hadapan Bapak dan Ibu.

“Kamu gila!” ucap Madin.

Delisa tak menjawab di ujung sana.

“Selama kita dekat, tak sedikit pun aku menyentuhmu. Dan, kini kamu hamil. Lalu bilang aku penyebabnya!”

Delisa tak menjawab kembali.

“Jawab!”

“Aku tahu memang bukan kamu pelakunya. Bukan kamu yang menghamiliku. Tapi, aku yakin aku tumbuh bahagia bersamamu.”

“Bahagia yang seperti apa? Bapakmu itu tidak punya perikemanusiaan. Bapakku yang sakit harus menerima ganjaran yang tak mengenakkan. Membuat darah segar terus-terusan keluar di hidungnya!”

“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu Bapak akan berbuat sekejam itu.”

“Kamu gila, Delisa!”

Setelah itu, aku tak bisa berkata-kata apalagi. Tubuhku begitu terguncang melihat Bapak yang terbaring lemah. Padahal, beberapa saat lalu perahu kehidupan, tempatku berlayar itu begitu semangat dalam menghadapi pesakitannya. Kini, karena kabar yang tak mengenakkan itu membuat semua harapan perahuku itu terbang. Dan, aku tak tahu bagaimana harus memperbaikinya.




==================
Gusti Trisno. Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang yang memiliki nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi.  Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul “Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan” (Elexmedia Komputindo). Nomor rekening BNI cabang Jember 0649910933 atas nama Sutrisno Gustiraja Alfarizi.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *