Pagar Kawat, Beling, dan Dusta

Judul Buku   : Kokokan Mencari Arumbawangi
Penulis      : Cyntha Hariadi
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : Pertama, Juli 2020
Halaman      : 338 halaman
ISBN         : 978-602-0640-25-9


Setidaknya ada tiga benda yang digambarkan Cyntha Hariadi dalam novel Kokokan Mencari Arumbawangi ini mendarat dari langit. Ketiganya ialah burung kokokan atau kuntul putih, burung pipit, dan sebuah drone. Ketiga benda dihadirkan tidak hanya dalam adegan penting yang membangun novel, sekaligus mewakili masing-masing peran dan simbolisasi. Tiga hal ini melengkapi jalinan hidup tiga tokoh, Nanamama, Kakaputu, dan Arumbawangi.

Kehidupan Nanamama dan Kakaputu di desa yang damai berubah ketika tiga benda itu muncul. Kokokan menukik turun ke ladang milik Nanamama dan membawa bayi perempuan yang menggemaskan. Bayi turun jatuh ke ladang bawang merah, tubuhnya kotor, tetapi raut wajahnya sungguh menggemaskan. Membuat Nanamama dan Kakaputu langsung sayang dan menjadikannya bagian dari keluarga mereka. Meski orang desa menganggap kehadiran bayi perempuan itu ibarat mala yang diwahyukan langit, tidak diterima, dan dianggap tiada sebab asal-usulnya tidak terang. Namun, Nanamama bergeming dan menamai bayi itu Arumbawangi; harum-bawang-wangi.

“Anggap saja anak ini kiriman dewa-dewi langit untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Tak beda seperti hujan, cahaya, angin, dan petir. Tapi kali ini seorang manusia yang lahir bukan dari rahim manusia, tapi perut angkasa,”

Kokokan mewakili kehangatan yang hadir dari langit. Sedangkan pipit yang menukik ke ladang-ladang adalah bencana bagi Nanamama dan petani lainnya. Pipit parasit pemakan biji harus diusir. Inilah benda kedua yang datang dari langit. Bila kokokan kawan petani, pipit musuh yang harus dihindari. Ketika gerombolan pipit datang, Wajah mereka marah menantang. Tak rela hasil keringat berbulan-bulan dirampas pencuri-pencuri kecil yang ganas itu. (hal.25)

Sifat orang-orang desa boleh diibaratkan burung pipit. Mereka menihilkan kehadiran Arumbawangi, mengolok-oloknya sebagai anak burung pembawa sial, juga usil soal status orangtua tunggal Nanamama. Pak Wawatua dan Lurah, misalnya, dengan culas mengupayakan agar Nanamama turut menyetujui pembangunan hotel dan alih fungsi lahan persawahan. Perbedaan sikap Nanamama ini yang kelak membuatnya terasing, dimusuhi, bahkan harus meninggal dalam dakwaan bersalah.

Mereka sama-sama orang desa, hidup dari tanah desa justru bersikap seperti burung pipit yang pandai menyedot keuntungan.

Kemunculan drone yang asing nan ganjil mengusik Nanamama. Drone milik Pak Rudi si pengembang hotel tanda tanah mulai digerogoti mesin-mesin, besi pancang, atau kawat-semen bangunan. Yang bukan hanya membuat lahan sawah mati, tetapi juga kehidupan manusia mati. Bagi Nanamama, tanah adalah sumber penghidupan kekal selama kaki manusia menginjak tanah.

Satu hotel ramai, pasti akan muncul hotel-hotel yang lain. Sawah kita lama-lama akan hilang. Aku lebih bisa mengandalkan tanahku yang kukenal seperti diriku sendiri. Dan tanah tak akan pernah mati, asal kita masih punya tangan dan kaki,” tegas Nanamama.

Persoalan utama Nanamama ialah menentang kesepakatan perkara alih fungsi lahan persawahan. Sampai kapan pun Kakaputu dan Arumbawangi tidak boleh menjual tanah. Berdikari dengan mengolah sawah. Mandiri tanpa harus menghamba pengembang resort maupun hotel.

Novel ini dilabeli novel anak. Pembaca bisa menemukan percik keajaiban khas dongeng yang menjadi tulang belakang cerita; kemunculan Arumbawangi lewat burung kokokan, interaksi arwah Jojo dan Nanamama, atau kedatangan kokokan di pungkasan cerita membalut penokohan anak-anak dengan penuh kepolosan dan keriangan.

Penting untuk mengaitkan novel ini dengan salah satu cerita milik Hans Christian Andersen “The Storks” (1838). Cyntha Hariadi mengakui bahwa dia dihantui oleh sosok burung dalam cerita Andersen, meski sikap bangau dalam cerita itu tampak begitu aneh dan sedikit kejam.

Novel ini juga memberi kesan berbeda dan cara lain menikmati dongeng. Dongeng tidak selalu menghadirkan kisah manis, ada sisi gelap yang mungkin disembunyikan penulis dan itu adalah tugas pembaca menemukannya.

“…kalau yang di bawah tidak boleh kurang ajar terhadap yang di atas. Binatang ya binatang, harus tunduk pada manusia. Mereka lupa manusia yang mempunyai sifat-sifat hewani jauh lebih banyak dari binatang yang manusiawi,” tulis Cyntha.

Dan bagaimana bengisnya orang-orang desa merebut tanah leluhur dalam novel ini adalah bukti nafsu hayawaniyah manusia kadang lebih menggila. Dengan apik novel ini mengkritik bagaimana manusia serakah melahap apa saja. Alam dan tanah yang ikhlas menumbuhkan segala yang dibutuhkan kerap dilukai, lantas mengubahnya menjadi lahan bangunan. Bukan hanya tanaman yang mati, kelak manusia juga mati ditelan keserakahan bila diterus-teruskan.

Yang paling menonjol adalah gigihnya keluarga Nanamama menjalani hidup. Tatkala Nanamama tiada, Kakaputu dan Arumbawangi gigih bertahan hidup dan melawan saat tanah mereka hampir diambil alih. Namun, bila berharap cerita ini ditutup dengan “bahagia selama-lamanya”, pembaca akan dirubung kecewa. Selalu berlaku hukum dimangsa-memangsa dalam hidup. Sekuat apa daya Kakaputu-Arumbawangi melawan orang-orang desa?

Kokokan Mencari Arumbawangi juga membawa kembali pembaca kita yang hampir selalu dijejali oleh cerita-cerita urban, berlatar glamor Jakarta, atau bahkan luar negeri. Cyntha Hariadi mengembuskan nuansa perkampungan dengan kental budaya Bali, bentang alam indah, atau permainan kanak-kanak yang menggembirakan. Namun, pilihan Cyntha pun tidak terlampau pelosok hingga menjadi novel lokalitas. Novel ini meminjam latar budaya Bali dengan tidak overdosis.

Simbolisasi yang menarik, kepolosan anak-anak, latar budaya Bali dan pedesaan yang menarik kemudian dijalin dengan pilihan diksi Cyntha menguatkan daya magis dan kesan manis dari novel ini. Cyntha yang mengawali debut dengan kumpulan puisi berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari (2016) yang juga adalah pemenang ketiga sayembara manuskrip puisi Dewan Kesenian Jakarta. Maka tak ayal bila kita akan sesekali menemukan kalimat-kalimat yang disusun presisi seperti puisi.

Bukan hanya ceria dan membahagiakan sebab menawarkan nuansa asri pedesaan, Cyntha dalam novel ini juga menawarkan pilihan peran manusia. Kokokan yang lembut dan menenteramkan, pipit yang parasit, atau drone yang asing sekaligus merusak tatanan. []




Bagikan:

Penulis →

Khoimatun Nikmah

Mahasiswa Universitas Semarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *