Bagi orang yang sedang gila, apa pun bisa dilakukan, termasuk merindukan gadis yang ada di mimpinya. Pemuda itu bernama Sunyi.
Beberapa bulan terakhir, ia menderita gangguan jiwa yang sukar disembuhkan kecuali pemuda itu dikawinkan dengan gadis yang ada di mimpinya. Aneh-aneh saja pemuda itu. Tapi terkadang cinta memang gila dan tidak masuk akal.
Sebenarnya, Sunyi adalah pemuda yang tampan, namun semenjak ia gila, ia tak pernah mandi. Tidak pernah mau menyisir rambut. Tak pernah gosok gigi. Tak pernah ganti baju. Kumisnya tak pernah dirapikan. Ia tak pernah risau dengan bau badannya, kecuali orang waras yang ada di dekatnya. Dan memang di dalam cerita ini, Sunyi diceritakan sebagai orang gila yang memiliki cinta yang tak main-main sampai akhir hayatnya.
Setiap sore, Sunyi tidak pernah melewatkan pemandangan senja yang menggantung di langit sebelah barat. Ia di atas jembatan menghadap sungai. Semilir angin membawanya tenggelam dalam lamunan. Tempias cahaya kuning senja dipantulkan oleh air sungai yang jernih. Terkadang, ia melihat bocah-bocah itu mandi di sungai dengan riang gembira. Terkadang, mereka terjun bebas dari jembatan untuk menceburkan diri di sungai. Teriakan canda tawa mereka mampu diredam oleh suara aliran sungai dan angin yang bergemuruh dari jembatan. Di sebelah sungai ada sebuah lahan kosong yang biasa digunakan untuk menerbangkan layang-layang bocah-bocah itu.
Sunyi melamun di atas jembatan dengan kaki menjuntai seperti mengayuh sepeda, berada di pagar besi jembatan. Keadaan kendaraan yang lalu-lalang di jembatan tak mampu untuk membuyarkan lamunannya. Terkadang, ia tertawa sendiri tanpa sebab. Ia merasa bahagia, ketika berada di jembatan itu.
Ia dengan setia menunggu gadis yang ada di mimpinya sampai matahari tenggelam. Ia akan kembali lagi di waktu yang sama keesokan harinya. Dan begitu seterusnya, sampai waktu ditentukan oleh maut.
Sunyi selalu menunggu gadisnya di jembatan itu. Baginya jembatan itu merupakan jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan gadis impiannya. Ia menamakan jembatan itu dengan nama Jembatan Impian. Ia juga memberikan nama sungai itu dengan nama Sungai Tanpa Nama.
Jembatan itu menghubungkan antara dua kecamatan. Belasan tahun yang lalu, jembatan itu dibangun. Peresmiannya juga tidak main-main meriahnya. Dulu, sebelum jembatan itu dibangun, orang-orang memakai sampan untuk menyeberang agar sampai ke pasar.
***
Ayah dan ibu Sunyi sedih dengan keadaan putranya. Ayahnya seorang pengusaha tambang pasir, sekaligus seorang kepala desa.
Berbagai upaya dilakukannya untuk menyembuhkan Sunyi. Dari pengobatan secara medis maupun menggunakan non medis. Setiap dibawa ke rumah sakit jiwa, dokter tidak bisa mendiagnosis syaraf yang terganggu. Kadang kala, Sunyi bercakap-cakap seorang diri.
“Apakah kau mencintaiku?” ucap Sunyi.
“Tentu saja aku mencintaimu, kita akan menikah dan hidup bersama, apakah kau senang?”
“Aku senang sekali, jika kau bisa menjadi istriku. Kau akan aku ajak mengunjungi penangkaran rusa. Kau juga akan aku ajak ke jembatan untuk melihat senja yang lamat-lamat akan tenggelam.” Ia bercakap-cakap sendiri, dan ia menjawab sendiri.
Ayahnya berupaya mencari gadis itu. Ia mengadakan sayembara, siapa yang menemukan gadis yang dimaksud oleh putranya, akan diberi hadiah berupa beberapa petak sawah dan sepuluh sapi.
Tak jarang, orang-orang yang menginginkan hadiah itu mengakali dengan segala cara. Ada yang mengaku sebagai gadis itu. Ada juga yang kongkalikong dengan dukun desa supaya memberi tahu jika itu gadis yang dicari. Namun semua upaya licik itu tidak pernah berhasil, sebab Sunyi tahu siapa gadis yang dimaksud.
***
Rencana pembangunan tambang pasir itu akan segera dilaksanakan. Ayah Sunyi sudah merencanakan pembangunan tambang pasir itu sudah lama. Dulu, ia dan beberapa orang proyek sudah survei lokasi untuk menyiapkan segala sesuatunya. Dan, satu minggu ke depan, mereka mulai mengangkut alat-alat pertambangan dan mulai memproduksi pasir.
Perubahan pada sungai pun mulai tampak. Sungai menjadi keruh. Kedalamannya terus bertambah. Orang-orang yang memancing sudah sulit mendapat ikan. Bangau dan angsa yang biasa menghiasi permukaan dan bantaran sungai pun tak tampak lagi. Bahkan tumbuhan teratai dan enceng gondok yang biasanya menjalari di permukaan sungai juga musnah. Setiap hari terdengar suara bising mesin diesel dan alat-alat berat.
Beberapa hari kemudian, ada kabar bahwa Sunyi menghilang dari rumah. Ia minggat. Ayahnya dan para warga sudah mencari di berbagai tempat, termasuk tempat yang biasa disinggahinya, namun Sunyi tidak ditemukan.
Ayah Sunyi sudah melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. Bahkan ia juga melibatkan paranormal. Menurut paranormal, Sunyi telah diculik oleh penunggu sungai. Ia menggambarkan, jika yang menculik Sunyi sesosok makhluk astral yang menjelma sebagai wanita cantik yang sudah lama masuk ke dalam mimpinya. Mendengar kabar itu, ayah Sunyi semakin resah atas keselamatan nyawa anaknya. Paranormal itu dimintai tolong agar menyelamatkan anaknya. Namun, menurut paranormal itu, itu pekerjaan yang sangat sulit, sebab jin yang menculik Sunyi telah menguasai raga Sunyi. Mendengar itu, ayah Sunyi pun tertunduk lesu. Kekhawatirannya semakin membuncah.
Keesokan harinya, warga dikagetkan dengan mayat Sunyi yang mengapung di sungai dengan keadaan kaku dan hampir busuk. Lalat mengerumuni mayatnya. Beberapa warga yang bisa berenang menceburkan diri mengambil mayat Sunyi untuk dibawa ke tepi. Sementara di bantaran sungai dan di jembatan ramai oleh pasang mata. Lalu lintas kendaraan di jembatan agak terhambat karena banyak orang yang menyaksikan mayat Sunyi dievakuasi.
***
Pak Joko mendesak agar ayah Sunyi untuk meneruskan proyek produksi pasir. Dengan terpaksa, ia meneruskan proyek itu. Hal ini sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah desa dengan investor. Mau tak mau kedua belah pihak harus melaksanakan perjanjian yang sudah tertulis itu.
Dengan berat hati ayah Sunyi melanjutkan penambangan pasir yang ada di desanya. Selain di sungai, pertambangan juga dilakukan di bibir sungai di sebelah barat. Beberapa alat berat digunakan dalam penambangan itu. Kian hari, di wilayah itu semakin memprihatinkan. Beberapa bibir sungai mulai longsor. Beberapa jalan mulai rusak.
Setahun berlalu, area pertambangan menjadi tempat yang mengerikan. Akhir-akhir ini ditemukan dua mayat. Dua mayat itu mengapung di sungai. Dua orang yang diduga terpeleset saat buang hajat. Hal ini membuat geger warga.
Dari kurun waktu setahun, sungai itu sudah memakan tiga korban setelah dibangun pertambangan pasir. Menurut beberapa warga, peristiwa itu ada kaitannya dengan pembangunan pertambangan.
“Mungkin saja, penunggu sungai sedang marah karena keberadaannya terusik,” ucap salah seorang warga yang kebetulan sedang mengamati evakuasi jenazah.
“Kalau memang begitu, kita perlu adakan musyawarah dengan warga untuk membicarakan tentang ini. Jika ini tidak ditanggulangi dengan cepat, dikhawatirkan akan memakan korban lagi.”
“Betul. Ini masalah yang tidak sederhana. Kita harus segera membicarakan hal ini kepada Pak Kades.”
Beberapa hari kemudian, warga dipimpin oleh ketua adat beserta pemerintah desa melakukan ritual tolak bala. Warga menyembelih seekor kerbau dan kemudian kepalanya diapungkan ke sungai. Hal itu sebagai tumbal atas berdirinya pertambangan tersebut.
Beberapa bulan kemudian, terjadi longsor di area pertambangan. Tanahnya menjadi amblas kurang lebih sepuluh meter dari permukaan tanah.