Saudara Kembar Teman Sekantor




SEJAK saya marah kepada seorang teman sekantor waktu itu, entah kenapa, ia seperti mengirimkan saudara kembarnya untuk selalu mengikuti saya. Saudara kembarnya itu datang dan pergi menjumpai saya macam siluman. Tiba-tiba ia hadir dan ada, entah masuk lewat pintu yang mana. Kadang-kadang ketika sedang mengendarai mobil, kembarannya itu ikutan duduk di jok sebelah kiri saya. Ketika saya sedang duduk sambil nonton atau membaca, kembarannya itu datang, ikutan nonton atau melongok ke buku yang terbuka di hadapan saya. Jika saya membuka gawai, saudara kembar teman saya itu jongkok persis di belakang layar sehingga wajahnya yang lonjong dan putih menguasai seluruh penglihatan saya. Parahnya, saat saya sedang mandi, tanpa permisi ia masuk, duduk di kloset, tak peduli saya sedang tak berpakaian sama sekali dan berteriak mengusirnya pergi.

Sungguh, saya amat lelah dan merasa terganggu dengan kehadiran saudara kembar teman sekantor itu. Kedatangannya membuat hari-hari saya terasa kian kusut. Saya merasa ia sengaja dikirimkan teman sekantor untuk merusak mood dan hidup saya. Tapi ketika perasaan itu saya sampaikan kepadanya, ia membantah dengan keras tuduhan saya. Bahkan, ia sampai bersumpah.

Saya bermaksud menyampaikan keresahan ini kepada teman sekantor saya, agar ia menasehati saudara kembarnya itu untuk tidak datang-datang lagi. Saya tidak ingin ia melekat dalam kehidupan saya seperti pacet. Tapi kemarahan padanya membuat saya enggan menyapanya. Setiap melihatnya di kantor, jantung saya seakan ditinju sekali. Membuat saya lemas dan tangan basah oleh keringat. Jadi, ini tak mungkin.

Baiklah, akan saya laporkan saudara kembar teman sekantor itu ke polisi dengan pasal mengganggu kenyamanan dan ketentraman. Tapi setelah menyelidiki silsilah keluarga teman sekantor itu melalui teman seruangannya, saya terkejut bukan main. Ternyata ia tak punya saudara kembar.

Astaga, lantas siapa yang telah mengganggu saya hampir seminggu ini kalau bukan saudara kembar teman sekantor saya itu? Wajah mereka sama persis. Muka berbentuk lonjong, berhidung mancung, dan terdapat sebuah andeng-andeng besar di pipi sebelah kanan. Rambut mereka sama-sama bergelombang berwarna hitam pekat. Kulit wajah dan tangan pun sama putihnya. Yang membedakan keduanya hanya gerak-geriknya. Teman sekantor saya itu terlihat tenang dan selalu berhati-hati, sementara lelaki yang menyerupainya itu tampak sembrono dan sembarangan.

Lalu, kalau bukan saudara kembarnya, siapa pula lelaki yang selalu punya waktu menguntit saya itu? Memikirkannya membuat kepala saya dilanda migrain berkali-kali.

Sore itu hujan deras menyisakan gerimis. Saya baru saja pulang dari kantor dan langsung berbaring di sofa panjang berwarna coklat tua—sewarna dengan gorden jendela—untuk menghilangkan lelah. Kemeja biru tua berlengan pendek yang lembab saya sampirkan di lengan sofa yang lain. Hanya dengan kaus dalam dan celana dasar hitam yang belum diganti, saya memejamkan mata.

Sebuah bayangan dan hempasan yang cukup keras di sofa yang berada di hadapan saya, membuat saya terjaga dan membuka mata. Saya melihat lelaki yang menyerupai teman sekantor itu duduk dengan kedua tangan di lengan sofa. Jari tangan kanannya mengetuk-ngetuk lengan sofa seakan-akan tengah menekan tuts keyboard.

Melihatnya, saya merasa sedikit terkejut. Saya sudah tidak merasa aneh jika ia tiba-tiba datang dan pergi, tapi saya agak kaget sebab sudah seharian ini ia tidak menampakkan batang hidungnya. Ingin rasanya meluapkan berkeranjang amarah seperti biasa, tapi lelah membuat saya membiarkannya. Bahkan, saya bertanya kenapa ia baru datang di sore ini.

“Sebetulnya seharian ini saya ada di dekatmu. Tapi kau amat sibuk sehingga tidak merasakan kehadiran saya. Lagi pula kalau di kantor, begitu melihat saya, kau seperti melihat kembaran saya. Padahal itu bukan dia,” katanya menjelaskan.

“Teman sekantor saya tak punya saudara kembar. Siapa kau sebenarnya? Apakah kau manusia atau sejenis makhluk gaib yang sedang menyamar menyerupai teman saya?” tanya saya dengan suara pelan dan tanpa ekspresi. Tawanya meledak. Saya tetap berbaring seraya memandang wajahnya yang tampak riang.

“Sudah saya katakan, saya adalah saudara kembar teman sekantormu. Bedanya saya bebas dan tak terikat seperti dia. Saya bisa bertualang ke mana saja semau saya. Kebetulan, minggu lalu saya mengunjunginya dan melihatmu di kantornya. Kau membencinya, bukan?”

“Itu bukan urusanmu,” jawab saya sambil kembali memejamkan mata.

“Karena itu saya menyukaimu,” ia terkekeh.

“Saya tidak menyukaimu. Meski saya belum menikah, tidak berarti saya bukan lelaki normal. Camkan itu!”

“Kalau yang ini, baru bukan urusan saya,” lagi-lagi ia terkekeh.

“Saya akan melaporkanmu. Jadi, pergilah sekarang dan jangan datang-datang lagi!” usir saya pelan. Saya masih sangat lelah dan tak memiliki energi untuk melayaninya. Saya dengar tawanya kembali membahana.

Saya tak memedulikannya. Tiba-tiba teringatlah kemarahan saya kepada saudara kembar lelaki yang masih saja bicara—meski tak saya gubris—di hadapan saya itu.

Kemarahan saya kepada teman sekantor itu dimulai ketika mengetahui ia mengatakan hal buruk tentang saya kepada atasan. Atasan membatalkan saya sebagai pimpinan proyek, padahal sebelumnya melalui empat mata telah menunjuk saya, dan hanya menunggu surat keputusan ditandatangani. Tapi saat keputusan resmi dibagikan, tercantum nama teman sekantor saya itu sebagai pemimpin proyek, bukan nama saya.

Saya ingin menghadap atasan dan mempertanyakan alasan pembatalan itu, tapi ia berangkat ke luar kota selama dua minggu. Meski kecewa, saya menerimanya dengan lapang dada, sampai tiba-tiba sekretaris atasan menyampaikan bahwa pimpinan proyek yang baru itu melobi atasan sehari sebelum surat keputusan ditandatangani. Ia mengatakan pada atasan bahwa saya kerap memprotes kebijakan pimpinan dan memengaruhi kawan-kawan sekantor.

Mendengar ini semua, saya benar-benar berang. Ingin saya labrak teman sekantor itu, tapi kata-kata ibu ketika masih kecil terngiang. Saya diajarkan untuk tidak mencari-cari jalan berkelahi atau mencari keributan. Saya diajarkan untuk menjadi anak baik dan menyenangkan. Meski kecewa? Ya, meski dikecewakan. Tuhan selalu punya cara membuka helai-helai kebenaran.

Suara rinai hujan telah berhenti. Saya terbangun dan melalui kaca jendela yang gordennya terbuka, saya melihat langit berwarna abu-abu gelap. Sebentar lagi malam akan tiba. Tercium aroma kenanga yang tumbuh di pekarangan rumah tetangga, yang harumnya benar-benar meruap saat terkena embun atau air hujan seperti kali ini. Dengan kepala sedikit pusing, saya duduk dan terlihatlah lelaki—yang mengaku saudara kembar teman sekantor saya itu—tertidur dengan suara mendengkur di sofa sebelah kiri saya. Baru kali ini saya melihatnya tidur. Biasanya, tanpa henti ia membicarakan kelebihan-kelebihan teman sekantor alias saudara kembarnya itu atau melakukan hal-hal yang menyerupainya, seperti menerima telepon dan melakukan lobi. Seluruh kata-kata dan tingkahnya membuat saya mual dan marah, sekaligus merasa tak berdaya sebab sedikit pun saya tak mampu mengusirnya.

Beberapa kejap saya memandangnya. Sebuah ide muncul di kepala. Saya tak ingin membuatnya terjaga. Perlahan-lahan saya berdiri dan berjalan ke meja kerja yang tak jauh dari sofa dan mengambil gunting. Saya ingin melenyapkan saudara kembar teman sekantor saya itu. Toh, kalau ia mati, siapa pula yang akan memusingkannya?

Sedikit lagi saya berada di hadapannya. Tapi tiba-tiba saya tak lagi mendengar suara dengkurnya. Sedikit heran, saya mengamatinya beberapa detik, lalu mengguncang bahunya pelan dengan tangan kiri. Ia tak bergerak sama sekali. Saya letakkan punggung jari telunjuk ke lubang hidungnya, napasnya sudah tak ada lagi. Astaga, saudara kembar teman sekantor saya ini sudah mati, bahkan sebelum saya sempat membunuhnya.

Buru-buru saya mencari ponsel untuk menghubungi teman sekantor saya itu. Terdengar nada panggilan, dan beberapa kejap suara di seberang terdengar. Tapi saya hanya diam, urung bicara. Mengingat pengkhianatannya, mengingat bagaimana ia melobi atasan saya, membuat dada saya tiba-tiba bergelenyar. Saya sangat kecewa dan marah. Lagi pula, untuk apa pula saya menghubunginya dan mengabarkan perihal kematian lelaki tak jelas ini, pikir saya. Seketika ponsel saya matikan.

Tiba-tiba saya merasa kepala saya dihantam sesuatu. Sakit sekali. Saya terjerembab, tersungkur di badan sofa. Ponsel terlepas dari tangan kiri saya. Gunting menusuk sofa dan ketika hendak dicabut, tangan saya sudah diinjak sepatu hitam mengilat. Saya menoleh dan terlihat saudara kembar teman sekantor saya itu tengah berdiri. Oh, bagaimana tiba-tiba ia menjadi hidup lagi dan menjadi sekejam ini?

Saya ingin membebaskan diri darinya. Tapi tangannya yang besar dan keras tiba-tiba mendarat di pipi saya. Kepala saya terasa semakin berat. Penglihatan saya menjadi kabur. Saya pejamkan mata, sementara hati saya tak henti berdoa agar ia pergi meninggalkan saya. Dalam kepasrahan, saya menyadari bahwa tiba-tiba ia menghilang. Saya tak lagi mendengar suaranya atau merasakan kehadirannya.***





Bagikan:

Penulis →

Rumasi Pasaribu

Suka menulis puisi, cerpen, dan novel. Cerpennya pernah dimuat di beberapa surat kabar, seperti Haluan-Padang, Sumatera Ekspres, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, dan media online Kurung Buka.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *