Deadzone

1.
DENGAN tiket di tangan, aku hanya perlu lewat gerbang periksa–sedangkan tas bawaan diseret ban berjalan-, melalukan HP, lalu ke konter perusahaan penerbangan untuk boarding. Hanya mengantri saja–tidak banyak yang dibawa buat acara 2 hari 1 malam. Melayang 1 jam lebih, mengantri ke luar, mencari bus ke kota, turun di G, dan mencari taksi untuk 10 menit ke hotel–itu kalau tak mau bersabar menelepon panitia, menunggu jemputan, sambil mungkin menunggu yang lain yang juga dijemput. Abai. Masuk kamar setelah check in, mandi, kemudian turun untuk makan malam–bertemu dengan peserta seminar dan pembicara lain. Abai mengobrol.

Apa yang harus dirisaukan? Aku membawa laptop dan bisa bekerja kalau mau–tapi untuk apa, tabungan cukup buat santai selama 10 tahun. Meski santai bersimakna pikiran abai, dan bawah sadar akan spontan berbangkit mengkilaskan–flash–gagasan menulis, yang diperluas wawasan dari bacaan, pengalaman kluyuran, mendengar yang gairah cerita, serta angan-angan–selalu ingin disikongkritkan dengan memacu impuls menulis. Tidak ada santai bagi pengarang. Otak diprogram mengkomposisi, spontan terbiasa dengan disiplin menulis–terlebih kalau itu dirangsang dengan membaca serta memperhatikan dengan penyimakan intens.

Mungkin karena tiga puluh lima tahun aku melulu hidup subsitensif.

2.
TAK ada yang harus ditelepon ketika menunggu, di ruang tunggu merapat ke ke gateway arah garbarata sebelum masuk ke pesawat sekitar 1 jam lagi. Aku bersuntuk dengan buku. Aku tersadar ketika HP berbunyi. Panitia mempertanyakan posisi. ”Di Bandara–ya … sekitar 1 jam lagi berangkat,” kataku. Seberang mengiyakan, bilang: ia akan menyuruh mobil jemputan berangkat sebentar lagi–karena jarak yang pendek itu harus dengan mengatasi handikap kemacetan ibu kota. Aku senyum. Dan seberang meminta, agar segera menghubungi Coki begitu aku mendarat–ada nomor kontaknya. ”OK. Terima kasih banyak …” Lalu mengecek nomor kontak Coki, yang telah ada di memori HP–sambil pelan meng-save nomor baru itu. Jaga-jaga.

Ketika memasukkan kembali HP ke tas jinjing, ketika mau kembali ke halaman tertinggal dari buku yang lagi dibaca itu: aku tersadar kalau orang-orang di sekitar aku sedang memperhatikan. Aku berhenti (memulai) membaca, menengadah. Memandang sekeliling. Tersentak. Bingung menemukan pandangan yang (rasanya) penuh selidik–mempertanyakan. Rikuh. Cemas. ”Apa? Ada yang salah?” kataku. Mereka, semuanya, menggeleng. Mereka bertanya, apa provider-ku. Aku pelan menyebutkannya. ”Aneh,” bisik seseorang–yang lain mengangguk, terutamanya setelah melihat ke layar HP dan berulang kali melakukan kontak sembarangan.

”Kenapa?”

”Saya tak bisa menghubungi, padahal janji akan menelepon.”

”Tak bisa menelepon apa ditelepon?”

3.
AKU mengontak Puti, anak perempuan satu-satunya, tapi tak ada nada sambung dan bunyi khas ada kontak–celotehan anak bungsunya, cucu perempuan nomor 3, dari total 7 orang cucu dari 3 anak. Malahan hanya isyarat penanda, bahwa yang dihubungi ada di luar jangkauan. Jangkauan apa? Aku pelan menelepon Duano, anak nomor dua yang tempat kerjanya relatif lebih dekat ke bandara–meski dipisah suatu selat sempit. Hal seperti tadi terulang–juga saat menghubungi Bare, anak pertama, yang berada di Kalimantan Timur. Ada apa? Kenapa? Mengherankan. Kami serentak menghubungi siapa saja, secara acak, untuk sekedar sukses (bisa) membuktikan telah terbebas dari semacam isolasi komunikasi. Sia-sia!

Aku menekan tombol, melakukan telepon balik kepada orang yang terakhir kali menghubungi, tapi hal yang sama terulang. Mengherankan. Kenapa? Apa kami (kini) berada di area eksklusif? Diasingkan? Benarkah? Apa ada suatu usaha intelijen masif terstruktur buat membungkam area bandara ini, dijadikan satu blankspot komunikasi? Kenapa? Apa akan ada kunjungan pemimpin asing secara incognito? Atau kelompok alien mulai mengucilkan kami, sebagai uji coba respon mental? Aku tersenyum. Idea manis, sehingga mendadak ingin mengeluarkan laptop, dan mau mulai menulis. Tema asyik. Semacam alien? Seperti apa sosoknya? Warna hijau, kepala besar, kaki-tangan berjuntai seperti gurita? Atau membatu seperti Hulk–dan penuh jamur–?

Haruskah aku berhenti menelepon dan membaca, dan suntuk menulis?

4.
TIDAK bisa buat kontak e-mail, internet, dan live streaming–bahkan youtube–, kata seseorang. Nihil, meski laptop tetap bisa dipakai. Blank–total. Aku garuk-garuk rambut. Ikut bingung dengan banyak orang, yang tak bisa menghubungi, hingga rindu ada yang menghubungi. Gelisah tidak bisa berbalas SMS, kontak kata, kontak e-mail dan FB? Aku tersenyum. Aku mulai menulis semua kegeliasahan itu secara deskriptif. Detil–lengkap dengan dramatisasi pancaran kepribadian asli, yang selama ini ditutupi. Tapi apa asyiknya? Ketika si beberapa orang meninggalkan ruang tunggu, kembali di area lalu lintas orang bergegas masuk ke ruang tunggu, dan terlihat di situ amat bebas berkomunikasi–gairah hidup mereka kembali memancar.

Apa memang di sini wilayah khusus, meskipun pengalaman menunjukkan, bila di bandara manapun di selama ini hal seperti ini tidak pernah terjadi? Tapi apa peduliku? Draft–nanti–tinggal di-fix fantasi dan imajinasi liar, mewujudkan cerita tentang alien biru seperti Smurff. Aku senyum. Mentuntaskan pencatatan fakta, liukan dramatisasi, dan mematikan laptop setelah save. Memasukkannya di tas–serta kembali membaca. Suntuk sampai ada panggilan, dan beranjak ketika antrian sudah melengang. Berjalan abai, naik garbarata, dan pelan masuk ke dalam rongga badan pesawat di antara orang yang bergegas mencari kursi bagian mereka duduk, seakan dengan begitu mereka bisa mencelat lebih dulu.

Tapi mencelat ke mana? Bukankah yang akan terbang itu pesawat dengan segala isinya? Dan yang akan mendarat itu juga pesawat–dan setelah nyaman-stabil landing memuntahkan si semua penumpang dengan segala bawaan Aku pelan mematikan HP. Bersandar. Memasang sabuk pengaman. Mengunyah permen–tas di kaki. Memejam.

5.
ADA celoteh dari pimpinan penerbangan perihal para crew. Ada peragaan rutin ihwal keselamatan–semua terdengar membosankan. Kemudian pesawat taksi ke arah jalur lurus landasan pacu. Sesaat sepi. Tertinggal deru mesin yang mulai menggeram, kemudian putaran mendengung ketika melaju untuk beringsut naik di ujung landasan. Tekanan meningkat. Yang ditawarkan dengan kunyah permen–ini saat yang selalu tak menyenangkan. Kemudian ada derakan dari penguat sambungan pada badan pesawat. ketika terjadi peregangan saat pesawat mengejan dalam diagonal melaju naik serta si gravitasi menarik turun dan seperti ingin menghumbalangkannya.

Saat melirik via jendela, aku melihat keluasan berbingkai, di titik yang mungkin baru 200 mdpl–karenanya hamparan darat masih membayang tegas detail kasarnya–, karena laju ke muka pesawat masih mendiagonal naik. Semua berderak, dan perlahan terasa kalau kecepatan pesawat berkurang, tersendat sebelum pelan moncong miring ke kiri, dan menukik. Bersipuntiran. Pesawat meluncur turun. Kini sisi kanan pesawat menjadi dasar, dan sisi kiri pesawat naik menjadi atap. Lantas itu segera berubah, jadi berkebalikan. Dan lagi. Makin cepat berpuntir. Berputar. Menukik semakin cepat dan tajam–menjadi hunjaman yang landai.

Dan terdengar suara peringatan, supaya sabuk pengaman tetap dipasang, jangan dilepas, kemudian anjuran untuk duduk rendah, merunduk serta dua tangan melindungi kepala. Teoritis. Rutin–tapi terdengar getar galau tak seperti biasanya.

6.
ADA apa? Kenapa?

7.
AKU ingat rutinitas pagi di rumah, ketika masih teramat banyak waktu sebelum ke bandara menjemput pesawat. Menurut jadwal akan berangkat sekitar 14:00–dicutat dari ingatan–, tapi saat itu masih 09:00. Banyak waktu luang untuk jarak 50 kilometer dari bandara–mungkin cuma 1,1 jam ke terminal dengan bus, disambung oleh Damri khusus bandara, total jadi 1,5 jam, dan mungkin 2 jam bila faktor kemacetan dihitung. Tapi apa akan ada macet kalau berangkat saat semua siswa ada di kelas dan karyawan dan buruh di kantor dan pabrik? Tak akan ada kemacetan–seperti biasanya..

Aku senyum. Membuat kopi, teman santai membaca koran pagi yang tergeletak di teras–dilempar loper tadi pagi. Abai–pakaian ganti dan materi ceramah ada di tas.

Dan aku hanya baca opini, berita nasional serta manca dijejalkan TV, tersimak ketika meminggirkan tirai serta membuka jendela. Ketika minum segelas air putih, ketika aku berolahraga di sepeda statis selama 30 menit lebih–perlu buat yang berusia 60 tahun, dan melulu kerja depan komputer. Membikin mi godog dengan kecambah serta irisan sosis. Membawanya ke meja makan. Menungguinya dingin serta mengambil majalah sisa dibaca itu. Makan pelan. Mencucinya. Beranjak ke beranda dengan kopi–sampai hitungan waktu mendekati angka 10:00.

Mandi. Mengedit tulisan terakhir sebelum dikirimkan. Abai. Menelepon ojeg ke tepi jalan agar leluasa mencegat bus–pakaian, laptop, dan buku telah di dalam tas.

8.
TELAH terbiasa mengerjakan segalanya dari awal, dan pelan-pelan; setidaknya begitu anak-anak kuliah dengan kos, dan tak pernah kembali lagi setelah lulus karena mendapatkan pekerjaan–semakin ilang ketika menikah dan punya anak. Tinggal Isto, seperti ketika baru menikah serta menyewa rumah–membangun web pengertian yang lebih solid. Tiga puluh dua tahun lalu. Kemudian repot punya anak dan sekuat tenaga memiliki rumah sendiri. Mulai menabung lagi buat kuliah mereka. Jungkir balik. Lega ketika semua lulus dan (bahkan) bekerja. Meski semua, akhirnya, jadi senyap–rumah hanya dihuni sendiri ketika Isto bekerja, dan karenanya aku menulis.

Tercenggang ketika Isto meninggal, tapi aku menolak berpindah dari satu rumah anak ke yang lainnya. ”Tidak perlu–aku punya disiplin sendiri,’ kataku. Aku menulis meski aku kesepian. Sendirian. Hanya hidup dengan kulkas, makanan warungan, dan terkadang menu tetangga ketika slamatan. Untungnya dibantu peralatan serba listrik: menanak nasi, mencuci–selain setrika–, dan kalau tebal dan berat dimasukkan dalam kantung untuk dibawa ke laundry. Sederhana. Tinggal membersihkan rumah, sapu di luar-dalam, menyiangi rumput–olah raga luar ruangan seminggu tiga kali, dan kadang dilupakan bila keranjingan menulis. Rutin. Sehingga sunyi seperti oknum yang dipaksa akomodatif menyesuaikan diri dengan jadwal.

Aku ketawa. Aku merasa, pada satu saat nanti: sunyi itu akan merasuki diri, dan aku akan berubah jadi sunyi itu sendiri–tanpa saling menyakiti. Kami menjelma suatu mahluk dengan sayap perkasa, yang bentangannya menutupi langit hingga mendung–tanpa hujan serta kilau halilintar. Nun.

9.
TAPI apa itu bukan karena aku ini terlalu banyak baca? Aku menarik nafas, dan pelan berserah diri. Merapalkan ke-Esaan Allah ketika semua jadi berdengung dalam puntiran menukik. Aku tersenyum–ikhlas–: mungkin, dalam kabin, pilot dan kopilot mencoba meluruskan dan menstabilkan luncuran menukik dan bersipuntiran pesawat, sambil ia berteriak-teriak menyerukan isyarat mayday berulang kali. Mungkin. Tapi bukankah aku sedang menunggangi nasibku sendiri, sekaligus mau menjemput ujud takdirku sendiri? Dulu aku menulis ketika anak-anak ke luar rumah. Lalu keranjingan menulis–serta sukses–ketika Isto meninggal. Ya! Kini aku pasrah. Tersenyum. “Ya, Allah, ya Rabbi, apapun yang terjadi jadikanlah–aku ikhlas …”

Kini, di titik ini, aku mutlak merindukan kontak dengan-Nya–setelah, di selama bertahun, cuma rutinitas berhubungan–nyaris kehilangan kontak ketika menulis–, dan sesekali merindu ketika satu tulisan diselesaikan dan ingin segera dimuat koran.***




Bagikan:

Penulis →

Beni Setia

Menulis puisi dan cerita pendek.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *