Yang Rembang Saat Purnama Nanti


Kun

kita pernah belajar
bagaimana memadukan abu, darah,
dan peletik damar
agar bisa dibentuk jadi tembikar
sehingga kelak bisa dipakai di saat yang tepat
ketika suatu hari nanti, kota kita
terbakar hebat

kita juga pernah belajar
memadankan selembar lurik dan kain batik
saat tubuh kelak telanjang
oleh yang Maha Sanik

Kun,
maka, jadilah!

Saat di kepala kita tumbuh kecambah
dan urat di ujung jari mulai lelah

sebab, kita telah belajar
bahwa tujuan tak ubahnya
sekadar obat
untuk dada kita
yang memar,
dan ingatan yang gegar

Jogja, 2020




Perkenalan

aku mengenalmu dari seutas tali panjang,
yang tergantung di dahan pohon kepal
di sebuah malam pejal.

Lalu kulihat tubuhmu berayun,
mengikuti detak arloji di lengan kiri, anggun
sembari menghitung sisa butiran embun.

Kutahu, diammu retak dan berkarat,
saat seekor kadarsih hinggap, kau tangkap
dan malam kembali senyap.

Aku mengenalmu dari tenang riak sendang,
ketika ikan-ikan berbisik pada pukat berjaring jarang
kemudian saling hanyut di pekatnya lembang

“o, senja, kenapa ia selalu penuh dengan teka dan sederet angka-angka,”
begitu teriakmu, sambil coba kau biarkan manyar
terkapar, menggelepar di dalam sangkar.

Jogja, 2020




Sonder Siang 

Tak ada siang di kota kami

hujan menggetarkan membran keheningan
sepi berkecambah, meregah,
berubah, lalu terungkah

Tak ada siang di kota kami

selaput langit masih saja
berputarpendar di atas kotakota
berkata tanpa bahasa:
yang ada hanya bibir berpara-para

Tak ada siang di kota kami

cahaya terperangkap
dalam setangkup tarup,
serupa domba yang saling menerkup
dan segelas teh panas tanpa tutup
tersaji di meja sesaji, saat malam kian redup

Jogja, 2020




Musafir

sebab senyumanmu,
sore di sini terlihat lesu

aku mencari kebahagiaan
di rimbun rerumputan

debu di ujung jari
adalah bukti

betapa dadu yang kulempar
serupa nasib yang kuhampar

hidup lalu berjalan mundur
saat kulihat bayangan ibu di kedalaman sumur

Jogja, 2020




Sunyi

baru sekarang kita tahu,
pada gazal yang gagal,
selama ini kita berpijak dan menghafal

begitu juga dengan rubaiat,
di dalamnya,
kita salah memaknai setiap riwayat

ketika dengan darah kita yang mencair,
kutulis amsalamsal getir,
dan sunyi yang terasa satir

lalu siapa yang mencipta hening,
saat ingatan kita terpelanting,
bertumbuk dengan lentin,

siapa pula yang membikin sunyi,
ketika pagi tak lagi bernyanyi,
dan partitur kehilangan nadanada tinggi

Jogja, 2020




Bukan Rambutmu

bukan rambutmu,
jemariku cuma mampu mengelus waktu
sebagai bukti bahwa hari ini
masih ada sedikit rindu

bukan rambutmu,
tanganku hanya bisa menyisir lelatu
sebab hidup tak lebih dari sekadar percik api
yang rembang saat purnama nanti

Jogja, 2020




Utari

sampai menjelang pagi
aku masih mengenangmu sebagai Utari,
sebagai riak yang memanjang
hingga menabrak tepi dermaga lengang

aku pun masih mengingatmu
dalam jarak yang masih terjengkal
toh, ombak tak pergi kemana-mana
dan barque pun masih menopang angin samudra

dari ujung teluk ini, Utari
aku memandangmu tanpa alas kaki
tanpa epitaf yang gagal menuliskan sebuah nama

sebab semua nama
bagimu, Utari
tak lebih dari sekadar deretan luka

Jogja, 2019




Ode Untuk Waktu

sebab tak pernah tegas kau bercerita soal langit, tak pernah tegas berkisah soal surga di sela dua awan yang mengambang di kamarmu. tak pernah pula kau tulis surat untuk daun-daun gugur itu. lalu dimana ukiran wajahmu kau sembunyikan: di bangkai malam, di sebalik cermin buram, atau sebuah telegram yang tak pernah terkirimkan.

kau di mana, aku bertanya pada sisa swaramu yang mendengung di secangkir kopi pahit yang tak mampu kuhabiskan pagi ini. sebab semua begitu getir, saat tarianmu mulai mengalir, tanah basah depan rumah hanya bisa meraung melihat keningmu diukir mendung.

bukan pantai, hanya segaris senja di teras rumahmu yang tampak menyala. hanya secarik kertas berisi sebuah prosa tentang kematian. tentang tubuhmu yang mendadak dingin ketika kau lihat matahari di ujung jariku mulai pecah. seperti tak mampu kau temukan aku, kau bayangkan bergemetarannya bibirmu: mengucap namaku.

betapapun, aku ingin tahu di mana kau kini. sebongkah alamat yang teronggok di pucuk kartu pos bergambar nabi seperti benar-benar telah menyesatkanmu. jangan kau buang kartu pos itu, sebab aku masih mencarimu: sebuah alif yang begitu naif.

mungkin aku yang keliru menerjemahkan setiap kertap dan ceracap, yang selama ini selalu kau dengungkan ke dalam asbak yang penuh dengan bangkai bebatang kretek yang tak habis terhisap. maka, kuminta selalu salahkan aku, hanya demi segaris sungai di bibirmu yang selalu ingin kulihat meluap.

Jogja, 2019


Bagikan:

Penulis →

A. Junianto

Lahir di Surabaya, 4 Juni 1984 dengan nama lengkap Arief Junianto. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010), Menggapai Asmara (Mafaza, 2014), dan Di Balik Hitam Putih Kata (Poetry Praire Publishing, 2014). Karya-karyanya beberapa kali juga sempat dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Media Indonesia, Radar Tasikmalaya, Lampung Post, dan Surabaya Post. Kini tengah menyiapkan antologi tunggal puisi berjudul Kota Api. Saat ini menetap di Bantul, DIY.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *