Rumah Bangkai


“Rumah ini dikelilingi bangkai,” kata pedagang reraon suatu hari. Kirsip mengangguk-angguk. Mulutnya mengunyah sirih dengan pelan. Hanya tersisa beberapa gigi saja di rongga mulutnya. Gigi hitam dan nyaris seperti besi berkarat.          

“Rumah ini benar-benar dikelilingi bangkai,” ulang perempuan tua pedagang reraon. Ia berkata sambil membuka plastik yang menutupi keraro dagangannya. Di dalam bakul terdapat panci besar berisi reraon, setumpuk daun pisang, beberapa bungkus kerupuk kulit sapi, dan sendok yang berlumuran kuah berwarna kuning tua. Lalat-lalat mendekat dan hinggap di tepian keraro, di bibir panci, dan di gagang serta ujung sendok. Ia menghalau pelan lalat-lalat itu dengan tangan kurus berurat-uratnya.

“Pindah aja dari sini,” lanjutnya. Kedua tangannya memegang tepian keraro.

Setiap kali ia datang ke Lelenggo, tepatnya ke rumah Kirsip, ia selalu berkata demikian. Bukan tanpa alasan. Begitu ia muncul di jebak, seolah melihat seorang yang selama ini ia tunggu-tunggu, Kirsip langsung menyergapnya dengan keluhan demi keluhan. Keluh-kesah yang mengalir begitu deras seolah ia telah terlatih bertahun-tahun untuk mengungkapkannya.  

Bawang mahal, cabe mahal, terasi mahal, beras mahal, semua mahal, keluhnya. Gerakan tangannya menyesuaikan dengan cepat-lambat suaranya. Ketika amarahnya meninggi ia akan berbicara dengan begitu cepat. Ia menyalahkan semua hal atas seluruh penderitaan yang ia rasakan. Mula-mula ia menyalahkan suaminya yang mati terlebih dahulu meninggalkan dirinya. Mengutuk suaminya dengan membabi buta seolah suaminya masih hidup dan tengah berada di hadapannya. Lalu ia mulai menyalahkan seorang warga yang menurutnya biang dari kematian suaminya. Laki-laki tua renta yang sebenarnya juga telah lama mati.

Tidak cukup sampai di situ, ia akan mengungkit kejadian yang terjadi puluhan tahun lalu. Saat orang tuanya bercerai dan kemudian ia diserahkan secara cuma-cuma kepada seorang pedagang tuak. Nadanya berubah sendu tatkala ia bercerita tentang kenangan masa kecilnya. Setiap hari ia mengikuti ibu angkatnya, menyunggi bakul, menuju gocekan, menebarkan aroma sate mentah di sepanjang jalan. Ia akan meladeni para laki-laki berperut buncit dan penuh keringat yang minum tuak di tempatnya. Ia melakukan itu sampai payudaranya mulai tumbuh, sampai kemudian seorang laki-laki bertubuh pendek dan berkepala kecil datang ke tempat jualannya. Laki-laki itu tidak minum tuak, hanya mampir sebentar untuk membeli sate. Sakunya penuh uang. Baru saja menang bermain boladil.

Para lelaki yang tengah duduk melingkar di tempat itu dapat dengan mudah mengendus kemenangannya. Ia memasukkan tangan kanannya ke saku dengan serampangan, meraih beberapa lembar uang lusuh, dan melemparkan ke sekelompok laki-laki yang tengah duduk melingkar itu. Mendarat tepat di atas sepiring sate usus dan juga jatuh di atas segelas tuak salah seorang dari mereka.

Kirsip menyaksikan semua kejadian yang sangat singkat itu dan langsung merasa laki-laki itu adalah penyelamat hidupnya. Ia jatuh cinta tepat ketika laki-laki bertubuh pendek dan berkepala kecil itu memasukkan tangan ke saku dan melemparkan uang itu ke arah sekelompok laki-laki yang setengah mabuk. Tidak sampai sebulan setelah itu, iring-iringan besar menyusuri jalan menuju rumah perempuan penjual tuak. Satu kelompok sireh mengiringi iring-iringan itu. Kirsip yang telah didandani dengan berbagai jenis emas imitasi tampak seperti seorang ratu.

“Sekarang dia sudah mati, dia sudah busuk di dalam tanah,” Kirsip melengking. “Saya sendiri di sini, susah sendiri.”

Keluhan yang ia sampaikan membentang begitu panjang tak berujung. Ia mulai berbicara tentang encok yang terus menyiksa dirinya. Sokek yang mengenai dirinya bertahun-tahun lalu dan tidak kunjung sembuh, membayangi dirinya seperti arwah yang ditolak bumi. Ditambah sakit kepalanya mulai kumat. Sakit kepala yang ia rasakan saat suaminya masih hidup dan hanya mampu diobati oleh seorang dukun pincang dari kampung tak bernama.

“Saya mau mati, mudahan saya mati sekarang, mudahan saya mati.” Ia berteriak, seolah Pedagang reraon akan mampu menyelamatkannya dari nasib buruk.

Melihat Kirsip begitu menderita, tampak benar-benar tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi, pedagang reraon mulai berkata, “Rumah ini dikelilingi bangkai.” Berulang kali.

Ia tahu tentang rumah Kirsip dikelilingi bangkai dari Kirsip sendiri. Suatu malam saat hujan badai dan ia tidak bisa pulang. Sungai Popo, sungai yang harus ia seberangi jika ingin meninggalkan Lelenggo, meluap, mencerabut rumput-rumput gajah, pakis, dan segala hal; menghanyutkan batang-batang pohon.  

“Rumah ini dikelilingi bangkai,” kata Kirsip. Ia menenggak segelas tuak, lalu melanjutkan, “Di barat ini kubur, di utara kubur, selatan kubur, di timur ini juga kubur.” Ia menunjuk kuburan yang ia maksud dengan telunjuk tangan kanannya. Pedagang reraon menyendok reraon dari panci, reraon dagangannya yang tidak terjual, ke piring yang diletakkan di tengah-tengah mereka. Tangan kanannya meraih botol tuak, menuangkan isinya ke gelas Kirsip yang telah kosong, dan mengisi gelasnya sendiri, lalu menenggak segelas tuak itu hingga tandas; matanya terpejam dan wajahnya mengerut sedemikan rupa, berusaha mendapatkan lebih banyak kenikmatan.

“Di barat ini katanya kubur orang pertama di kampung ini. Katanya dia yang buat Sungai Keditan. Pakai cambuk. Dia pukulkan di tanah. Katanya dia juga bisa hidupkan orang mati. Dia mati ditebas pakai pedang ilalang. Kakek suami saya yang bunuh. Ndak kelihatan lukanya. Dimandikan pakai air kelapa gading baru kelihatan. Kakinya putus.”  

“Kalau di utara ini?” pedagang reraon mulai penasaran.

“Di utara ini kubur kakek suami saya yang sakti itu. Dia mati diracun. Empedu katak. Ada yang benci dia. Dia terlalu sakti. Ndak ada orang yang bisa kalahin dia. Ndak ada yang berani macam-macam sama dia. Tanahnya luas. Kalau ada orang yang berani mencuri di kebunnya, besoknya orang itu pasti bengkak-bengkak. Banyak yang mati gara-gara dia.”

Cerita tentang kakek suaminya ini panjang. Ia bercerita tentang peperangan tujuh hari tujuh malam dengan laki-laki yang dikuburkan di barat. Kakek suaminya pergi ke gunung paling keramat di dunia untuk bertapa. Dari perempuan tua penunggu gunung itu ia tahu bahwa musuhnya hanya bisa mati dengan pedang dari ilalang. Selama perkelahian tujuh hari tujuh malam itu hujan lebat mengguyur Lelenggo. Kilat menyambar-nyambar di langit. Katanya itu adalah kilatan pedang ilalang. Puluhan ekor ayam mati kedinginan dan juga mati terkejut oleh ledakan petir. Banyak sapi yang terlepas dari tambatan dan berlari liar ke kebun-kebun. Teriakan-teriakan mengutuk pendosa yang telah membuat bumi marah terdengar di mana-mana.

Hujan tujuh hari tujuh malam disertai petir menggila ini kembali terjadi saat kematian kakek suaminya. Banyak sekali orang yang datang. Orang-orang yang sama sekali tidak dikenal. Mereka seperti makhluk-makhluk yang tidak berasal dari dunia. Mereka tidak menampakkan tanda-tanda kedukaan. Beberapa malam setelahnya, suaminya bermimpi didatangi oleh kakeknya dan begitu terbangun ia berbisik kepada istrinya bahwa yang datang itu adalah makhluk penunggu hutan Lelenggo. Dan kakeknya telah diangkat menjadi raja.

Tanpa diminta Kirsip melanjutkan cerita tentang kubur di sebelah timur. Itu adalah kubur seorang warga miskin yang jatuh dari pohon enau. Ia mati karena sumpah istrinya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk minum tuak dan mengkarak-karak mengutuk nasib buruknya. Sedikit pun ia tidak menaruh kasihan pada istrinya. Bahkan tidak jarang ia melayangkan tamparan ke pipi istrinya jika permintaannya tidak dipenuhi. Sebelum kematiannya, ia memukul istrinya habis-habisan lantaran istrinya tidak mau pergi menarep. Dalam keadaan geram ia mengambil kekelok dan pergi. Dari jebak istrinya melengking, mengutuk suaminya akan jatuh dari pohon enau dan kepalanya pecah. Benar saja, darah terus menetes dari telinga, hidung, mata, dan mulutnya ketika tubuh suaminya yang tak lagi bernyawa diusung pulang dengan setengah hati oleh para warga.

Sedang kubur di selatan Kirsip bercerita bahwa tak seorang pun yang mengetahui miliknya siapa. Namun para warga yakin itu bukan kubur orang sembarangan. Banyak orang-orang tidak dikenal datang ke tempat itu. Suatu hari langit Lelenggo dipenuhi suara lolongan anjing. Mereka melihat sekelompok orang menyusuri jalan ke tempat itu, mengusung seorang perempuan gemuk dengan keraro. Sepanjang jalan perempuan itu merintih kesakitan dan mendoakan dirinya akan segera mati. Empat laki-laki yang mengusungnya membentak-bentak, mencoba menghentikannya.

“Kalau rumah dikelilingi kubur kayak gini, ndak bisa bahagia kita, kita akan terus susah,” Pedagang reraon meyakinkan Kirsip. “Lebih baik pindah ke desa.”

Kirsip mengurut-urut betis, memandang jauh, dan berkata lebih kepada dirinya sendiri, “Buat apa,” katanya, “saya juga sebentar lagi jadi bangkai..” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, dari arah selatan terdengar teriakan-teriakan, lama-lama berubah menjadi lengkingan menyayat-nyayat.

Terdengar juga lolongan anjing di kejauhan.*

2018-2020

 Catatan Kaki:

Reraon : Urat yang dimasak dengan santan.

Keraro : Bakul berukuran besar dari bambu yang biasa dipakai untuk membawa barang dagangan.

Kekelok  : Wadah dari bambu untuk menampung air nira.

Menarep  : Menyadap nira.

Sokek  : Sakit bengkak dan ngilu seluruh tubuh karena ilmu hitam.

Gojekan : Sabung ayam.



Bagikan:

Penulis →

Arianto Adipurwanto 

Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *