Dua hari belakangan ini, Lundu Paring begitu sedih. Ia tetap saja tampak murung bahkan ketika di depan rumah ia melihat sejumlah bocah terpingkal-pingkal lantaran teman mereka terjerembap ke selokan. Ketika bocah yang jatuh ke selokan itu susah payah bangkit dengan tangis dan tubuh dilumuri lumpur nan busuk, Lundu Paring merasa kesedihan yang ia rasakan jauh lebih menyayat ketimbang yang bocah itu alami. Menurut Lundu Paring, bocah itu sial semata, tetapi dirinya sendiri (nyaris) kehilangan semangat hidup.
Barangkali benar kata orang yang pernah mengunjungimu pada suatu hari bahwa tidak ada yang terlampau sepele bikin orang putus asa. Mungkin bagimu kehabisan stok kopi adalah perkara kecil belaka, tetapi Lundu Paring (nyaris) kehilangan semangat hidup karena itu. Bagi Lundu Paring, kopi seumpama udara bagi paru-paru. Dan begitulah yang terjadi dua hari belakangan ini, bahwa Lundu Paring kehabisan kopi, ia tak lagi menyesap kopi, lantas ia jadi sedih.
Lundu Paring segera menelepon dan memesan kopi kepada pedagang langganannya di Sidikalang saat ia menakar persediaan hanya cukup untuk seminggu lagi. Pedagang itu menyanggupi dan mengirimkan paket kopi ke Kota Palangkaraya—tempat Lundu Paring menyeduh kopi, sekitar 3.300 kilometer dari tempat kopi ditanam dan dikemas. Akan tetapi, hingga hari ini—hari di mana Lundu Paring begitu sedih dan bocah-bocah menertawai teman mereka yang jatuh ke parit—kopi belum juga tiba di rumah Lundu Paring. Biasanya, lima hari sudah cukup waktu untuk mengirimkan kopi dari asal ke rumah.
Ia sempat berpikir untuk mengganti dengan jenis lain kopi yang dijual di sekitar rumah—bukan kopi Sidikalang. Namun, pikiran semacam itu mesti lekas ia singkirkan sebab Lundu Paring adalah tipe manusia yang setia, terutama pada kopi. Ia tak ingin merecoki lidahnya dengan mencicipi kopi jenis lain kendati hal itu ditanggungnya dengan kesedihan yang mengoyak.
Ia lantas mengumpati hampir apa saja, terutama wabah yang bikin jalur pengiriman barang jadi macet sehingga pesanan kopinya tak kunjung tiba. Ia kemudian semakin sedih tatkala ia menyadari bahwa menunggu merupakan satu-satunya hal yang ia bisa kerjakan agar kopi pesanannya tiba di rumah.
Lundu Paring betul-betul bersedih.
Lantas, apakah kau telah cukup memahami kesedihan Lundu Paring?
Supaya kau memahami kesedihan yang Lundu Paring rasakan saat kehabisan persediaan kopi, bayangkan saja berikut ini.
Tujuh bulan yang lalu, kau adalah seekor kucing yang terjatuh ke selokan setelah bocah-bocah begitu keras kepala hendak menyakitimu. Mereka mengejarmu sembari melemparimu dengan kerikil, walau jagat raya ini tahu kau tidak berbuat sesuatu kesalahan seperti mencuri ikan atau mencakar kaki salah seorang dari mereka. Tentu saja mereka melakukan itu dengan kegembiraan tiada banding, sementara kau hanyalah kucing kurus kurang gizi yang tengah ketakutan dan terlampau ringkih untuk berlari kencang.
Kau telah berupaya mengelak serangan para bocah itu, namun dua kerikil telah menumbuk tubuh kurusmu dengan agak keras. Kau kesakitan, tetapi upaya terbijak adalah kau harus terus menghindari serangan bocah-bocah itu. Kau terus berlari, mengelak lemparan, dan melompat ketika di depanmu terdapat selokan.
Ternyata lompatanmu tidak cukup menjangkau sisi lain selokan. Akhirnya kau terperosok. Rambut belang putih-pirang di tubuhmu seketika menghitam yang aromanya bikin perutmu mual.
Bocah-bocah itu semakin riang melihat keadaanmu. Mereka tergelak-gelak tanpa henti jika saja seorang pemuda tidak menghampiri mereka. Barangkali pemuda itu terusik oleh keriuhan yang mereka timbulkan.
Sementara itu, kau merasa kelakuan para bocah itu merupakan penghinaan ulung. Seumur hidup, kau tak pernah diperlakukan sehina itu, baik oleh sesama kucing maupun makhluk hidup lain. Tetapi hari itu makhluk yang disebut manusia telah menghinamu tanpa peduli bahwa hati kucing juga bisa koyak. (Barangkali mereka perlu ditatar ihwal peri-kekucingan.) Hari itu kau merasa berada di roda hidup paling hina, paling daif. Maka, tubuh kurusmu yang berlumur lumpur yang tengah diapit dinding selokan busuk serta di kitaran wajah-wajah manusia peleceh yang menatapmu, kau bersumpah atas harkat diri sendiri dan beberapa rekanmu kucing bahwa kau akan tertawa keras-keras jika suatu hari nanti kau mendapati salah satu dari bocah itu mengalami nasib serupa denganmu: Terperosok ke selokan.
Akan tetapi, kau keliru. Tidak semua wajah yang menatapmu di selokan busuk itu melecehkanmu. Pemuda itu mengomeli para bocah iseng, dan ia mengatakan kepada mereka untuk mengangkatmu dari selokan. Ia memerintahkan supaya mereka membasuh tubuhmu sampai bersih. Kau tahu, bocah itu menurut saja.
Seorang bocah menjawab bahwa kau adalah kucing jalanan ketika pemuda itu bertanya siapa tuanmu.
Pemuda itu mengatakan kepada para bocah bahwa ia akan mengurusmu. Pemuda itu menyampaikan keinginannya bukan dalam rangka meminta izin kepada bocah-bocah itu, tetapi semacam pengumuman bahwa kau bukan lagi kucing jalanan. Kau senang mendengarnya.
Hari-hari berlalu, kau mencecap kasih sayang pemuda itu yang merawatmu dengan baik. Ia memberi pakan enak hingga tubuhmu jadi gemuk dan wajahmu tampak segar. Nyaris saban malam ia mengelusmu lembut. Kau merasa sangat beruntung memiliki (atau dimiliki) pemuda itu. Kau merasa hidupmu indah, seperti kisah-kisah dongeng pengantar tidur yang pemuda itu pernah bacakan untukmu. Maka rela saja, menurutmu, bila kau menganggap pemuda itu sebagai tuanmu.
Semua berjalan baik-baik saja. Tuanmu masih merawatmu sebagaimana tuan yang baik terhadap piaraan. Tuanmu masih mengerjakan beberapa tugas kantor, walau itu tampak menjemukannya. Tuanmu masih melakukan kebiasaannya minum kopi hingga bergelas-gelas dalam sehari, seolah tanpa kopi bukanlah hidup. Seorang perempuan masih sering berkunjung ke rumah tuanmu—rumah kalian. Perihal seorang perempuan yang kerap mengunjungi tuanmu itu, kau tahu ia adalah kekasih tuanmu sebab demikianlah mereka menyebut satu sama lain. Kehadiran perempuan itu tak lantas mengurangi perhatian tuanmu kepadamu. Kau maklum saja, adakala seluruh perhatian tuanmu tercurah kepada perempuan itu. Semua tetap berjalan baik-baik saja ketika perempuan itu tak lagi datang berkunjung setelah pertengkaran antara sepasang kekasih itu pada suatu sore. Saat pertengkaran terjadi, kau terpaksa menghentikan kegiatan makan karena perempuan itu menampar kencang wajah tuanmu selepas tuanmu mengatakan dia adalah perempuan murahan. Menurut tuanmu, perempuan itu tidak lagi bisa mengelak karena ia sudah tertangkap basah selingkuh dengan seorang berperut buncit di satu taman. Perempuan itu berkilah bahwa dia tidak selingkuh, dan tuanmu hanya bilang tidak perlu mengelak dari sesuatu yang sudah jelas… Semua berjalan baik-baik saja.
Semua akan berjalan baik-baik saja manakala tuanmu cukup jeli. Tetapi, kau tahu, tuanmu keliru ketika ia mengira lima hari adalah waktu yang cukup untuk mengirimkan kopi dari Sidikalang ke rumahnya—rumah kalian. Segalanya dibikin susah oleh wabah yang bisa buat sesak napas sebelum mati semakin menyebar, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membatasi aktivitas di luar rumah dan melarang orang-orang bepergian ke luar wilayah, sehingga jalur pengiriman barang menjadi terhambat, sehingga kopi yang tuanmu pesan belum juga tiba di rumah, sehingga dua hari belakangan ini tuanmu tidak lagi menyesap kopi, sehingga tuanmu sedih dan merasa hidupnya akan berakhir, sehingga kau perlu berempati atas kesedihan tuanmu sebagai bentuk kesetiaan. Semua tidak berjalan baik-baik saja; sebab kau tahu, hidup tanpa kopi bukanlah hidup bagi tuanmu.
Sementara kau berupaya memahami kesedihan tuanmu, di luar sana bocah-bocah bikin bising. Kau didorong oleh perasaan terganggu yang membuatmu berjalan ke arah mereka—seolah-olah kau ingin mengajukan tuntutan—, dan mendapati seorang dari mereka terjerembap ke selokan. Mereka mengingatkanmu kepada wajah-wajah yang melecehkanmu tujuh bulan yang lalu. Kau menganggap jagad raya ini telah begitu baik kepadamu, dan kini waktunya membalas dendam. Kau ingin sekali berguling-guling, berlari-lari riang, terkekeh-kekeh di sekitar bocah-bocah itu.
Akan tetapi, kebaikan tuanmu telah mengajarkanmu tentang etiket. Bersukacita di hadapan tuan yang tengah disayat kesedihan bukanlah sikap terpuji. Kau diserang dilema yang rumit, sebelum akhirnya kau lebih peduli pada keakuran hubungan dengan tuanmu. Kau menggugurkan saja keinginan untuk mengolok-olok para bocah sialan itu, dan mendekat pada tuanmu dengan rasa yang kian sedih.
Kali ini, kau benar-benar sedih.
Lantas, bisakah kau—sebagai kucing—memahami kesedihanmu sendiri?
Tangerang, September 2020